Indonesia adalah negara demokratis, paling tidak pada prinsipnya. Setidaknya ‘demokratis’ tidak datang dalam tanda kutip lagi, seperti pada masa Orde Baru. Kini, demokrasi membuat kita bisa memilih atau berdiskusi tentang apapun, atau menunjuk perwakilan untuk melakukan voting dan proses diskusi, dan dengan demikian memutuskan apa yang akan disahkan, yang akan diikuti dan dikawal oleh cabang eksekutif (hanya mengingatkan, ini berarti Presiden dan pemerintahnya). Sekarang apa hubungannya dengan bisnis musik digital? Hukum/undang-undang, itulah hubungannya.
Secara dasar industri musik adalah bisnis berbasis konten, dan sangat terpengaruh oleh undang-undang hak cipta – bagaimana pemerintah melihat isu ini yang berkenaan dengan hak cipta, dan bagaimana pandangan pemerintah tentang implementasi terbaiknya. Dan, dari sekian juta hal yang membutuhkan regulasi di negara ini, Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia yang paling baru disahkan sebagai pada tahun 2002, dibawah kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri. Meskipun menurut beberapa orang undang-undang ini masih kurang di beberapa area, pembaruan yang dibuat telah menambahkan proteksi hukum yang sangat dibutuhkan untuk karya sinematografi sampai dengan program komputer, memperbaiki versi undang-undang hak cipta yang sebelumnya disahkan pada tahun 1979.
Salah satu klausul yang paling menarik dari undang-undang ini, paling tidak dalam konteks industri musik, menyatakan bahwa “Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai pengaman hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau dibuat tidak berfungsi.” Klausul selanjutnya menjelaskan bahwa karya yang mengunakan teknologi tinggi, seperti cakram optik, harus mengikuti peraturan pemerintah dan membutuhkan persetujuan dari pihak berwenang. Ada juga klausul untuk memproteksi para produser musik (baca: label musik) dan perusahaan penyiaran (baca: stasiun televisi), selain pencipta/komposer. Klausul ini juga merupakan pembaruan penting dari undang-undang sebelumnya.
Ini dimana demokrasi mengambil perannya: pembaruan dari undang-undang sebelumnya – atau bahkan pembuatan undang-undang yang baru – sangat bergantung dari isu yang dianggap paling membutuhkan regulasi yang diajukan DPR. Apa yang dianggap penting bagi DPR didasarkan keyakinan pribadi mereka, dari arahan afiliasi politik mereka, dan input langsung dari masyarakat. Ini kondisi dimana lobi-lobi hadir – untuk menjamin isu tertentu dan kepentingan benar-benar terwakili di DPR dan oleh karena itu diuntungkan secara sesuai oleh revisi undang-undang.
Jadi, selama proses perencanaan Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002, para pelobi dari perusahaan rekaman, stasiun televisi dan perusahaan produsen CD/DVD (bersama dengan pemilik konten) memastikan bahwa mereka memiliki proteksi yang layak atas undang-undang yang direvisi. Perlu dicatat bahwa dalam undang-undang hak cipta tahun 2002, “Produser Rekaman Suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.”
Oleh karena itu, pembajakan musik adalah kejahatan – dan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1979 tidak punya kejelasan atas hal ini. Jadi, pembajakan musik adalah kejahatan di mata Undang-Undang, karena DPR dan perusahaan rekaman juga mendefinisikan seperti itu. Namun perlu diingat, Undang-Undang ini juga dibuat dengan pertimbangan akte-akte World Intellectual Property Organization, yang terartifikasi dengan Undang-Undang tersebut.
Jadi kesimpulannya: undang-undang hak cipta di Indonesia menanggap bahwa mengunggah file musik yang tidak sah ke file sharing itu ilegal, begitu pula membongkar DRM untuk mengakses dan/atau menduplikasi konten musik. Situs untuk mendistribusikan konten yang tidak sah juga ilegal, karena dianggap sebagai duplikasi yang tanpa izin. Hal yang disayangkan tentang undang-undang di Indonesia, adalah penegakan (atau tidak adanya penegakan) – hanya baru-baru ini pemerintah mengambil aksi atas situs berbagi file ilegal, meski hal ini terjadi karena lobi-lobi yang terus menerus dari industri.
Jadi, aturan di Undang-Undang sudah jelas soal pembajakan, terlepas dari kesesuaian isu ini dalam berkembangnya pola-pola konsumsi konten. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini menjadi masalah bagi Anda, atau peluang?
Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
[Gambar]