Jika sebelumnya kita telah mengupas tentang organisasi esports bersama owner BOOM ID, kali ini, kita akan berbicara tentang serba-serbi event organizer untuk esports.
Saya telah menghubungi Tribekti Nasima yang merupakan salah satu dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Bekti adalah orang yang berada di balik megahnya gelaran LGS (League of Legends Garuda Series) dan Glorious Arena saat ia menjadi Garena Esports Manager untuk League of Legends (LoL) di Indonesia.
LGS sendiri merupakan liga LoL paling bergengsi di Indonesia yang digarap langsung oleh Garena. Pemenang dari LGS akan bertanding lagi ke level yang lebih tinggi di tingkat Asia Tenggara. Sayangnya, LGS ini sekarang sudah dihilangkan.
Buat yang belum terlalu familiar dengan esports Indonesia, faktanya, LGS merupakan pionir dari gelaran kompetitif yang epik di Indonesia. Meski memang bukan yang pertama di Indonesia, banyak EO esports lainnya menjadikan LGS pada era Bekti sebagai patokan proyek mereka.
Saat ini, ia sudah pindah ke Mineski Event Team (MET) sebagai Head of Operation.
Mari kita langsung masuk ke perbincangan saya bersama Bekti.
Yang paling penting dari sebuah event esports?
Saya pun langsung to-the-point untuk menanyakan pendapatnya tentang hal yang paling krusial dari sebuah gelaran. Menurutnya, “yang paling penting itu bisa diikutin. Jadi ada ceritanya. Jadi tahu siapa saja yang bertanding di sana.”
Maksudnya, event esports yang baik adalah yang punya cerita yang mudah diingat. Tanpa aspek naratif yang kuat, gelaran kompetitif tidak akan menarik sebagai sebuah hiburan/entertainment dan akan mudah terlupakan.
Bekti yang memang menjadikan LoL dan Riot Games (developer dan publisher-nya) sebagai ‘kiblat’nya menggarap event pun memberikan contoh soal aspek cerita tadi.
Gelaran kompetisi League of Legends di dunia itu memang lebih mudah untuk diikuti karena sistemnya. Seperti yang saya tuliskan tadi sebelumnya, pemenang dari liga Indonesia akan bertarung ke liga Asia Tenggara. Kemudian, pemenang dari tingkat Asia Tenggara tadi berhak melangkah lebih lanjut ke tingkat dunia a.k.a World Championship.
Sistem yang sama ini digunakan di banyak kawasan lainnya. Jadi, sistemnya memang mirip dengan yang digunakan FIFA di Piala Dunia. Tim-tim yang ingin beraksi di kancah internasional harus bisa menang di tingkat regional.
Oleh karena itu, tim-tim yang bertarung di World Championship telah memiliki latar belakang ceritanya masing-masing. Bagaimana perjuangan mereka, yang tak jarang dramatis, di tingkat regional, membuat tim-tim peserta memiliki karakteristik yang kuat.
Itu tadi elemen paling penting dari sebuah gelaran kompetitif menurut Bekti dan saya sangat setuju dengannya.
Aspek produksi di gelaran esports
Selain aspek naratif tadi, saya pun bertanya kepada Bekti tentang salah satu aspek penting juga yang tak boleh terlewatkan oleh para penyelenggara event esports; yaitu produksi.
Aspek produksi yang dimaksud di sini adalah soal panggung, pencahayaan, acara dan yang lain-lainnya yang dibutuhkan agar event dapat berlangsung.
Menurut Bekti sendiri aspek produksi sebenarnya sangat bergantung dari budget alias anggaran. “Kalau anggarannya kecil, memang susah untuk buat yang megah.”
“Namun,” lanjut Bekti “tantangan bagi para project manager adalah bagaimana membuat produksi maksimal dengan budget minimal.” Ia pun bercerita bahwa acara esports League of Legends, seperti World Championship, itu memang modalnya besar karena tujuan mereka buat event bukan untuk mencari margin (keutungan) dari event tersebut. Di Indonesia sendiri, menurutnya, kesulitannya memang ada di budget tadi karena marginnya saja memang sudah tipis.
Buat yang belum terlalu paham tentang gelaran esports dari League of Legends, ijinkan saya menjelaskan sedikit. Event esports dari League of Legends memang diselenggarakan dan diorganisir langsung oleh Riot Games, developer-nya, atau publisher game-nya seperti Garena di Indonesia (sebelum diganti sistemnya) ataupun Tencent di Tiongkok.
Jadi, karena memang bukan pihak ketiga yang menyelenggarakan, event tersebut tidak dibuat untuk mencari keuntungan materi. Tujuan mereka mengadakan event tersebut memang sebagai salah satu bentuk marketing dan branding untuk agar para pemain lamanya tetap setia ataupun menarik para pemain baru.
Selain itu, event esports yang dikontrol langsung oleh publisher-nya memang bisa lebih leluasa dalam menentukan kualitas seperti apa yang diinginkan. Namun demikian, sistem ini juga bisa dibilang memiliki kekurangan. Jika semua game membuat acaranya sendiri, para penyelenggara event esports pihak ketiga jadi tidak kebagian proyek.
Itulah perbedaan terbesar antara event esports League of Legends dengan kebanyakan game lainnya, baik di Indonesia ataupun di tingkat internasional. Riot, Tencent, Garena, ataupun para pemegang lisensi League of Legends lainnya memang punya divisi esports-nya masing-masing.
Meski demikian yang paling penting dari aspek produksi, bagi Bekti, adalah bagaimana caranya agar aspek produksi tersebut dapat membuat satu turnamen begitu berkesan.
Hal ini bisa tercapai berkat desain panggung yang megah, pertunjukkan di luar kompetisinya, ataupun yang lainnya. Memang, tak jarang event esports bisa sangat berkesan gara-gara pertandingannya seperti hasil pertandingan yang dramatis ataupun tim kuda hitam yang bisa menjadi juara di turnamen tersebut. Namun seorang project manager yang hebat tetap akan berusaha membuat turnamen tetap memorable tanpa menggantungkan nasib pada orang lain.
Aspek publikasi event esports
https://www.youtube.com/watch?v=ZLKY_Zrc7VU
Berhubung memang saya cukup lama bermain di industri media dan sebelumnya pernah menangani publikasi untuk beberapa event esports di Indonesia, saya pun melihat masalah minimnya aspek publikasi di banyak event esports di Indonesia.
Bekti pun setuju dengan saya. Namun Bekti mengatakan bahwa memang semua EO (event organizer) di Indonesia masih belum sempurna di semua aspek. “Mereka (EO di Indonesia) punya kekuatan dan kelemahan masing-masing.”
Ia pun melanjutkan bahwa industri esports di Indonesia sendiri memang masih muda. Karena itu, mungkin para penyelenggara gelaran esports di Indonesia masih perlu belajar dari event yang pernah dibuat. “Dari 1-3 event kan jadi bisa dievaluasi. Setelah beberapa waktu, mungkin headcount-nya juga bisa dipenuhi (tambah personil).”
Karena memang banyak EO yang masih ‘muda’ di Indonesia, Bekti melanjutkan, masuknya ESL ke Indonesia (berkongsi dengan Salim Group) akan berdampak positif buat industri esports tanah air karena para penyelenggara tadi dapat memiliki patokan (benchmark) baru yang dapat dikejar.
Bekti pun menambahkan kadang event esports bahkan tak perlu publikasi tapi bisa populer. Ditambah lagi, beberapa sponsor juga sudah mulai berpikir soal kualitas. Namun demikian, Bekti juga tidak begitu saja menihilkan aspek publikasi itu tadi.
LoL merupakan salah satu game yang punya aspek publikasi hebat karena cerita rangkaian turnamen mereka yang relatif lebih mudah diikuti (karena digarap langsung oleh publisher dan punya jenjang kompetisi yang rapih). Namun demikian, hal ini juga sebenarnya dapat dilakukan di game-game lainnya Bekti pun berargumen.
Ia pun mencontohkan kompetisi Dota 2 yang lebih banyak digarap oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, jurnalis atau medianya yang harus lebih pandai merajut cerita dari berbagai kompetisi tadi.
Masukan untuk para penyelenggara event esports
Saya pun menanyakan saran apa yang bisa diberikan oleh Bekti sebagai salah seorang yang senior di bidang ini. Menurutnya, ada 2 hal yang bisa dilakukan.
Pertama, menjaga dan memulainya dari komunitasnya masing-masing. Ia pun mencontohkan Advance Guard yang merupakan EO sekaligus komunitas yang spesialis menggarap game-game fighting di Indonesia. Meski memang masih kalah popularitasnya (karena genre game-nya), Advance Guard tidak bisa dibilang EO kecil karena turnamen mereka juga biasa ditunjuk oleh Capcom dan Bandai Namco menjadi turnamen kualifikasi Indonesia untuk Street Fighter ataupun Tekken ke jenjang turnamen yang lebih tinggi alias tingkat internasional.
Di PES (Pro Evolution Soccer) dan FIFA juga mirip seperti itu yang mengandalkan komunitas.
Dengan memperkuat jaringan komunitas, menurut Bekti, mereka-mereka yang ingin mengadakan turnamen untuk game-nya mau tidak mau harus melibatkan komunitas itu tadi.
Hal kedua yang bisa dilakukan adalah terus mencari dan berpegang pada kekuatannya masing-masing. Misalnya, EO yang kuat di media bisa terus mengembangkan medianya. Komunitas tadi juga dapat dilihat sebagai kekuatan yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh EO lainnya.
Selain itu, contoh lainnya, jika memang belum pernah eksekusi event Dota 2, ya jangan diambil. Pasalnya, meski memang mudah dibayangkan, akan ada hal-hal kecil yang terlupakan jika tidak biasa.
Terakhir, saya pun menanyakan hal ini sebagai penutup.
Menurutnya, hal apa yang biasanya menyebabkan satu gelaran esports jadi kacau? “Antara kebanyakan kaki tangan atau kebanyakan kepala.” Jawabnya.
Maksudnya, kebanyakan kaki tangan di sini adalah soal terlalu banyak menggunakan sub-vendor yang biasanya dilakukan untuk menghemat anggaran. Hal tersebut biasanya akan mengakibatkan koodinasi yang sulit.
Sedangkan kebanyakan kepala artinya terlalu banyak stakeholder yang jadinya terlalu banyak kepentingan sehingga sulit untuk fokus pada 1 tujuan.
—
Itu tadi secuil perbincangan saya dengan Bekti. Semoga hal ini bermanfaat bagi Anda yang penasaran ikut menggarap esports di dalam negeri.
Untuk Bekti, sukses terus ya bersama Mineski Event Team ataupun di tempat-tempat lainnya! Thanks untuk waktu dan insight-nya!