Aplikasi untuk smartphone macam BlackBerry, iOS, Android mungkin sudah biasa kita dengar di keseharian. Bagaimana dengan aplikasi untuk feature phone, ponsel yang berbasiskan Java (J2ME) dan memiliki rentang harga di bawah 2 juta Rupiah? Apakah pengguna feature phone yang memiliki budget terbatas juga bisa menikmati “kemewahan” mengakses Internet dan menggunakan berbagai layanan aplikasi populer?
Dulu yang menyasar segmen seperti ini adalah pengembang asal Israel, Snaptu. Produk Snaptu sempat cukup populer sampai akhirnya diakuisisi dan ditutup layanannya oleh Facebook. Sekarang kita memiliki Blaast. Lebih baik lagi, Blaast yang berasal dari Finlandia berkeinginan untuk meningkatkan animo pengguna akan aplikasi lokal. Semangat tersebut disambut baik XL Axiata selaku operator partner, sehingga muncullah produk XL Blaast yang secara resmi diumumkan hari ini. Blaast sendiri telah beberapa kali kami liput, dari sejak perkenalan hingga kontes pengembangan aplikasi yang diadakan beberapa waktu lalu.
Bertempat di Kempinsky Grand Ballroom, CEO dan Co-Founder Blaast, Joonas Hjelt, bersama Direktur Teknologi, Content & New Business XL, Dian Siswarini, memperkenalkan layanan XL Blaast ke publik. Berbeda dengan layanan yang sudah kita kenal, Blaast bukanlah sekedar aplikasi. Blaast adalah “platform di dalam platform”. Kita bisa menggunakan Blaast untuk mengakses aplikasi populer macam Facebook dan Twitter, bermain games ringan, dan membaca berita di berbagai layanan media — termasuk DailySocial. Semua terangkum di dalam satu platform layanan yang menyimpan semua aplikasi di cloud.
Saat ini XL Blaast telah berhasil menarik lebih dari 1000 pengembang lokal untuk bergabung dengan Blaast App Planet. Sudah ada lebih dari 100 aplikasi lokal yang dibuat di platform dan kompatibel dengan lebih dari 500 devices yang berbeda, yang mendukung teknologi Java. BlackBerry sendiri masih masuk di dalamnya dan mampu menjalankan Blaast dengan baik, meskipun platform ini bukanlah yang menjadi fokus utama sasaran pengguna. Fokus utama adalah pengguna feature phone Nokia dan merk-merk lokal macam S Nexian, Tiphone, CSL Blueberry dan lain sebagainya.
Mengapa Blaast yang berasal dari Finlandia jauh-jauh mau datang ke Indonesia untuk mencari target pasar? Simpel. Pertama di Finlandia dan negara Eropa pada umumnya, pasar feature phone bisa dibilang sudah “mati”. Supaya hidup, Blaast harus menyasar konsumen di negara dunia ketiga. Indonesia seperti kita tahu merupakan negara yang sangat aktif dan dikenal di Internet. Embel-embel pengguna Facebook terbesar kedua dan salah satu negara pengguna Twitter terbesar tentu saja merupakan target yang atraktif untuk konsumen yang disasar oleh Blaast.
Blaast sendiri merupakan startup teknologi asal Finlandia yang didirikan tahun 2010 dan mendapatkan pendanaan dari berbagai pihak, termasuk sejumlah engineer pendiri Skype dan mantan Vice President Nokia. Blaast terpilih dalam 25 perusahaan teknologi terbaik dalam ajang ETT Web & Mobility Summit 2011.
XL Blaast akan tersedia secara eksklusif selama 6 bulan di operator ketiga terbesar di Indonesia ini. Saat ini XL memiliki 44 juta pelanggan, di mana 24 juta di antaranya terdaftar di layanan Internet. Dengan pendapatan dari telepon dan SMS yang terus menurun, tentu saja layanan seperti ini merupakan alternatif menarik untuk meningkatkan pendapatan operator. Sementara ini XL Blaast dapat dinikmati secara gratis oleh pengguna XL selama dua minggu pertama, kemudian kita masih bisa terus menikmatinya dengan biaya Rp 1100 per hari (atau Rp 33.000 per bulan).
Selain berusaha merangkul para pengembang, Blaast juga aktif memberikan edukasi kepada mahasiswa yang ingin berkecimpung di dunia mobile. Inisiatif yang disebut Blaast Class saat ini telah berjalan di CCIT Fakultas Teknik Universitas Indonesia, di mana para mahasiswa mendapatkan tutorial tentang perkembangan dunia mobile dan bagaimana cara membuat aplikasi di platform Blaast. Secara teknis, yang dibutuhkan untuk mengembangkan aplikasi di Blaast adalah kemampuan menggunakan JavaScript.
Tantangan yang dihadapi oleh XL Blaast sendiri tidaklah mudah. Yang pertama adalah bagaimana membuat skema revenue sharing yang atraktif bagi pengembang lokal (ketimbang di platform macam iOS, BlackBerry, dan Android) supaya mau fokus untuk membuat aplikasi dan permainan di platform ini. Tantangan kedua adalah bagaimana meyakinkan pelanggan bahwa layanan ini memang bagus dan dapat memenuhi kebutuhan pengguna feature phone akan berbagai aplikasi dan permainan yang berkualitas.
Menarik sekali