Dark
Light

Masa Depan Adopsi Layanan Online to Offline (O2O) di Industri E-Commerce Indonesia

3 mins read
August 25, 2015

/ Shutterstock

Sejak MatahariMall membunyikan gong layanan Online to Offline (O2O), adopsi layanan tersebut kerap jadi perbincangan hangat di kalangan pelaku maupun konsumen dari industri ecommerce Tanah Air. Konsep ini dianggap punya potensi besar jika digarap, salah satunya sebagai jalan keluar alternatif bagi permasalahan logistik e-commerce Indonesia. Tapi dengan keunikan dan keragaman kultur Indonesia, tak sedikit pula yang mempertanyakan masa depan adopsinya.

Adopsi konsep O2O dalam konteks e-commerce di masa depan bagi CEO Bukalapak Achmad Zaky dan COO Tokopedia Leontinus Alpha Edison (Leon) masih belum terbayang baik di benak mereka, penyebabnya adalah karena belum terbuktinya konsep ini berjalan baik di Indonesia. Menurut Zaky, saat ini konsep O2O barulah sebatas fancy term saja di Indonesia. Tapi keduanya juga sepakat bahwa konsep ini bisa jadi mengarahkan industri e-commerce di Indonesia pada perkembangan yang lebih baik ke depannya, karena peluangnya masih 50:50.

Adopsi konsep O2O oleh startup di Indonesia

Konsep O2O di Indonesia pada kenyataannya bukanlah hal yang baru, meski ada istilah baru yang mengacu pada definisi yang sama. Menurut COO aCommerce Hadi Kuncoro, O2O mencakup rangkaian jasa yang dibeli secara online namun dikonsumsi secara offline. Contoh klasik layanan O2O yaitu seperti layanan daily deals.

Menjelaskan konsep O2O Hadi memaparkan:

“Ketika berbicara tentang O2O dalam konteks e-commerce (marketplace) atau retail, orang biasanya merujuk pada aktivitas memesan online dan mengambilnya pada lokasi fisik, seperti toko (in-store). MatahariMall, yang juga merupakan klien aCommerce, bertaruh besar pada metode ini karena seperti yang kita tahu, premis offline mereka, department store, sudah berdiri lama dan tersebar luas di Indonesia.”

Segmen lain yang ramai menggunakan konsep O2O di Indonesia datang dari jasa on-demand di sektor transportasi (Uber, GrabTaxi, Go-Jek), jasa pesan-antar makanan dan grocery (Foodpanda, Happy Fresh), dan akomodasi (Airbnb, HotelQuickly). Sedangkan di sisi logistik, manifesti O2O di Indonesia datang dalam bentuk layanan loker pintar. Startup PopBox yang baru saja menerima pendanaan awal adalah salah satu pionirnya.

Potensi dan masa depan konsep O2O di Indonesia

shutterstock_167274350

Saat ini adopsi O2O memang masih sangat terbatas di Indonesia, tetapi dengan pesatnya pertumbuhan industri e-commerce membuat potensi adopsi O2O sedikit tersingkap. Leon menyebutkan bahwa setelah melihat hasil dari kerja sama Tokopedia dengan Indomaret, ia percaya konsep O2O memiliki potensi yang besar di industri e-commerce.

Menurut Hadi, masa depan dari O2O adalah omni-channel retailing. Pelanggan dapat memesan dari mana saja (onlinemobileofflinesocial, dan sebagainya) dan produk yang dipesan bisa diantar via channel manapun dan kapanpun. Kebutuhan ini akan muncul, terlepas dari keragaman kultur yang dimiliki Indonesia. Hadi menjelaskan:

“Jadi menurut saya budaya Indonesia yang berbeda-beda tidak akan menjadi masalah. Hal yang akan mempengaruhi adopsi omni-channel ini adalah tingkat kematangan atau kesiapan infrastruktur e-commerce dan logistik. Mengingat pertumbuhan e-commerce masih sangat baru di Indonesia, meski pertumbuhan bisnisnya sangat pesat, namun infrastruktur logistik Indonesia masih membutuhkan banyak perbaikan agar dapat memenuhi permintaan pasar.”

Dengan demikian, tantangan yang harus bisa dijawab oleh pihak yang terlibat dalam industri e-commerce ini adalah masih terpecah-pecahnya (fragmented) pasar di Indonesia. Artinya, masih belum ada satu platform yang mendominasi seperti halnya Alibaba di Tiongkok.

“Ketika nantinya kita memiliki platform untuk manajemen omni-channel yang akan memberikan kemudahan untuk mendorong inventori tunggal ke dalam semua marketplace dan channel pihak ketiga, maka adopsi omni-channel retail akan lebih ekspansif di Indonesia,” tutur Hadi.

O2O juga dapat berkembang menjadi solusi alternatif untuk memecahkan masalah logistik yang kerap mampir ke para pemain e-commerce Indonesia. Menurut Leon, meski saat ini cakupan layanan logistik konvensional lebih luas, tak menutup kemungkinan O2O menjadi layanan yang disruptive di sektor ini.

Hadi menyebutkan, O2O model loker dan poin penjemputan pada toko retail offline adalah yang akan membantu mengatasi kesenjangan tenaga kerja dan teknologi untuk logistik di jasa pengantaran B2C. Ke depannya ia memperkirakan Indonesia akan punya jasa antar yang mobile, mengingat lokasi geografis yang luas dan alamat pembeli kadang tidak lengkap (terutama kode pos) atau susah ditemukan.

E-commerce Indonesia dan adopsi model O2O

shutterstock_224107363

Pada akhirnya dunia e-commerce di Indonesia cepat atau lambat akan mengarah pada bentuk perdagangan O2O dan omni-channel, setidaknya itu yang diyakini Hadi. Penerapannya sendiri sudah dapat dilihat melalui salah satu pemain e-commerce Indonesia, yakni MatahariMall. Menurut Hadi, setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya berpendapat mengapa tren ini akan terus berlangsung.

Pertama, pesatnya pertumbuhan bisnis e-commerce di Indonesia yang diprediksi akan meningkat nilainya, dari $1,3 billion (2013) menjadi $30 billion dalam beberapa tahun ke depan menurut A.T. Kearney. Pertumbuhan tersebut akan berimbas pada meningkatnya permintaan jasa seperti delivery services dan menuntut insfrastuktur yang lebih baik, teknis maupun fisik. Konsep O2O seperti on-demand delivery service, smart lockers, dan offline retail in-store pick-up point akan dapat bantu meringankan ini.

Kedua, lanskap e-commerce yang masih terpecah-pecah (fragmented). Tak dapat dipungkiri bahwa e-commerce Indonesia masih hijau, karenanya ada banyak channel untuk berjualan dan berbelanja. Menurut Hadi, untuk mengoperasikan ekosistem yang kompleks ini, teknologi omni-channel akan menjadi sangat krusial untuk membantu merchant mendorong inventori tunggal dan katalog produk ke seluruh marketplace, termasuk channel retail offline.

Ketiga, masih adanya marketplace C2C “bayangan” melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram. Hadi menyebutkan bahwa transaksi pada saluran-saluran tersebut akan menjadi lebih mudah dengan adanya jasa O2O seperti on-demand delivery dan smart locker. Apalagi bila loker tersebut digunakan di daerah tempat tinggal (residential).

Zaky dan Leon juga percaya bahwa masa depan e-commerce Indonesia dapat mengarah ke bentuk perdagangan O2O. Bagi Zaky sendiri semuanya masih mungkin terjadi, tergantung bagaimana mengeksekusinya.

“Tidak ada yang pernah tahu. Dulu saya berpendapat Go-Jek itu tidak akan jalan di Indonesia, tapi hari ini saya salah. Apapun bisa terjadi di negara ini asalkan serius dan inovatif,” tandasnya.

Previous Story

Peran Krusial Sertifikasi SSL Dalam Membangun Ekosistem E-Commerce Tanah Air

Next Story

Peneliti Ciptakan 3D Printer Kaca, Sanggup Membuat Struktur yang Amat Kompleks

Latest from Blog

Don't Miss

Blibli rayakan ulang tahun ke-12

Ulang Tahun ke-12, Blibli Hadirkan Program “Blibli Annive12sary”

Dengan persaingan yang semakin ketat, eksistensi sebuah e-commerce di Indonesia
Lapakgaming rebranding

Lapakgaming Umumkan Rebranding, Komitmen di Industri Top-up dan Hiburan Digital

Lapakgaming, platform top-up game dan produk digital yang berada di