Periode awal menjalankan startup begitu krusial dalam segala aspek. Memperkenalkan produk ke pasar, memvalidasi model bisnis, merekrut SDM yang tepat, dan menjaga keandalan layanan, adalah sedikit dari contohnya. Namun dalam fase awal itu, faktor pendanaan adalah salah satu yang paling penting. Bicara tentang pendanaan di fase awal, maka wajib melihat peran angel investor di sana.
Bisa dibilang angel investor adalah investor dengan risiko terbesar dalam siklus bisnis startup digital. Menaruh modal ke startup anyar berarti bertaruh akan ide dan potensi startup serta kemampuan pendirinya. Seringkali kepercayaan bahkan mereka berikan ketika belum melihat produknya. Namun risiko yang besar ini membawa potensi keuntungan yang sebanding.
Menariknya di Indonesia, eksistensi angel investor masih jauh dari sorotan. Padahal dalam ekosistem startup keberadaan mereka terbilang penting. Masih banyak yang belum diketahui dari angel investor di Indonesia. Kami bicara dengan beberapa angel investor untuk mengenal lebih dalam skena di dalam negeri.
Masih terbatas
Alexander Rusli adalah salah satu pebisnis yang mulai mulai aktif sebagai angel investor. Selesai lengser sebagai pimpinan Indosat Ooredoo, Alex langsung melirik bisnis digital. Alex tercatat sebagai pendiri Digiasia dan investor di 11 perusahaan lain. Ia memperkirakan ada beberapa hal yang menyebabkan nama angel investor tidak begitu terdengar di Indonesia. Pertama karena adalah khawatir kegagalan di satu startup terdengar orang banyak. Kemungkinan lain, menurutnya, adalah mereka tidak ingin “diserbu” oleh orang-orang yang tidak diinginkan.
“Mungkin mereka investasi itu dengan alasan macam-macam, seperti hubungan khusus dengan founder, senang dengan industrinya, [atau] hanya coba-coba. Memang struktur angel investor di Indonesia ini belum matang khususnya untuk digital investment,” ucap Alex.
Venture Partner MDI Ventures Aria Setiadharma membenarkan umumnya lingkungan angel investor di Tanah Air masih didominasi investor tradisional. Mereka adalah pebisnis atau anggota keluarga konglomerat atau yang lama berkecimpung lama di industri besar di Tanah Air. Menurut Aria, dengan latar belakang seperti itu, ekosistem angel investor tidak berkembang secepat di negara-negara lain seperti Singapura contohnya.
Aria bercerita kehadiran kantor raksasa digital di Singapura melahirkan generasi investor baru. Individu yang dulu bekerja di Google, Facebook, ataupun Netflix membuat semacam venture funding untuk membesarkan startup-startup baru yang potensial.
“Siklus itu belum terjadi di Indonesia. Yang punya uang itu kebanyakan masih dari properti, perbankan, dan pertambangan. Dari sana saja mindset-nya sudah berbeda,” imbuh Aria.
Sebastian Wijaya, yang akrab dengan skena angel investment, mengakui tingkat kesulitan startup baru memperoleh pendanaan dari angel cukup tinggi. Menurutnya, pokok permasalahan terletak pada faktor kedekatan seseorang. Ia mengakui untuk mendapatkan investasi dari individu ini bergantung pada kekuatan koneksi ke orang-orang yang tepat.
Masalah ini timbul karena platform ataupun badan yang mengelola angel investment masih terbilang sedikit. Bisa dibilang entitas pengelola paling dikenal di Indonesia sejauh ini hanya Angin.
“Jadi untuk suatu startup mendapatkan angel investing itu benar-benar tergantung kepada koneksi ke orang yg tepat. Setahu saya jika koneksi tersebut sudah terjalin, tingkat kesuksesan startup mendapatkan funding cukup besar,” tukas Sebastian.
Menunggu generasi baru
Walau secara umum angel investor masih banyak berasal dari orang-orang yang tidak berasal dari bisnis digital, saat ini mulai bermunculan gelombang baru angel investor di Indonesia. Mereka ini adalah eksekutif dan pendiri startup yang mencoba peruntungan dengan memutar uangnya di startup baru.
Laporan DealStreetAsia menyebutkan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, CEO Adrian Gunadi, dan pendiri Koinworks Willy Arifin sebagai contoh yang mewakili generasi baru tersebut. Dalam laporan itu diketahui, kegiatan Edward sehari-harinya tak lagi diisi Kopi Kenangan, tapi juga mengurus investasinya di sejumlah startup, seperti BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Klinik Pintar.
Di samping nama-nama tadi, ada juga mereka yang dulunya memegang kursi pimpinan di startup besar namun sudah keluar. Beberapa nama yang cukup mewakili adalah Achmad Zaky dan Rohan Monga.
“Sekarang mereka ingin coba make money dengan investasi di industri serupa. Itu juga satu kategori yang sudah mulai banyak. Seperti para pendiri startup unicorn yang mulai investasi di banyak startup juga,” ujar Alex menanggapi kemunculan generasi baru angel investor.
Gelombang baru investor ini tentu membawa semangat baru di lanskap bisnis digital. Ada beberapa alasan yang mendorong kondisi demikian. Pertama mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan relevan di startup mereka. Bagi startup baru, bimbingan yang tepat bagaikan jarum kompas untuk mengarungi berbagai rintangan.
Alasan berikutnya adalah jejaring yang sudah dibangun investor dari kalangan profesional dan pendiri biasanya sudah cukup matang. Hal itu bisa menjadi modal tambahan bagi suatu startup yang ingin menggelar babak pendanaan lebih lanjut. Selain itu, menurut Aria, karakter investor dari kalangan tersebut lebih sabar dengan perkembangan startup yang dimodali, mengingat butuh kepercayaan lebih kepada para pendirinya dalam menahkodai perusahaan.
“Selama angel investor ini masih pakai pemikiran lawas, enggak akan jalan ekosistemnya. Ya tapi bukan berarti tidak ada yang oke. Kalau angel investor-nya di sini bisa ambil backseat, lebih enak untuk startup itu sendiri,” jelas Aria.
Kehadiran gelombang baru angel investor di lanskap bisnis digital Indonesia bukan berarti dapat menyelesaikan semua masalah. Akses ke angel investor di Indonesia masih relatif sulit. Keberadaan organisasi angel investor, seperti Angin, kian dibutuhkan.
“Kita memang belum ada banyak tokoh pendiri yang sukses exit seperti di AS. Kita perlu tunggu beberapa tahun lagi ketika lebih banyak founder yang exit ataupun IPO, pasti suara angel investor di publik akan lebih terdengar,” pungkas Sebastian.