Dark
Light

[Music Monday] Membangun Ekosistem Musik Digital Baru

2 mins read
June 25, 2012

Kebutuhan untuk membuat sesuatu yang baru bisanya datang dari pikiran bahwa apa yang sebelumnya hadir, sesuatu yang dibilang tua, tidak berjalan, tidak bekerja lagi, atau sudah terlalu tua untuk digunakan. Banyak perusahaan di seluruh dunia, yang baru didirikan atau sudah ada di bisnis selama beberapa tahun, startup atau perusahaan mapan, dalam titik tertentu telah mengubah taktik mereka, – atau melakukan pivot, dalam konteks startup – untuk mengejar bisnis yang lebih menguntungkan, terutama biasanya karena arahan sebelumnya sudah tidak lagi menghasilkan.

Industri rekaman musik sejak dulu merupakan industri yang bergantung pada konten untuk mendapatkan uang, dan dengan demikian mengendalikan jumlah salinan rekaman musik yang dijual di pasaran. Satu hal tentang industri hiburan adalah orang cepat jenuh, dan industri ini harus selalu bergeser agar tetap dapat menemukan hal kreatif baru yang dapat dijual di pasar

Ini dapat dilihat melalui era musik pop – suatu hari yang jadi tren adalah musik rock, lalu berubah jadi disko, dan di Indonesia kini sedang beralih ke K-pop setelah sebelumnya terjerat dalam era slow rock dengan tema putus cinta. Selain itu industri ini membutuhkan produser musik kawakan untuk mencari apa yang akan menjadi hal besar berikutnya dan bagaimana caranya ‘mengemas’ musik dan aktivitas musik untuk konsumsi pop.

Dibutuhkan keahlian untuk mengelola produksi secara efisien, mulai dari merekan lagu, membuat master-nya, kemudian memproduksi CD secara masal beserta kemasannya. Dibutuhkan keahlian untuk memasarkannya dan juga keterampilan untuk membina hubungan dengan media untuk memastikan adanya liputan.

Namun sepanjang sejarahnya, industri rekaman musik selalu menggunakan model bisnis yang sama. Rekam, gandakan, promosikan, jual.

Saya telah menuliskan berkali-kali bahwa waktu telah berubah. Musik pop selalu mengalami perubahan, seiring dengan lahirnya generasi baru pendengar musik yang tidak lagi mendengarkan musik yang sama dengan orang tua mereka. Tetapi perubahan yang terjadi di sisi bisnis tidak terjadi secepat perubahan musik itu sendiri – malah, ekosistem bisnis yang dibangun melalui proses mencari, membuat rekaman, dan mengatur kegiatan promosi dan pemasaran serta dorongan atas penjualan ke toko musik menjadi semakin kuat. Ya, setidaknya sampai konsumen akhirnya berhenti membeli rekaman lagu.

Sebuah diskusi menarik tentang generasi konsumen musik saat ini dengan para artis yang diduga terpengaruh oleh pembajakan terus berlangsung lagi dan lagi di AS, yang kebetulan terjadi secara paralel dengan pembicaraan mengenai musik dan pembajakan di negara ini. Kesimpulan utamanya dalam pandangan saya sama; ada generasi yang bersedia untuk membayar untuk mengakses musik, tetapi enggan membeli CD atau bahkan unduhan musik tunggal. Kata kuncinya adalah kenyamanan. Kaset dan CD, dulu, adalah cara nyaman dalam membeli dan memiliki musik, tapi bagaimana dengan masa sekarang, ketika Anda bisa mendapatkan hampir segalanya di internet?

Ekosistem ‘tua’ bergantung pada musisi (penulis lagi, artis, band) – produser/label rekaman – pabrik duplikasi album – media (radio, TV, media cetak) + staff pemasaran musik label – toko CD. Jika ini belum berubah, sekarang saatnya berubah. Pada masa era RBT, pelaku industri berubah menjadi musisi – label musik – media dan pemasaran – perusahaan telekomunikasi. Jadi secara dasar polanya sama, tetapi dengan produk yang berbeda. Dengan hasil yang sama juga – ketergantungan berlebih pada satu kategori produk tidak pernah sehat, dan ketika pasar kehilangan ketertarikan, bisnis hilang.

Para stakeholder industri musik perlu mengambil langkah mundur dan melihat gambaran besarnya – Akan seperti apa ekosistem musik digital baru? Bagaimana caranya memanfaatkan internet, tetapi tidak terlalu bergantung pada duplikasi rekaman musik sebagai sumber pendapatan? Bagaimana konsumen menemukan musik di era internet? Apa yang diinginkan untuk dibeli oleh para konsumen di era-internet?

Alih-alih berpikir “apa yang bisa saya jual besok”, akan lebih baik berpikir “bagaimana saya bisa mengunci konsumen dalam ekosistem saya, sehingga konsumen tersebut akan mengeluarkan uang untuk produk saya”. Polanya – ekosistem – harus diperluas. Harus bisa mengenal konsumen dengan lebih baik, bagaimana mereka berpikir, apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka ingin beli. dan ekosistem harus siap dengan perubahan, setidaknya secepat perubahan yang terjadi di internet.

Jadi selain keterampilan dari para pelaku industri musik yang telah saya sebutkan di atas, keahlian untuk menentukan bagaimana cara untuk mendapatkan pemasukan di ekosistem baru ini – bahkan mungkin mendefinisikannya – akan sama pentingnya dengan keterampilan untuk menemukan dan mengorbitkan band/artis.

Namun seperti juga berbagai band atau artis itu, kesuksesan mendadak butuh lebih dari satu malam utnuk merealisasikannya.

Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Gambar oleh Patrick Hoesly dari album Flickr – CC License

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

[Music Monday] Constructing The New Digital Music Ecosystem

Next Story

[Dailyssimo] The Power of Conversation in the Virtual World

Latest from Blog

Don't Miss

The Beatles pakai AI untuk rilis lagu baru

Berkat AI, The Beatles Siap Rilis Lagu Baru dengan Vokal John Lennon

Haruskah penggunaan AI dilarang di industri musik? Jawabannya sudah pasti
Google MusicLM

Google Pamerkan MusicLM, AI yang Mampu Menyulap Teks Menjadi Musik

Kemunculan DALL-E, Midjourney, dan sederet artificial intelligence (AI) jago gambar