85% pengguna internet di Indonesia memainkan game di smartphone-nya. Jadi bisa kita bayangkan sendiri betapa besarnya pasar mobile game di Indonesia. Pada kenyataannya, data dari tahun 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pasar mobile game terbesar di Asia Tenggara, baik dari segi jumlah pemain maupun pendapatan.
Dari sekian banyak game mobile yang dimainkan, sebagian besar yang populer merupakan game multiplayer alias online, terutama di kalangan muda-mudi. Fakta bahwa industri esport tanah air lebih besar di platform mobile ketimbang di platform lainnya pada dasarnya adalah salah satu alasan mengapa game–game seperti PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, maupun Mobile Legends bisa begitu populer di sini.
Namun pasar yang begitu besar belum tentu mengindikasikan pengalaman pengguna yang baik. Hal itu tergambarkan dari laporan terbaru OpenSignal, yang melakukan analisis terkait pengalaman para pemain game mobile multiplayer di 44 kota besar di Indonesia berdasarkan kualitas jaringan selulernya. Metrik yang digunakan adalah metrik Games Experience racikan OpenSignal sendiri, dengan skor 0 – 100.
Hasil analisisnya boleh dibilang cukup mengejutkan. Tiga kota teratas yang mencatatkan skor terbaik adalah Palangkaraya (71,9), Pekanbaru (71,1), dan Banda Aceh (70,1). Semuanya bukan dari Pulau Jawa yang notabene merupakan penyumbang populasi terbesar di negara kita.
Satu-satunya kota dari Pulau Jawa yang berhasil masuk peringkat lima besar adalah Yogyakarta (69,1). Namun kalau berdasarkan sistem skor OpenSignal, semua kota ini belum ada yang masuk kategori bagus (minimal skornya 75), dan hanya bisa digolongkan lumayan (65 – 74,9). Lumayan dalam artian mayoritas pemain mengalami delay selama bermain.
Delay, seperti yang kita tahu, adalah salah satu kendala teknis paling menyebalkan saat bermain game multiplayer, sebab itu berarti tindakan yang pemain ambil tidak langsung terjadi secara instan. Meski begitu, kategori lumayan di sini mengindikasikan bahwa pemain masih punya kontrol atas game yang dimainkannya, atau dengan kata lain delay-nya masih bisa dimaklumi.
Lain ceritanya untuk 23 kota sisanya yang masuk kategori buruk dengan rentang skor 40 – 64,9. Bahkan kota-kota yang sangat padat penduduk seperti Bandung (62,9) atau Surabaya (58,8) pun juga ada di kategori ini. Pengalaman bermain yang buruk itu diwakilkan oleh delay yang parah yang mengakibatkan kontrol atas jalannya permainan jadi berkurang.
Saya yakin sebagian besar dari kita pernah merasakannya, terutama saat memaksa bermain di lokasi yang coverage sinyalnya buruk. Pada game MOBA misalnya, skill yang kita klik tidak langsung keluar atau malah tidak keluar sama sekali, dan saya maklum seandainya banyak pemain yang merasa tidak terima dengan pengalaman seperti itu.
OpenSignal menyimpulkan bahwa masih banyak yang harus dibenahi supaya pengalaman bermain game mobile di Indonesia bisa meningkat. Tiga parameter utama yang harus disempurnakan adalah UDP latency, packet loss, dan jitter. Buat konsumen secara umum, kesimpulan ini sejatinya menjadi pengingat bahwa kita tak bisa menilai kualitas jaringan hanya dari kecepatannya saja, sebab faktor-faktor tadi juga berpengaruh langsung terhadap kelancaran bermain game multiplayer.
Pihak operator pun juga sudah seharusnya ikut mengambil catatan. Masih banyak yang bisa mereka tingkatkan perihal kualitas jaringan demi menyuguhkan pengalaman bermain game mobile yang lebih baik kepada konsumen. Kalau dibiarkan seperti ini terus, bukan tidak mungkin bibit-bibit atlet esport ke depannya bisa berkurang karena sebagian dari mereka jadi malas bermain akibat kendala jaringan.
Gambar header: Screen Post via Unsplash.