Hari Rabu lalu, (12/8), diperingati sebagai Hari Nasional UMKM 2020. Beberapa acara virtual bertajuk pemberdayaan usaha kecil dilakukan berbagai instansi, baik publik maupun privat. Di luar aspek-aspek simbolis tersebut, UKM di Indonesia memang layak menjadi perhatian berbagai pihak. Sektor ini menawarkan solusi tangkas dalam menggerakkan ekonomi nasional. Melibatkan berbagai komponen masyarakat secara luas.
Jumlah penggiat UKM konsisten naik dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2018, menurut data BPS, sudah ada 64,2 juta unit usaha di skala tersebut. Mereka memberikan 60,3% kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Data Kemenkop menyebutkan, tahun ini pemerintah menargetkan minimal 2 juta UKM berhasil go digital. Hingga Agustus 2020, jumlahnya masih sekitar 1,4 juta, baru sekitar 2% dari jumlah total.
Tingkatan digitalisasi UKM
Program yang membawa UKM mematangkan strategi digital banyak digalakkan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta. Digitalisasi jelas bukan sekadar jargon, karena memungkinkan UKM memperkuat fondasi bisnis. Tujuannya sangat jelas, memperluas prospek bisnis dan membuka pangsa pasar baru.
Digitalisasi sendiri tidak hanya tentang menjual produk secara online. Lebih dari itu, banyak aspek yang bisa dioptimalkan melalui pendekatan digital, termasuk terkait rantai pasokan, logistik, pemasaran, sampai operasional bisnis.
Di tahun 2015, Deloitte menyurvei 437 pelaku UKM di Indonesia. Mereka berhasil merekam tingkatan digitalisasi yang telah dilakukan pemain UKM. Sebagian besar berada di tahap dasar dan menengah. Umumnya di sini pemanfaatan teknologi baru terbatas pada satu-dua pemrosesan, seperti memanfaatkan online marketplace untuk menjual produk, menggunakan uang elektronik untuk menerima transaksi, atau memanfaatkan media sosial untuk memasarkan layanan.
Lantas pertanyaannya, apakah cukup? Jawabannya tentu beragam, nenjurus pada apakah dengan digitalisasi di tingkatan tersebut mereka sudah mencapai tujuan yang diharapkan. Di sisi lain, alat-alat digital yang berkembang juga semakin canggih, memungkinkan UKM melakukan banyak hal. Termasuk membuat proses bisnis menjadi lebih efisien.
Dukungan startup lokal
Tabiat founder startup adalah mencoba menyelesaikan permasalahan dengan inovasi teknologi, termasuk bagi para pelaku UKM. Menurut riset SME Empowerment 2020, DSResearch memetakan berbagai layanan startup lokal yang telah dirilis dan menyasar penyelesaian permasalahan finansial / permodalan, operasional, dan ekspansi.
Bentuknya bermacam-macam. Sebagian besar dibungkus berbentuk SaaS (Software as a Services), online marketplace, dan model keanggotaan lainnya. Jumlahnya cukup banyak dengan tipe platform yang unik dan spesifik.
Ambil contoh untuk penyelesaian masalah finansial. Tidak sedikit pelaku usaha di daerah yang kesulitan mendapatkan akses pinjaman ke perbankan. Bahkan masih banyak juga yang belum memiliki rekening bank. Menurut laporan McKinsey & Company, isu tersebut dialami sekitar 50% dari total pelaku UKM di Indonesia.
Layanan fintech hadir dengan mekanisme yang lebih mudah. Beberapa bahkan sangat unik. Misalnya yang dilakukan platform fintech lending Amartha. Pinjaman disalurkan melalui kelompok-kelompok usaha kecil di tiap daerah. Konsepnya gotong-royong. Saling membantu dan mengingatkan. Skema ini mempermudah proses skoring kredit maupun menekan angka gagal bayar, karena dana dipastikan tepat sasaran dan tepat guna dengan plafon yang sesuai takaran.
Pun demikian yang dilakukan Wahyoo. Mereka memungkinkan pemilik warteg mendapatkan stok bahan dengan harga yang paling efisien, membantu mendatangkan konsumen baru dengan promosi digital, dan memberikan penghasilan tambahan dengan kerja sama iklan tempel di kedai.
Sedangkan Titipku memberdayakan milenial yang akrab dengan smartphone untuk membantu mempromosikan UKM trandisional di sekitarnya.
Pemberdayaan yang lebih optimal
Sejauh ini, digitalisasi di tingkat dasar sudah bisa dikatakan menjangkau banyak kalangan UKM. Hampir setiap bisnis memanfaatkan media sosial, marketplace, dan lain-lain. Tantangan berikutnya hadir. Saat semua berjualan di media sosial dan marketplace, bagaimana pelaku bisa bertahan dan meningkatkan bisnis di tengah persaingan yang ada?
Jawabannya dengan melanjutkan digitalisasi ke tahap berikutnya. Di sisi operasional, misalnya, UKM bisa mulai memanfaatkan alat-alat pencatatan yang memungkinkan mereka mudah mendapatkan analisis dan proyeksi bisnis.
Dengan memanfaatkan aplikasi pencatatan, UKM dapat melihat bagaimana tren bisnisnya dari waktu ke waktu. Pemilik bisnis pun bisa menghasilkan keputusan yang tepat. Untuk seorang penjual pakaian anak, data-data transaksi membantu mereka mengetahu kapan waktu yang tepat untuk melakukan penambahan modal. Dengan analisis data itu pula, mereka bisa menangkap ketertarikan pengguna terhadap produknya, misalnya menjadi preferensi konsumsi segmen tertentu.
Aspek operasional lain juga banyak yang ditransformasi, seperti untuk urusan logistik. Makin banyak varian SaaS yang memudahkan UKM menemukan solusi pengiriman yang tepat. Crewdible, misalnya, memungkinkan UKM memiliki warehouse atau gudang sementara untuk mengefisienkan distribusi produk.
Berbekal data transaksi yang ada, UKM bisa menaruh produk-produknya pada gudang yang disewa di titik tertentu. Misal UKM X memiliki banyak pelanggan di Jawa Timur, maka dengan meletakkan stok produk di Surabaya proses pengiriman bisa menjadi lebih cepat dan murah.
Sinergi yang berkelanjutan
Salah satu sektor ekonomi yang cukup tahan terhadap pandemi Covid-19 adalah pertanian. Sementara laporan bertajuk “Micro and Small Business in Indonesia’s Digital Economy” yang dirilis Asia Pacific Foundation of Canada memaparkan bahwa persentase terbesar UKM di Indonesia adalah di bidang agribisnis.
Hal ini bisa jadi fondasi awal untuk mendukung UKM demi menjaga stabilitas perekonomian. Sinergi mutualisme antara startup digital dan pemain di sektor agro terlihat makin kencang di saat pandemi. Berbagai platform digital pivot atau memperkuat bisnis online grocery–nya. Beberapa di antaranya menggandeng pengusaha tani di berbagai daerah untuk memasok bahan-bahan segar.
Namun, melihat kondisi umum, pandemi telah memorakporandakan tatanan bisnis di berbagai skala. Dari mikro sampai besar. UKM pun merasakan dampak getir dari krisis akibat virus ini. Menurut survei teranyar yang dilakukan Telkomsel, ada beberapa isu yang makin menjadi gara-gara pandemi. Tiga hal yang paling banyak dikeluhkan adalah penurunan pembeli, penurunan pembelanjaan, dan logistik.
Isu-isu baru yang mengemuka bisa menjadi terobosan selanjutnya bagi para inovator. Sinergi antara inovator dan pelaku UKM harus terus dibina melalui pembentukan ekosistem yang sehat. Cita-cita tersebut baru bisa terbentuk jika setiap stakeholder yang terlibat memiliki satu visi membentuk harmoni iklim bisnis yang sehat. Startup digital dan UKM diharapkan untuk tetap menjadi motor penggerak perekonomian menuju perekonomian bangsa yang lebih baik.
Selamat Hari UMKM, mari bersama-sama mendukung UMKM dalam negeri dengan terus berinovasi dan menjadi konsumen yang baik.