Dalam presentasi laporan yang disusun oleh INDEF (Institute for Development of Economics & Finance) disampaikan, ketika semakin banyak perusahaan dan penelitian yang mendaftarkan hak paten, maka akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Hak paten sangat lekat dengan inovasi dan perlindungan karya.
Berbicara soal inovasi dan industri startup di Indonesia –khususnya yang sarat dengan teknologi, saat ini belum banyak startup dan entrepreneur yang mendaftarkan hak paten mereka. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia peringkatnya masih di bawah Malaysia dan Vietnam soal hak paten.
Kurangnya sosialisasi pembuatan hak paten
Diskusi yang digelar oleh Qualcomm hari ini (09/11) menghadirkan CEO eFishery Gibran Huzaifah dan VP of Growth Amartha Fadilla Tourizqua Zain. Kedua pelaku startup tersebut mengungkapkan beberapa kendala hingga keluhan yang masih kerap dirasakan oleh startup saat mendaftarkan hak paten produk mereka.
“Untuk eFishery sendiri model bisnis kita berbeda dengan Tokopedia atau layanan e-commerce lainnya. Ketika melakukan fundraising, memiliki hak paten terhadap produk, akan membantu kami mendapatkan pendanaan,” kata Gibran.
Namun demikian fakta yang terjadi adalah masih minimnya sosialisasi, edukasi hingga layanan yang bisa dimanfaatkan oleh entrepreneur untuk membuat hak paten mereka saat ini. Belum lagi dengan durasi yang memakan waktu cukup lama hingga biaya besar yang harus dikeluarkan.
“Karena selama ini kami di eFishery fokus kepada inovasi dan membuat produk secara cepat, sehingga jarang sekali berpikir untuk mematenkan produk kami, ketika kami ingin melakukan prosedur tersebut banyak sekali kendala yang kami hadapi,” kata Gibran.
Ditambahkan oleh Gibran, banyaknya “biro jasa” yang melayani pembuatan hak paten masih menyulitkan startup seperti eFishery untuk mengetahui lebih detail, bagaimana prosedur dan cara yang tepat untuk membuat hak paten. Di sisi lain pihak perguruan tinggi yang menawarkan layanan gratis untuk entrepreneur membuat hak paten, menetapkan peraturan bahwa nantinya jika hak paten tersebut diterbitkan akan menjadi milik dari perguruan tinggi tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Fadilla dari Amartha yang sejak 24 bulan terakhir masih menunggu hasil dari pembuatan hak paten produk Amartha, setelah melalui prosedur dan proses yang sulit dan panjang.
Peran pemerintah membantu industri membuat hak paten
Meskipun sudah banyak kalangan startup yang memahami pentingnya mematenkan sebuah produk agar kemudian tidak dijiplak oleh orang lain, namun jika tidak didukung dengan regulasi yang seamless dari pemerintah maka akan makin berkurang minat mereka mematenkan produk tersebut. Dari sisi pemerintah baiknya untuk bisa membedakan ketika industri dan peneliti masing-masing berniat untuk mematenkan produk.
Meskipun saat ini berdasarkan informasi dari Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), dan Rahasia Dagang (RD), Kementerian Hukum dan HAM, undang-undang terkait hak paten sudah direvisi sejak tahun 2016 lalu yang memudahkan industri untuk mendaftarkan hak paten, namun masih minimnya sosialisasi hingga alternatif layanan yang lebih cepat dengan harga terjangkau, masih menyulitkan berbagai industri termasuk startup untuk melakukan proses tersebut.