Dark
Light

[Music Monday] Melupakan Tentang Pembajakan Digital

3 mins read
April 10, 2012

Semua berawal dari sebuah percakapan. Saya datang terlambat pada sebuah acara sehingga saya tidak berkesempatan melihat presentasi oleh Robin Malau, tetapi sebuah tulisan di blog membahas harmpir semuanya (ini adalah bacaan yang bagus, jika Anda belum membacanya, saya anjurkan untuk membacanya sekarang). Secara mendasar apa yang dikatakan Robin adalah bahwa era digital adalah sebuah pergeseran yang cukup besar dari berbagai hal dan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah ‘saluran’ baru tetapi sebagai sebuah cara pandang baru. Dengan melakukan pendekatan yang berbeda, saya juga menuliskan tentang hal ini beberapa kali, bahkan juga di DailySocial, dan saya percaya bahwa audiens kini telah berubah. Tidak hanya karena berbagai hal kini menjadi digital, tetapi perubahan pandangan yang terjadi di industri itu sendiri. Perubahan terjadi sebagian besar karena sifat digital dan duplikasi di Internet yang tidak memiliki batas, tetapi pengaruhnya tetap sampai ke industri non-digital juga.

Sebelumnya mari kita lihat apa sebenarnya bisnis itu sendiri. Dalam berbagai bisnis, secara mendasar mengambil satu hal, sebuah produk atau sebuah layanan, dan mencoba menjualnya sebanyak mungkin, sebisa mungkin tidak mengubah produk tersebut. Pada titik tertentu uang yang mereka investasikan dapat diperoleh kembali dan mereka mendapatkan keuntungan. Bisnis musik rekaman, pada dasarnya, bukan menjual musik, tetapi menjual produk musik, yang adalah CD, kaset, vinyl. Memproduksi dan merekam sekali, dan menjual salinan dari rekaman terebut. Bahkan hak cipta musik dibangun berdasarkan ini. Pembayaran atas royalti didasarkan pada jumlah salinan yang terjual. Tentu saja, semua salinan yang diperoleh tanpa pembayaran hak cipta, dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Tindakan ini, dengan atau tanpa tujuan komersial, disebut sebagai pembajakan.

Lalu sampailah ke era yang dinamakan digital. Setelah membaca artikel yang ditulis Robin, kami masuk dalam diskusi yang sangat menarik tentang pembajakan vs penjualan. Pendapat Robin, pada dasarnya, pembajakan (atau tidak adanya) tidak ada hubungannya dengan penjualan, dan ia mengambil contoh penerapan hukun ‘three strikes’ di Perancis. Katakanlah Anda memiliki topi virtual yang Anda jugal di Internet. Siapapun yang menginginkan untuk menggunakan topi tersebut harus membayar pada Anda. Katakanlah Anda memiliki jumlah X dalam penjualan. Beberapa orang, apapun motifnya, menemukan cara untuk menggunakan topi virtual tersebut secara gratis, tidak membayar sepeserpun pada Anda, dan pendapatan X Anda menjadi semakin sedikit. Anda menyebutnya sebagai hilangnya penjualan bukan? Hilangnya potensi penjualan karena orang dapat menemukan cara untuk mendapatkannya secara gratis.

Sekarang terapkan hal tersebut pada musik dalam konteks digital. Setiap lagu yang diperoleh tanpa pembayaran dianggap sebagai kehilangan penjualan dan tindakan pembajakan, karena mungkin medianya telah berubah, tetapi hukum hak cipta tidak. Itu sebabnya Digital Rights Management hadir di era musik digital ini, pada dasarnya sebagai usaha untuk mengendalikan usaha distribusi salinan yang tidak sah. Jadi pembajakan adalah sebuah masalah. Bagaimana cara menanganinya dan bagaimaimana hal ini menjadi penting, terserah pemangku kepentingan di industri musik untuk memutuskannya. Dan mereka berpendapat bahwa pembajakan adalah isu utama yang harus diselesaikan.

Saya berpendapat bahwa perilaku pembajakan harus diubah, tetapi di sisi lain saya juga pernah mengatakan bahwa pembajakan hanyalah sebuah perilaku yang harus ditelaah lebih lanjut, lagi pula bisnis model baru bisa dibuat dengan lebih pas untuk perilaku ini tetapi tetap bisa menghasilkan pemasukan untuk artis, label atau pihak manapun yang terlibat. Uang memiliki peran penting, untuk membuat lagu bisa saja dikeluarkan uang sebesar $1 atau $ 1.000.000, tetapi membutuhkan uang yang nyata untuk membuat rekaman musik yang bagus agar laku di pasaran. Jadi hanya dengan menggratiskan musik bukanlah jawaban akhir. Mungkin bisa jadi bagian strategi yang lebih besar, tetapi itu menjadi persoalan untuk dipecahkan setiap musisi atau label musik. Tetapi semakin kecil peluang mereka untuk mendapatkan pemasukan lewat musik – seperti kehilangan peluang penjualan karena pembajakan – semakin sedikit musisi atau label musik akan berinvestasi untuk album atau rekaman lagu selanjutnya.

Tetapi saya selalu berusaha untuk melihat sesuatu dari perspektif orang lain, dan saya mengambil kesempatan ini untuk melihat berbagai hal dari perspektif Robin. Jika saya mengartikannya secara benar, kita tidak perlu khawatir tentang kehilangan proyeksi penjualan – yang dikatakan Robin, dari akun manapun, sebuah nomor imajiner – yang dikarenakan pembajakan, tetapi lebih pada bagaimana caranya ‘berbicara’ pada generasi baru konsumen digital. Jadi dalam dunia digital, mungkin kita tidak perlu mengkhawatirkan tentang pembajakan karena tidak ada pembajakan. Apakah kita mau peduli dengan seberapa banyak file lagu yang didistribusikan jika pemasukan dari musik tidak tergantung oleh hal tersebut? Apakah berada di balik hukum hak cipta dengan menjaga salinan legal pantas dilakukan? Apakah pembajakan akan tetap ada jika hukum hak cipta dihilangkan, digantikan dengan hukum hak kekayaan intelektual yang lebih pas? Berbagai pertanyaan ini muncul dalam diri saya sendiri. Apakah undang-undang hak cipta masih relevan atau tidak di dunia dimana setiap lagu memiliki salinan virtual dengan jumlah tanpa batas dan bisa tersebar ke seluruh dunia hanya dengan sebuah klik.

Saya akan mengatakan bahwa hal ini belum terpecahkan. Tentu saja akan lebih mudah untuk memulai dari awal dengan para ‘digital native’ dan menciptakan industri musik ramah digital yang baru, tetapi kemana industri musik yang telah ada akan pergi? Mereka yang dikatakan major label jahat hanyalah bisnis yang membutuhkan perspektif yang lebih baru. Menurut saya, bantu mereka, alih-alih menendang mereka dari era digital. Dan mungkin kita bisa mulai dengan melupakan tentang pembajakan, dan beralih untuk membuat banyak hal baru lainnnya.

Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

[EVENT] Movend WP7 Challenge

Next Story

Operator Telekomunikasi CDMA Terus Merugi, Lalu Bagaimana?

Latest from Blog

Don't Miss

utimaco-hadirkan-solusi-keamanan-data-terkini-untuk-pelaku-industri-di-indonesia

Utimaco Hadirkan Solusi Keamanan Data Terkini untuk Pelaku Industri di Indonesia

Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil melebihi 5% sejak
The Beatles pakai AI untuk rilis lagu baru

Berkat AI, The Beatles Siap Rilis Lagu Baru dengan Vokal John Lennon

Haruskah penggunaan AI dilarang di industri musik? Jawabannya sudah pasti