Dua pengembang aplikasi lokal asal Bandung, NoLimit dan RGB, baru-baru ini merilis sebuah portal yang berfungsi untuk melakukan monitoring terhadap akun-akun media sosial pemerintahan kota Bandung. Diberi nama Suara Bandung, portal tersebut memonitor tak kurang dari 23 “akun dinas” milik berbagai elemen pemerintahan kota Bandung.
Sedikit kilas balik, salah satu terobosan unik yang dilakukan oleh walikota Bandung yang baru saja terpilih pada akhir 2013 lalu adalah mewajibkan berbagai elemen pemerintahan kota Bandung untuk memiliki akun media sosial, utamanya media sosial Twitter. Harapannya, dengan menghadirkan berbagain instansi pemerintahan tersebut ke ranah media sosial, publik akan lebih mudah untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan keluhan. Nah, pertanyaan yang lantas muncul tentu adalah seberapa efektif inisiatif media sosial Pemkot Bandung ini?
Dengan portal Suara Bandung, NoLimit dan RGB berusaha untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut. Di portal ini, tiap-tiap akun dinas tadi dinilai performanya berdasarkan parameter “response rate“. Parameter ini diukur dari jumlah tanggapan akun dinas berbanding dengan keluhan yang masuk ke akun dinas tersebut. Akun-akun dinas ini kemudian diberi peringkat berdasarkan response rate tadi.
Tidak berhenti di sana, Suara Bandung juga mengukur sentimen yang diperoleh oleh tiap-tiap akun dinas tersebut. Dengan engine analisis sentimen yang dimiliki oleh NoLimit, semua mention yang diterima oleh masing-masing akun dinas dianalisis dan akhirnya diberi skor berdasarkan berapa banyak sentimen positif atau negatif yang diterima.
Portal Suara Bandung sendiri saat ini masih lebih fokus kepada response rate dalam memberi peringkat kepada akun-akun dinas yang dimonitor. Dalam pernyataan melalui email kepada Trenologi, CEO NoLimit, Aqsath Rasyid menyatakan bahwa hal ini memang disengaja karena Suara Bandung masih berfokus untuk meningkatkan ketanggapan para akun dinas tersebut.
Terakhir, Suara Bandung juga mengajak masyarakat Bandung untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasinya melalui Twitter dengan menggunakan tanda pagar #suarabdg.
Dalam pandangan saya, pendekatan public engagement melalui media sosial di bidang pemerintahan masih jarang dipraktekkan di Indonesia, apalagi untuk sampai ke tahap pengukuran dampak dan efektivitasnya. Terlepas dari persepsi bahwa media sosial seperti Twitter masih sangat besar biasnya kepada tren masyarakat urban saja, upaya-upaya untuk membuka kanal bagi pemerintahan untuk melakukan sikap transparan dan akuntabel seperti ini menurut saya sangat patut untuk diapresiasi.