Dark
Light

[Music Monday] Mengapa Toko Unduhan Musik Tidak Akan Berhasil di Indonesia

3 mins read
May 15, 2012

Makin saya pikirkan, semakin yakin bahwa layanan musik – setidaknya di Indonesia – berjalan ke arah yang salah. Sejak 2008, Indonesia telah memiliki beberapa toko unduhan musik online. Berbagai model bisnis telah dijalankan – ISP mencoba pembayaran ISP, operator telekomunikasi mencoba dengan membayar via SMS, dan beberapa layanan lain bahkan menyediakan pilihan sistem pembayaran; baik lewat SMS atau voucher elektronik.

Investasi (yang cukup mahal) di-hosting dan sistem pengiriman konten dilakukan dalam usaha untuk meniru apa yang sepertinya berjalan di luar negeri – unduhan musik. Pada dasarnya, pengguna akan membayar untuk sebuah lagu yang mereka inginkan, dan hanya untuk lagu yang mereka mau saja, dan mengunduhnya ke perangkat mereka. Kebanyakan layanan membutuhkan implementasi DRM untuk menghindari proses penyalinan yang tidak sah, dan file itu sendiri biasanya terkunci hanya pada perangkat yang mengunduh file tersebut.

Tentunya, ini tidak berhasil. Pastinya praktik ini tidak pernah memberikan hasil yang diinginkan oleh industri musik.

Berhubung layanan iTunes tidak tersedia di pasar Indonesia, banyak pemain yang mencoba untuk menawarkan layanan unduhan musik. Banyak dari layanan toko unduhan musik ini mencoba untuk meniru iTunes dengan beberapa pendekatan – sebagian besar menduplikasi desain antar muka, beberapa lainnya mencoba untuk membuat ekosistem dari perangkat keras + perangkat lunak yang menjadi unggulan iTunes. Tidak ada dari berbagai toko unduhan musik ini yang merupakan pabrikan perangkat keras, jadi mereka harus berusaha sangat keras untuk membuat pengalaman pengguna semulus mungkin, dan membuat pengguna perangkat bergerak yang jumlahnya sudah sangat besar untuk terbiasa dengan unduhan musik.

Berbagai usaha pemasaran dan promosi diluncurkan, dan kerja sama dilakukan dengan label musik untuk menawarkan koleksi lagu yang banyak. Negosiasi bisnis memakan waktu berbulan-bulan karena kedua belah pihak menginginkan proporsi yang seimbang antara menariknya layanan bagi konsumen, serta kesepakatan yang menguntungkan bagi label musik (yang mewakili para musisi dan para artis) untuk menjamin agar mereka mendapatkan uang yang bisa digunakan berinvestasi kembali dalam membuat musik lainnya. Sistemnya itu sendiri membutuhkan usaha yang keras untuk membangunnya, belum lagi usaha promosi yang harus dijalankan untuk mengenalkan layanan tersebut. Memang harus dicoba, dan melihat apakah orang mau menerima layanan unduhan musik.

Ya, tentu saja usaha ini tidak berhasil – salah satu dari 5 hal yang dilakukan orang Indonesia di internet adalah mencari musik (lagu-ed). Dan apakah mereka mencarinya di toko unduhan musik? Tidak, mereka mencarinya di 4shared, Mediafire, dan beberapa layanan berbagi file sejenis lainnya. Mengapa? Karena lebih mudah. Dan ‘perilaku’ ini telah berlangsung sejak era Napster, jauh sebelum teknologi untuk membangun sebuah toko unduhan musik online tersedia.

Dunia digital bagaimanapun menjadi pedang bermata dua bagi industri musik – di satu sisi, sifat digital mampu memberikan peningkatan skala yang nyaris tak terbatas dalam hal penjualan konten; di sisi lain, konten yang sama dengan mudah diduplikasi – dan skema perlindungan untuk pengkopian bisa dipecahkan – dan distribusikan tanpa kontrol dari pemilik konten. Belum lagi fakta bahwa banyak orang tidak peduli dengan masalah hukum hak cipta dan hukum anti pembajakan – mereka hanya menginginkan musik. Dengan demikian, asumsi bahwa orang mau membayar untuk file MP3 berkualitas rendah – atau bahkan file MP3 berkualitas tinggi – harus dilihat dengan lebih seksama. Sebenarnya tanda-tandanya sudah jelas – tapi tentu saja, menjadi bagian dari industri di era itu, kita harus mencoba. Melihat ke belakang, mungkin bukan investasi yang layak. Anehnya, beberapa toko unduhan musik masih menjalankan praktik penjualan seperti ini sampai sekarang.

Bahkan ada satu toko yang menggunakan kalimat promosi seperti ini “download lagu legal berkualitas” di iklan billboard mereka (yang juga sebuah kesalahan). Mengapa kalimat tersebut salah: rata-rata konsumen musik tidak peduli apakah legal atau tidak, dan banyak dari mereka juga tidak peduli dengan kualitas. Dan jika Anda menjual sesuatu secara online, mengapa Anda mengiklankannya di billboard? Kenapa tidak berpromosi online?

Saya tidak akan berpura-pura tahu apa yang akan menjadi ‘hal besar selanjutnya’ untuk industri musik Indonesia – sesuatu yang menjadi harapan bagi industri untuk menggantikan bisnis RBT yang naas, seperti bisnis CD sebelumnya – namun yang pasti bukan unduhan musik yang dijalankan dalam bentuk yang sekarang. Bisa jadi hanya satu layanan yang berhasil dari banyak layanan. Musik yang dipaketkan dengan benda lain, dan layanan berlangganan memperlihatkan tanda-tanda sukses, tetapi seperti yang telah saya sebutkan berkali-kali, kuncinya mungkin ada pada ‘banyak hal kecil’ bukan pada hanya satu ‘hal besar’. Dan kreativitas ‘generasi startup‘ tinggal menunggu diajak.

Jadi, orang mau mendengarkan musik. Sudah pasti itu. Sebelum internet, kita punya pilihan terbatas sumber musik – TV, radio, atau membeli album. Sekarang, internet memberikan pilihan nyaris tak terbatas. Mengapa tidak membuat pilihan yang tidak terbatas untuk mengakses musik juga? Pasti ada cara untuk memikirkan ulang bagaimana caranya menjual CD musik atau file musik. Dan mungkin ada banyak cara lain untuk menghasilkan uang dari musik, yang tidak bergantung pada kontrol atas salinan file atau gerakan anti-pembajakan.

Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

15 Comments

  1.  pendapat saya sih dilihat dari sisi fanatisme, banyak orang yang tidak perduli musik yang dimilikinya legal atau tidak. tpi seorang fans (setidaknya) akan rela menabung untuk membeli CD lagu, souvenir dari artis idolanya terlebih jika dibubuhi oleh tanda tangannya

  2. Menurut saya bisa berhasil, asal provider penyedia jasa unduhan musik itu harus dibikin senyaman mungkin bagi pengguna. Dan yg paling penting, dijadikan trend, bahwa yg mengunduh original itu lebih keren daripada yang bajakan. 

    Di beberapa komunitas kecil udah mulai kok dibangun trend ini… contohnya di lingkungan musik rohani… Kita mulai merasa bersalah/tdk nyaman/’kurang afdol’ ketika tidak membeli original nya… 

  3. pertama, opini di atas kurang didukung fakta, misal hasil riset dan semacamnya. kedua, masalah segmentasi dalam pasar industri musik terlalu digeneral, padahal sangat luas cakupan musik digital

  4. Bahkan ketika bandwith sudah memadai, layanan seperti Grooveshark masih susah cari profit dan bermasalah sama label. Apa mungkin model bisnisnya gak bener atau lisensi musiknya seharga tangan dan kaki?

    Tadinya mau jawab semua masalah bakal selesai kalau bandwidth stabil. Apparently, gak juga.

  5. Grooveshark itu dianggap melanggar DMCA makanya dituntut label2. Tapi Spotify cukup sukses kan? Tapi ya… memang bagi hasil dengan label cukup berat itungannya.

  6. sebenarnya ada data-data yang saya punya tapi sifatnya rahasia perusahaan, tidak bisa dibuka di sini. lagipula, saya khusus ngomong soal toko musik online, bukan yang lain.

  7. Setuju soal layanan; harus dibuat sesederhana dan senyaman mungkin untuk pengguna. sayangnya itu sulit karena banyaknya jenis device yang harus didukung membuat proses ini lebih rumit. Kalau mencontoh iTunes, ya downloadnya “cuma” ke iPod/iPhone yang caranya mudah.

    Trend ‘beli original’ sih bagus niatnya, hanya saja masih banyak penikmat musik yang nggak peduli soal ini. jadi memang harus mulai dari yang kecil dulu.

  8. Agak susah nih, konser artis luar yang tiketnya mahal sekalipun – pertanda penontonnya mampu, dan pasti suka – belum tentu semuanya punya CD/lagu yang resmi. Sentuhan personal dari artis bisa meningkatkan kemungkinan akan dibeli oleh fans yang fanatik, tapi itu pun belum tentu 100% pasti.

  9. Bagaimana jika tagline provider itu diubah? Misalnya support musisi favorit Anda agar bisa terus berkarya dengan membeli karya mereka secara legal. Jika kita ingin idola / musisi favorit kita terus berkarya, ya salah satu usaha kita dengan membeli karya-karya mereka dengan cara yang legal. Em.. saya pikir itu hal yang kurang melekat di benak masyarakat.

  10. kalau fans sejati rela mengeluarkan uang untuk mendukung musisi favoritnya, tapi pasar pembeli musik itu mayoritas bukan fans sejati (“casual listener”) yang tidak memiliki loyalitas khusus ke musisi/idola. maunya ya denger musik enak dengan cara yang gampang, kalo bisa nggak bayar. 

    belum lagi soal di TV sering digembar-gemborkan kehidupan artis/musisi yang kaya raya, malah banyak yang jadi apatis, memukul rata dan bilang “ah, kan jadi artis udah kaya, gue nggak peduli gue beli musik yang resmi atau bajakan”. sayang ya 🙁

  11. Knp layanan iTunes masih blom bisa buat Indonesia ya? Apa masih blom ada kesepakatan? Yg penting sih toko musik online itu simple dan gampang. Memudahkan customer. Skrg aja saya udah mulai download lagu2 dari web2 di dunia maya,lah toko musik jual CD gitu2 doang. Byk CD yg gak dijual,apalagi makin byk toko music tutup. Makin susah pula kalo mau cari CD original. Gak mungkin pula tiap mau beli CD favorite,import dari amazon dll. Pasti tekor. Semoga ada iTunes versi Indonesia ato semacam itu. Saya juga mau support hasil karya musisi (dari kecil selalu beli kaset original,CD original dsb).

  12. kenapa iTunes belum buka di Indonesia, sangat bergantung pada ada kesepakatan atau tidak antara Apple dengan para music label – dan kebijakannya Apple sendiri. 

    Kalau keterbatasan CD dalam toko CD, dan bahkan sedikitnya toko CD sekarang, itu karena gejala zaman. Biaya untuk produksi CD, distribusi, dan untuk menjalankan toko CD itu biayanya nyata dan ruangnya terbatas, tidak seperti internet. Ya akhirnya memang menurunnya penjualan CD memang karena banyak konsumen yang beralih ke internet (legal maupun tidak ya). 

    Turut senang semangatnya soal musik original 🙂

  13.  Sangat disayangkan emang. Pdhl aku sering liat org2 yg pengin beli musik original utk support artis favorite masing2. Tapi bingung mau beli musik lewat mana. Di iTunes gak bisa dll. Harusnya label2 musik itu memudahkan org2 beli musik, bukannya mempersulit.

    Dulu pas jaman2 kaset emang kebetulan gak bisa dibajak kan. Hehe. Jd otomatis beli original terus. Terus ganti ke CD biar bisa masukin lagu2 di komputer. Bbrp tahun terakhir bingung,CD yg diincar malah gak dijual di indo. Kdg2 order lewat amazon (mahal!!!). Skrg mungkin beli CD original hanya utk artis yg bener2 fave aja.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

[Music Monday] Why Music Download Stores Won’t Work In Indonesia

Next Story

Coming Soon to Ubud: Hubud, A Community Working Space

Latest from Blog

Don't Miss

The Beatles pakai AI untuk rilis lagu baru

Berkat AI, The Beatles Siap Rilis Lagu Baru dengan Vokal John Lennon

Haruskah penggunaan AI dilarang di industri musik? Jawabannya sudah pasti
Google MusicLM

Google Pamerkan MusicLM, AI yang Mampu Menyulap Teks Menjadi Musik

Kemunculan DALL-E, Midjourney, dan sederet artificial intelligence (AI) jago gambar