Layanan transportasi dengan tingkat manuver yang tinggi sudah barang tentu menjadi esensial kehadirannya guna menembus macetnya kota Jakarta. Dalam obrolan singkat saya dengan Head of Marketing GrabTaxi Kiki Rizky minggu lalu, kota-kota besar di Asia Tenggara memiliki perilaku yang berbeda dalam urusan transportasi. Riset internal GrabTaxi menilai layanan semacam ojek ialah salah satu yang tepat di kota Jakarta. Konsep yang dilontarkan oleh rekan-rekan Antar.id (sebelumnya Indojek) pada kualifikasi Ideabox batch kedua tahun lalu. Namun sayangnya, Go-Jek berhasil mengeksekusi ide mereka terlebih dahulu dalam sebuah layanan ojek berbasis aplikasi mobile untuk Ibukota DKI Jakarta. Lantas, yang mana yang lebih favorit?
Metode Pemesanan
Go-Jek memiliki pondasi yang kuat sebagai layanan pemesan ojek bertahun-tahun sebelumnya. Setelah peluncuran aplikasinya, distribusi pemesanan menjadi real-time dan merata, memotong metode konvensional mereka melalui SMS atau telepon. Go-Jek mematok harga sebesar Rp 25 ribu di enam kilometer pertama, dan Rp 4 ribu di tiap satu kilometer selanjutnya. Pula GrabBike mematok harga Rp 25 ribu, namun di lima kilometer pertama.
Singkatnya, kedua belah pihak memiliki harga yang kompetitif. Memiliki metode pemesanan singkat yang hanya membutuhkan beberapa sentuhan saja.
Metode Pembayaran
Antara Go-Jek dan GrabBike, keduanya menawarkan pembayaran cash. Sebagai alternatif, Go-Jek menawarkan Go-Jek Credit yang dapat digunakan ketika pelanggan sedang kehabisan uang tunai. Di lain pihak, GrabBike belum menerapkan cashless payment di Indonesia. Metode cashless memang belum terlalu mainstream di kalangan konsumen di Indonesia, namun pada kenyataannya pembayaran cashless menjamin keamanan dan juga kenyamanan konsumen yang tidak perlu membawa uang tunai berlebih.
Jumlah Armada
Seperti yang telah saya ungkap sebelumnya, Go-Jek telah memiliki armada yang cukup besar jauh sebelum aplikasi mereka diluncurkan dan jumlah tersebut melonjak dengan cukup signifikan meski pihaknya enggan memberikan jumlah pasti.
Sedangkan dalam hari peluncurannya, GrabBike telah memiliki nyaris dari 1000 armada yang terdaftar. Untuk menggaet lebih banyak driver, GrabBike menawarkan presentase pembagian ongkos sebesar 90-10. Lebih menguntungkan daripada driver Go-Jek yang memiliki presentase sebesar 80-20.
User Experience
Aplikasi Go-Jek menampilkan nama dan foto dari driver yang akan menjemput ke pelanggan, serta peta yang yang menunjukkan posisi terkini dari driver meski terkadang kurang tepat.
Sementara GrabBike tidak membutuhkan aplikasi tambahan jika sebelumnya pengguna telah memiliki aplikasi GrabTaxi. Bahkan tanpa melakukan pembaruan aplikasi, pengguna dapat langsung memesan di platform yang sama. GrabBike mungkin hanya menampilkan plat nomor driver, tapi tampilan map dan venue yang tersedia disajikan dengan presisi yang baik.
Jenis Layanan
Sejauh ini, transportasi ojek yang ditawarkan GrabBike masih terbatas di sekitar Kuningan-Setiabudi. Tidak ada layanan lain yang dijalankan, meski ada potensi mengarah ke sana. Berbeda dengan Go-Jek yang mampu menerima pembelian makanan (Go-Food), antar dokumen, dan belanja. Dalam kasus ini, Go-Jek menang telak.
Potensi
GrabBike yang dinaungi di bawah GrabTaxi jelas memiliki lebih banyak sumber daya dan pengalaman yang lebih mumpuni. Menarik melihat pendekatan yang dilakukan pihaknya untuk menawarkan keamanan dan kenyamanan dalam bentuk yang jauh lebih baik daripada kompetitor dengan menjanjikan asuransi bagi driver juga penumpang. Sementara Go-Jek kesulitan berurusan dengan rush hour di ibukota, sangat baik jika GrabBike mampu memanfaatkan momentum ini dengan melakukan ekspansi di luar Kuningan-Setiabudi dengan secepat-cepatnya. Sangat mungkin jika GrabBike mampu melayani seluruh wilayah DKI Jakarta beserta implementasi dari jasa lain dalam waktu beberapa bulan saja. Namun jika keduanya tidak terus berinovasi tidak heran jika kue mereka akan turut dicaplok kompetitor lain, contohnya HandyMantis jika mereka telah memiliki mobile apps, dan Antar.id yang kini masih disempurnakan.