Dark
Light

Nama Produk vs Nama Perusahaan, Mana Yang Lebih Penting?

2 mins read
April 13, 2011

Suatu pembicaraan menarik terangkum di Twitter kemarin antara saya, Abangkis Pribadi (MReunion Labs, pengembang aplikasi Android), Titi Rusdi (7Langit) dan Abul A’la Almaujudy (Better-B). Awalnya ketika saya melihat iklan bincang-bincang pengembang “sukses” yang akan diadakan oleh detikInet yang mengundang 7Langit, Better-B dan Komutta. Ok, Komutta. Yang saya tahu selama ini Komutta adalah nama produk, suatu aplikasi untuk platform Android tentang informasi transportasi Jakarta. Pembuatnya adalah MReunion Labs.

Nampaknya sudah mulai terlihat adanya “persaingan” antara nama produk vs nama perusahaan di sini. Komutta lebih dikenal ketimbang MReunion Labs sebagai pembuatnya. Ternyata konfirmasi pihak 7Langit dan Better-B sendiri secara mengejutkan menyebutkan fakta yang tidak jauh berbeda. Mereka menyadari bahwa sejumlah produknya lebih dikenal namanya ketimbang perusahaannya sendiri.

Meskipun ada juga produk yang memiliki nama yang sama dengan perusahaannya, sebut saja Facebook dan Twitter — yang terakhir awalnya menggunakan entitas perusahaan Odeo, kebanyakan pengembang memiliki berbagai macam produk yang bisa jadi satu atau dua di antaranya malah lebih ngetop.

Pernah dengar aplikasi BlackBerry bernama gempaloka ataupun quran? Yakin Anda tahu siapakah pembuatnya? Bisa jadi kebanyakan orang akan lebih ngeh ketika disebutkan nama produknya ketimbang nama perusahaan pembuatnya, meskipun dari awal sudah disebutkan siapa pengembang produk-produk tersebut. Ini mungkin merupakan “problem” buat semua, tapi apa betul ini benar-benar suatu “problem”?

Secara prinsip pemasaran, hal semacam ini bukanlah hal aneh. Di ranah FMCG (Fast Moving Consumer Goods) di mana brand berperan penting, bisa jadi kadang-kadang malah brand lebih penting ketimbang perusahaannya itu sendiri. Ada istilah one billion dollar brand, di mana suatu merk produk secara sendirian menghasilkan nilai penjualan lebih dari satu miliar dollar dalam satu tahun. Banyak akuisisi yang hanya melibatkan brand, bukan perusahaan. Mungkin hanya Unilever, P&G, Danone dan Nestle yang secara global punya banyak produk ngetop tapi tetap memiliki citra besar sebagai sebuah perusahaan multinasional terpercaya.

Mendiskusikan soal brand tentu tidak akan ada habisnya. Sejumlah literatur yang sempat saya baca merekomendasikan buku “Brand Portfolio Strategy” karya David A. Aaker sebagai pedomannya. Anda bisa membaca sebgian isinya melalui Google Books. Soal ini saya tidak mau berpanjang lebar karena memang bukanlah pakar pemasaran. Monggo kepada orang-orang yang lebih kompeten untuk sumbang saran soal hal ini. Yang pasti buat saya hal ini tetap jadi concern bagi perusahaan manapun, termasuk tech startups.

Berbicara lagi soal ranah startups, coba kita telaah lagi, berapa banyak yang lebih kenal Rovio Mobile sebagai pengembang ketimbang Angry Birds, produk permainan fenomenal yang jadi aksesoris wajib setiap toko aplikasi berbagai platform saat ini? Sisi positifnya, ketika nama Angry Birds terangkat, orang justru akan semakin mengenal Rovio Mobile sebagai pembuatnya. Jadi kembali ke kasus kita, meskipun memang salah menyebutkan nama produk mewakili entitas pengembang, saya rasa pengembang tidak perlu terlalu risau terhadap hal ini. Tinggal bagaimana metode pemasaran pengembang itu sendiri memanfaatkan kesuksesan salah satu atau dua produknya untuk mendapatkan credit ataupun acknowledgement.

Kesimpulan yang saya ambil, tidak masalah jika ternyata produk lebih terkenal ketimbang perusahaan itu sendiri. Secara tidak langsung ini berarti bahwa strategi pemasaran untuk produk unggulan tersebut sudah sukses ataupun sangat sukses. Sebagai pengembang, mungkin malah lebih baik lagi mengangkat nama perusahaan dengan mengasosiasikan diri dengan nama produk suksesnya, misalnya menyebut “Rovio Mobile, pengembang permainan populer Angry Birds”. Bagaimana dengan perusahaan Anda, sudah siap mendompleng kesuksesan nama produk yang dihasilkannya?

[Sumber gambar]

4 Comments

  1. Betul…brand bs belajar dr Zynga, yg akhirnya orang jadi tahu dengan banyaknya aplikasi yg bagus dibuatnya

  2. Brand produk lebih mengena kepada market ketimbang nama perusahaan untuk segment ritel atau (B to C), sedangkan untuk B2B reputasi perusahaan, nama perusahaan, positioning perusahaan menjadi salah penentu… Sekarang siapa yang dibidik? B2C atau B2B?

    Kelebihan menggunakan brand produk adalah ketika brand gagal dipasar, nama perusahaan secara langsung tidak ikut tercoreng.

  3. saya betul2 bangga sama perkembangan teknologi di indo sekarang ada karuten.com tokopedia.com wah maju ayo maju

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Event Review: Bandung Ventures Night 2011

Next Story

Mig33 Partners With Gree, Opens Floodgate for Social Game Developers

Latest from Blog

nubia V60 Design Hadir di Indonesia

ZTE Mobile Devices Indonesia secara resmi memperkenalkan smartphone terbarunya, nubia V60 Design di Indonesia. Smartphone ini dirancang dengan menghadirkan estetika dan teknologi,

Don't Miss

Co-Founder & CEO Shoplinks Teresa Condicion / Shoplinks

Personalisasi Kupon Belanja Shoplinks Dorong Kegiatan Pemasaran Brand FMCG

Berangkat dari pengalamannya bekerja di perusahaan FMCG selama 17 tahun,
Tips Mengubah Pembeli Jadi Pelanggan dengan Email Marketing - DailySocial.id

Tips Mengubah Pembeli Jadi Pelanggan dengan Email Marketing

Dalam menjalankan sebuah bisnis, pastinya memiliki pembeli adalah hal yang