Menurut seorang ilmuwan komputer dan kognitif asal Amerika Serikat, John McCarthy, artificial intelligence (AI) merupakan ilmu yang digunakan untuk menciptakan suatu teknik yang orientasinya dapat berpikir seperti manusia, serta dapat meniru perilakunya dalam aplikasi atau program komputer yang cerdas. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), AI dikenal sebagai kecerdasan buatan, yang merupakan program komputer dalam meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik manusia lainnya.
Dalam suatu penelitian yang diberitakan surat kabar Daily Mail di Britania Raya pada tahun 2016, para peneliti mengembangkan sistem AI untuk melakukan sebuah prediksi dalam putusan pengadilan. Hasilnya, AI memiliki akurasi ketelitian hingga 79% dalam meramalkan putusan pengadilan hak asasi manusia (HAM), dimungkinkan dalam analisis teks peradilan menggunakan machine learning algorithm yang dikembangkan oleh University College London (UCL), University of Sheffield, dan University of Pennsylvania.
Penggunaan AI dalam ranah hukum di luar negeri
Selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan oleh merek perusahaan Superlegal yaitu Lawgeex dengan pengacara Amerika Serikat terkait hukum perusahaan dan peninjauan kontrak yang dinilai dengan standar non-disclosure agreement (NDA), hasil pengujian rata-rata pengacara membutuhkan waktu 92 menit untuk meninjau kontrak dengan tingkat akurasi mencapai rata-rata 85%, sedangkan AI dapat menyelesaikannya dalam waktu 26 detik dengan tingkat akurasi rata-rata 94%.
Lalu dalam survei yang dilakukan oleh Altman Weil dengan melibatkan 386 firma hukum di Amerika Serikat pada tahun 2017, didapatkan fakta bahwa sekitar 7,5% firma hukum telah melibatkan penggunaan AI. Pada tahun yang sama, McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa 23% tugas pengacara dapat diotomatisasikan oleh AI.
Penggunaan teknologi AI di Indonesia
Di Indonesia sendiri teknologi AI belum diatur secara spesifik. Dalam ranah dunia pengacara, UMBRA merupakan firma hukum pertama yang mengadopsi pemanfaatan AI yang dibuat oleh Luminance AI. Kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung (MA), telah menggunakan teknologi dalam aplikasi Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS) dan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP).
Selain itu, hasil penelitian dalam skripsi program studi statistika di Pengadilan Negeri Sleman pada tahun 2019 terkait dengan prediksi hasil putusan berdasarkan lama pemidanaan suatu perkara menggunakan Support Vector Machine (SVM) kernel linear mendapatkan nilai akurasi sebesar 62%.
Apakah AI dapat menggantikan profesi hakim dan pengacara?
Jika mengacu pada data-data yang telah dipaparkan di awal, maka dapat dikatakan bahwa sistem AI memang memberikan pengalaman yang mengefisienkan waktu dan memberikan tingkat akurasi cukup tinggi.
Namun perlu digarisbawahi bahwa mesin tidak dapat menyamai manusia terkait akurasi hukum yang mendasar (fundamental) dan fungsi AI di sini sebatas membantu atau mempermudah pekerjaan hakim dan pengacara. Hal ini dikarenakan keputusan hukum memerlukan nurani, sikap humanis yang berkeadilan dan kebermanfaatan, sehingga perlu pertimbangan konsekuensi jangka panjang dalam kehidupan sosial. Hal ini tidak dapat dilakukan melalui algoritma AI.
Jika ditinjau secara normatif melalui hukum yang ada di Indonesia, AI tidak mungkin menggantikan hakim. Hal ini dapat dilihat dari syarat seorang menjadi hakim dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Selain itu, AI tidak mungkin menggantikan pengacara karena tidak dapat memenuhi unsur persyaratan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Terkait dengan penggunaan teknologi AI sendiri, walaupun belum diatur secara spesifik namun kita dapat mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
–
Artikel ini ditulis oleh Saskia Dinda Ratna Pratiwi, alumni program DNA #Cohort1 yang digagas oleh DailySocial.