Ada sinyal positif yang hendak diberikan pemerintah pada tahun ini kepada pelaku usaha startup di Indonesia. Pada penghujung tahun lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyampaikan wacana untuk ‘mencipratkan’ dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 120 triliun itu kepada pelaku startup. Ia mengusulkan agar penyaluran KUR tidak hanya didominasi bank, namun juga melalui lembaga keuangan non seperti modal ventura.
Selintas, rencana itu sungguh mulia dan mengesankan bahwa pemerintah terlihat ingin turut berperan aktif dalam menggeliatkan ekonomi kreatif yang sudah tumbuh di masyarakat. Tapi mungkinkah niat itu diwujudkan? Sudahkah diketahui bagaimana sebenarnya pembiayaan yang diperlukan untuk mengelola sebuah startup agar bisa menjadi besar?
Melalui tulisan ini, saya tak ingin mengkritik niat baik dari Menteri Rudiantara tersebut. Namun rasanya saya perlu menyampaikan satu pertanyaan sederhana saja; apakah sudah ada contoh bahwa dalam bisnis ini pihak perbankan pernah terlibat untuk membiayai usaha startup?
Dari pengalaman yang ada, sesungguhnya ekosistem bisnis startup, baik startup di ranah teknologi maupun di sektor lain, ini lebih condong tumbuh pada mekanisme pasar (ekonomi liberal). Artinya, siapa yang bermodal besar maka usaha yang dikembangkan tersebut akan bisa survive. Sebaliknya, dengan modal serba terbatas, rasanya akan sangat sulit bagi sebuah bisnis startup bisa survive dan berkembang.
Sudah banyak contoh yang tersaji. Facebook adalah salah satunya. Perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg itu bisa menggemuk dan merambah melintas negara bukan karena adanya pembiayaan bank. Facebook tumbuh dan membesar karena adanya angel investor dan venture capital. Dan baru beberapa tahun belakangan ini, Facebook menerima income dari pemasangan iklan dan juga income dari jasa lainnya.
Hal yang sama juga terjadi di negeri ini. Ada Bukalapak yang mendapat kucuran investasi dari Aucfan dan East Ventures. Kemudian, situs marketplace Tokopedia kabarnya mendapatkan suntikan dana senilai 100 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun dari Softbank asal Jepang dan Sequoia Capital yang merupakan venture capital khusus untuk perusahaan pemula.
Lantas tak kalah serunya lagi adalah Northstar Group milik Patrick Walujo yang terafiliasi dengan TPG Capital asal Amerika Serikat. Mereka ini rela menyuntikkan dana segar hingga puluhan juta dolar AS ke bisnis Go-Jek Indonesia. Dari deretan contoh di atas, sesungguhnya terlihat untuk merintis usaha startup ini memang membutuhkan akumulasi modal yang tak sedikit.
Berbeda dengan Facebook, bisnis startup yang sudah established buatan anak negeri ternyata sampai sekarang ini masih belum mendapatkan income-nya dari iklan, ataupun income lain. Lalu dari manakah dana untuk membuat bisnis tersebut tetap survive? Walau belum ada iklan ataupun income lain, namun para investor tadi sesungguhnya sudah memiliki penghitungan. Hitungan tersebut akan terlihat lebih rumit dan sangat berbeda dengan penilaian yang dipergunakan oleh pihak bank.
Dengan adanya contoh tersebut maka bagaimana mungkin dana KUR dari pemerintah itu bisa ‘dicipratkan’ kepada pelaku usaha startup yang baru tumbuh atau sudah established? Menurut laman pengertiannya, KUR ini adalah kredit atau pembiayaan modal kerja atau investasi kepada UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi). Untuk jenis bidang usaha adalah yang bersifat produktif dan layak namun belum bankable. Batas maksimal KUR per debitur mencapai Rp. 500.000.000.
Tanpa menafikan batas maksimal dari KUR tersebut, rasanya akan menjadi sulit ketika dana tersebut pada akhirnya harus ‘dicipratkan’ kepada pelaku usaha startup. Dari contoh-contoh yang sudah saya sebutkan di atas, terlihat jelas bahwa pembiayaan untuk bisnis startup ini sesungguhnya bernilai sangat besar, bahkan bisa melampui batas maksimal pembiayaan KUR.
Perlu juga diketahui KUR ini pada dasarnya bukanlah dana hibah dari pemerintah kepada pengusaha. Ini mengingat, dana KUR ini sesungguhnya berasal dari bank pelaksana. Di sini debitur tentunya harus tetap membayar bunga dan mengembalikan seluruh utang atau pokok kredit dalam jangka waktu yang disepakati dengan bank pemberi KUR.
Lalu dengan kondisi ril tersebut apa yang bisa diberikan pemerintah untuk bisa berperan aktif dalam mendorong tumbuhnya bisnis kreatif startup ini? Menurut saya, pemerintah tinggal memastikan saja bagaimana menumbuhkan iklim usaha yang sehat di negeri ini. Caranya dengan memberikan kepastian dan jaminan investasi kepada para investor luar yang ingin menyuntikkan dananya kepada para pelaku usaha startup buatan anak negeri.
Hal lainnya, pemerintah bisa berperan aktif juga untuk membuka saluran para pelaku bisnis startup ini kepada para investor asing. Selama ini yang kerap dihadapi para pengusaha Indonesia adalah hambatan networking atau konektivitas. Rasanya mulai berlakunya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun ini bisa menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong tumbuhnya dan munculnya para entrepreneur muda supaya bisa lebih terintegrasi dengan market global.
Jadi, biarlah bisnis ini tumbuh melalui mekanisme pasar yang sudah ada. Dalam mekanisme tersebut tentunya dibutuhkan investasi yang tak sedikit. Sementara pemerintah — dengan keterbatasan anggaran yang ada — sebaiknya cukup menjadi wasit dengan cara menyiapkan aturan main yang investment friendly.
Kalau pemerintah memang berniat mulia ingin mencipratkan dana KUR untuk pelaku usaha startup, tentunya perlu dikaji kembali gagasan tersebut. Cobalah tinjau kembali bagaimana skema penyaluran KUR tersebut? Apakah itu memungkinkan untuk membiayai bisnis startup yang sesungguhnya telah bergeliat di dalam mekanisme pasar yang bebas?
–
Artikel tamu ini ditulis oleh William Henley, CEO & Founder IndoSterling Capital.