Dark
Light

[Music Monday] Sisi Gelap Musik Digital dan Mengapa iTunes Store Tidak Masuk ke Indonesia

3 mins read
July 9, 2012

Banyak orang yang tidak menyadari struktur kompleks di balik istilah “industri musik”. Bagi banyak orang, apa yang terlihat lewat media adalah para musisi, artis atau  mungkin sesekali penulis lagu, kadang-kadang penyebutan label musik di sini, produser rekaman di sana, dan kadang-kadangadditional musician album tertentu.. Tetapi sebenarnya, paduan antara para penulis lagu, penerbit, produser rekaman, label musik, saluran distribusi, para artis, dan banyak sekali orang lain, ikut andil dalam sebuah tarian rumit (yang kadang membingungkan). Jadi, apa yang akan terjadi jika sistem tersebut hancur?

Lagi-lagi semuanya lebih sederhana pada era musik pra-digital. Sebenarnya, keseimbangan tersebut dicapai setelah bertahun-tahun penuh tawar-menawar, negosiasi, dan manuver korporat. Para penerbit musikyang mewakili para pencipta lagu untuk segala hal yang berhubungan dengan duplikasi (proses duplikasi lagu ke berbagai medium akan mendapatkan hak royalti “mekanik”), dan sinkronisasi (penggunaan lagu untuk disingkronkan dengan media lain seperti iklan TV) dan memastikan penulis lagu mendapatkan kesepakatan bisnis yang bagus.

Label rekaman biasanya berinvestasi pada pembuatan album dan pembentukan artis, dan mengambil porsi terbesar dari keuntungan yang didapatkan dari penjualan album. Distributor –  toko CD dan perantara lain –  mendapatkan pemasukan dari mendistribusikan produk musik. Collecting society, biasanya mewakili para penulis lagu juga, mengumpulkan royalti dari berbagai perusahaan atau pihak yang menggunakan lagu untuk pertunjukan publik, seperti untuk siaran televisi, radio, karaoke, hotel, restoran, dan di berbagai tempat lain di mana penggunaan musik bisa mendatangkan keuntungan secara tidak langsung (lebih banyak pengunjung, lebih banyak konsumen, dll). Industri ada pada titik keseimbangan, dan kasus apapun akan dibicarakan di antara asosiasi.

Kebingungan – dan tuntuan hukum – mulai muncul pada awal tahun 2000-an, ketika Indonesia baru mulai memasuki bisnis ringtone. Perusahaan penjual nada dering dari lagu populer menemukan tambang emas dan terus menjualnya sampai tuntutan hukum muncul dari collecting society dan para penerbit musik, karena nada dering sebenarnya adalah bagian dari sebuah karya cipta. Para penerbit musik berpendapat bahwa penjualan nada dering harus membayar royalti mekanik, karena di sana ada proses duplikasi dari sebuah lagu (dalam format file nada dering). Collecting societymengatakan bahwa dikarenakan nada dering dimainkan pada sebuah ponsel yang memungkinkan orang lain mendengarnya, maka termasuk pengumuman publik. Tuntutan hukum dimenangkan, kesepatakan pembayaran royalti dilakukan dan penyedia konten mulai membayar royalti di muka, pada penerbit dan collecting society.

Masuknya label musik ke era musik digital juga tak kalah dramatis – master tone/true tone (potongan dari rekaman lagu asli) menjadi populer, jadi label musik memastikan penyedia konten untuk harus bekerja sama dengan mereka, atau berisiko tuntutan hukum. Label musik juga bekerja sama langsung dengan para operator untuk mendukung layanan ringback tone, yang juga akan menggunakan potongan dari rekaman lagu asli.

Negosiasi antara penerbit dan label dilakukan untuk memutuskan tarif royalti untuk produk-produk seperti nada dering (dan produk musik digital lain), yang benar-benar membutuhkan waktu bertahun-tahun – karena seluruh penjuru dunia sedang mendiskusikan ini – tetapi disepakati bahwa bisnis harus terus berjalan.

Entah dari mana, collecting society menuntut para operator karena tidak membayar royalti pengumuman publik, yang memaksa pihak operator untuk menghapus konten internasional dari layanan nada dering mereka, dan membutuhkan label musik untuk memiliki surat izin dari para komposer untuk setiap lagu.

Saya telah menuliskan beberapa kali perihal tuntuhnya industri SMS premium dan bagaimana hal ini mempengaruhi industri musik, jadi saya tidak akan membahas hal itu lagi. Yang jadi menarik adalah, bagaimana kondisi yang sama telah memberikan dampak pada Indonesia untuk tidak ikut dalam pembukaan iTunes Store di Asia baru-baru ini.

Pembatalan pada menit-menit terakhir ini ada hubungannya dengan perselisihan atau perubahan sikap pada kesepakatan royalti antara label musik, penerbit dan collecting society untuk penjualan lagu lewat iTunes di Indonesia. Jadi, pasar yang potensial ini tetap tidak tergarap, karena para pemangku kepentingan di industri tidak bisa menemukan titik temu tentang berapa uang yang harus dibagi di antara mereka.

Ini bukan tentang baik atau buruk, ini hanya persoalan bisnis –  semua orang di sini ingin mendapatkan uang. Negosiasi yang berlangsung bisa sangat alot, karena semua orang harus memastikan hasilnya menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Tetapi pembatalan pada menit terakhir – untuk para negotiator, dimana titik kepentingan perusahaan berakhir dan ego pribadi dimulai? Bagaimana mungkin sikap mau semuanya atau tidak sama sekali bisa memberikan keuntungan bagi orang lain?

Alhasil, sementara mata-mata rantai industri sibuk melakukan negosiasi dan mengirimkan tuntutan hukum, para pendengar musik sudah beralih ke sumber-sumber musik lain, legal maupun tidak.

Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Previous Story

ENVO Develops Persona Apps for iOS, Ready to Launch Beyond

Next Story

KadoButa for You Who Loves Surprises as Gifts

Latest from Blog

Don't Miss

Kiat Tepat Membangun “Growth” Bisnismu Melalui Pengembangan Produk

Banyak cara dilakukan untuk menarik dan meyakinkan orang agar membeli

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri