Dark
Light

Mengulik Bisnis “Coworking Space” Agar Menguntungkan

10 mins read
September 12, 2019
Coworking space dapat didorong melakukan monetisasi dengan memahami kebutuhan anggotanya
Coworking space dapat didorong melakukan monetisasi dengan memahami kebutuhan anggotanya

Coworking space punya korelasi yang kuat dengan perkembangan startup teknologi. Cara bekerja ala startup sepenuhnya ditawarkan oleh coworking space, yakni fleksibilitas, tidak ada sekat cubicle, fasilitas memadai, dan desain yang kekinian. Tren ini “memaksa” korporasi untuk mengubah cara pandang bagaimana bekerja dengan merombak desain kantor yang lebih kekinian sebagai saran branding dan potensi mendukung retensi karyawan.

Hal ini memancing para pemain coworking space bermunculan di Indonesia, tidak hanya dari ranah lokal saja tapi juga mancanegara. Kehadirannya kini sudah tidak terpusat lagi di kota besar, malah sudah masuk kota tier dua. Karena bisnis ini terhitung cukup baru, masih banyak potensi yang bisa digarap.

Menjamurnya pemain di segmen mendorong kehadiran asosiasi coworking space dinamai Coworking Indonesia pada 2016. Ketua Coworking Indonesia Faye Alund menerangkan, saat awal didirikan jumlah anggota asosiasi hanya 45, kini jumlahnya mencapai sekitar 150-an. Bila digabungkan dengan yang belum bergabung, diprediksi jumlahnya mencapai dua kali lipatnya sekitar 300-an pemain.

“Asosiasi itu jadi gandeng tangan, sekadar memberi awareness apa itu coworking. Tahun 2017 bisnis coworking booming karena pemerintah dari berbagai kementerian mulai buat inisiasi, [pemain coworking space] dari 2016 sekitar 75-an, lalu di 2017 jadi 180-an itu [meningkat karena] menanggapi tren tersebut,” terang Faye kepada DailySocial.

Semenjak asosiasi hadir, perlahan para pemain dari luar masuk ke Indonesia. Sebut saja ada WeWork, Block71, JustCo, Spaces, Avenue8, dan masih banyak lagi.

Menurut survei DSResearch tahun lalu, 67% responden familiar dengan coworking space. Sekitar 82% di antaranya menjelaskan istilah tersebut adalah tempat untuk bekerja, sementara 55% lainnya mengategorikannya sebagai tempat kumpul komunitas.

Responden beralasan mereka memilih bekerja di sebuah coworking space karena faktor lokasi (79%), fasilitas (67%), biaya (67%), dan lingkungan (42%). Adapun faktor yang perlu disediakan oleh operator coworking space adalah koneksi internet (75%), meja kerja (66%), ruang meeting (46%), dan F&B (30%).

Secara eksplisit, survei ini memperlihatkan bahwa fungsi coworking space di Indonesia sebatas sebagai tempat kerja.

Menurut Faye, penting untuk paham bagaimana menerjemahkan soft value yang dijual coworking space, seperti community, skill sharing, dan hal-hal non fisik lainnya dan mengubahnya menjadi konten yang bisa dimonetisasi pemilik coworking space.

Bagaimana coworking space dimonetisasi?

Laporan The 2nd Global Coworking Survey (2017) yang dibuat Deskmag menyebut secara rata-rata hanya 40% pemain coworking space dunia yang mencetak untung. Meskipun demikian, disebutkan 72% pemain mencetak untung setelah dua tahun beroperasi.

Disebutkan sumber pendapatan berasal dari penyewaan meja (61%), penyewaan ruang meeting dan tempat event (masing-masing 10%), penjualan F&B (5%), penjualan tiket workshop (5%), dan virtual office service (3%). Menariknya, sepertiga dari responden mengatakan seluruh layanan di atas ini tersedia dalam bentuk paket, tanpa tambahan biaya.

Persebaran Coworking Space di Indonesia / DailySocial
Persebaran Coworking Space di Indonesia / DailySocial

Di Indonesia, para pemain masih mencari-cari formula sebagai bahan evaluasi, sehingga belum ada kisah sukses yang bisa diangkat. Pun, belum ada angka yang diungkap pemain coworking space sebagai data riil.

Menurut Founder dan CEO Wellspaces dan Grupara Ventures Aryo Ariotedjo, sangat lumrah buat semua bisnis di manapun segmennya, pada yang rugi dan untung. Khusus untuk coworking space memang susah dikatakan sebagai bisnis yang menguntungkan.

“Sebab pasar perkantoran juga sedang jatuh dan persaingan harga yang bisa dibilang tidak sehat, terutama dari pemain-pemain besar,” ujar Aryo.

Oleh karenanya, kondisi ini membuat perlunya menghindari sewa ruangan dalam menjalankan bisnis coworking space. Harga properti, khususnya di perkantoran Jakarta, mengalami penurunan harga sewa yang drastis. Hal ini untuk menghindari tersangkut dalam kontrak pengembang dengan harga tinggi, dibandingkan penurunan ke depannya.

Makanya seluruh lokasi coworking space yang dikelola Wellspaces adalah hasil dari kerja sama dengan pengembang. “Kerja sama dengan developer merupakan pilihan yang lebih baik karena ada fleksibilitas terhadap harga sewa pasar yang dirasa akan turun terus.”

Mengambil strategi berbeda, Ngalup yang berlokasi di Malang melakukan kesepakatan sewa properti dengan pengembang karena situasi yang berbeda.

Digital Marketing Strategist Ngalup M Ariq Surya Nugraha menyebut pihaknya melakukan kesepakatan dalam bentuk perjanjian sewa properti dalam kurun waktu tertentu dengan kesepakatan dekorasi ruangan dan tempat di awal kesepakatan. “Ngalup sangat menjaga relasi baik dengan pemilik properti maupun stakeholder kami yang lain.”

Co-Founder dan CEO CoHive Jason Lee mengamini hasil survei Deskmag. Ia memandang masih banyak pemain coworking space yang belum sampai ke tahap unit economics, terlebih industri ini masih baru.

Meskipun demikian, ia mengklaim CoHive sudah sampai tahap itu. Berbagai vertikal bisnis sudah diluncurkan yang arahnya buat memenuhi kebutuhan anggotanya. Selain coworking space, tersedia pula CoLiving (ruang kerja sekaligus tempat tinggal), CoRetail, dan Event Space.

“Ini adalah produk yang menjawab kebutuhan perusahaan dan karyawan saat ini. Kami terus menghasilkan peluang inovatif untuk tumbuh dan menjadi startup yang menguntungkan, di saat yang sama memberikan peluang kepada anggota kami,” tutur Jason.

Sementara menurut Faye, hasil survei Deskmag ini kemungkinan besar juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, persentase tersebut akan semakin turun apabila pemain hanya fokus memperbanyak lokasi dan mempercantik furnitur.

“Baru 40% pemain global sudah cetak untung itu bisa jadi karena fokusnya masih main di [mem]perbanyak lokasi saja, bukan karena segmen bisnisnya yang dari awal susah untuk untung. Kalau pengertiannya masih seperti itu, sampai mereka sadar yang mestinya dilakukan adalah mengisi coworking dengan konten yang dibutuhkan anggota, mereka tidak akan bisa profit,” ujarnya.

Dia berpendapat, bisnis yang sukses di mana pun itu, tidak bisa mengandalkan satu revenue stream saja, artinya harus ada diversifikasi. Vertikal bisnis coworking space itu luas dan bisa dikembangkan tergantung kebutuhan anggotanya, bisa menyentuh unsur hospitality, F&B, atau yang lain.

“Oke, bagus ketika kita berhasil mengumpulkan orang, buat kolaborasi dan segala macamnya, tapi dapat duitnya itu gimana? Itu yang perlu dikulik lagi. Hal inilah yang membuat bisnis coworking space itu jadi vulnerable.”

Melihat strategi monetisasi para pemain

Menjual keanggotaan untuk memanfaatkan fasilitas di coworking space adalah revenue stream utama yang diandalkan. Dalam menentukan perhitungan harga keanggotan, menurut Faye, sudah ada rumus akuntansi yang lumrah dipakai saat berbisnis, yakni melihat Harga Pokok Penjualan (HPP), salah satu komponen dalam laporan laba rugi.

HPP adalah seluruh biaya langsung yang dikeluarkan untuk memperoleh barang atau jasa yang dijual. Dalam menghitung ini, biaya yang diperhitungkan mencakup biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, depresiasi aset, biaya overhead, dan lain sebagainya. Tujuan menghitung HPP adalah mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dalam produksi barang dan jasa.

“Misal mau jual HPP harga keanggotaan Rp100 ribu, dari nilai ini harus ada margin yang sudah diperhitungkan cukup untuk menutup biaya operasional. Bisnis itu selalu punya periode tertentu pasang surut, jadi pastikan bisnis tetap running saat itu terjadi, jangan sampai operasional kalah dengan cashflow.”

Namun jika memosisikan diri sebagai startup, konsep di atas tidak selalu berlaku. Startup akan lebih mementingkan akuisisi pasar dalam kurun waktu yang cepat untuk mengejar pertumbuhan bisnis. Jika ingin menjaga biaya dan mencetak untung, strategi ini jadi kurang tepat.

“Makanya banyak yang fundraising untuk subsidi silang. Bisa jadi jual rugi harga keanggotaannya untuk bisa kejar pertumbuhan lebih tinggi. Kalau sudah stabil baru kulik-kulik lagi model bisnisnya.”

Di Indonesia, harga keanggotaan di tiap coworking space sangat bervariasi. Ambil contoh coworking dengan 33 lokasi di Indonesia, Co-Hive, yang menjual ruang kerja mulai dari Rp50 ribu per hari untuk Daily Pass, Flexi Desk Rp1 juta per bulan, Dedicated Desk Rp2 juta, dan Private Office Rp3 juta.

Jason menjelaskan, monetisasi CoHive didorong ekspansi lokasi dan inovasi produk yang berasal dari permintaan pasar. Mereka tidak hanya menambah lebih banyak produk, seperti CoLiving, CoRetail, dan Event Space, juga ekspansi ke kota baru.

“Kami mulai masuk ke kota-kota baru. Medan, Bali, Yogyakarta, dan segera Surabaya pada bulan Oktober ini. Pendapatan kami berasal dari yang disebutkan di atas, serta melalui komunitas, event, program, dan kegiatan akselerator.”

Salah satu pemain lokal lainnya, Wellspaces juga tidak mau terjebak dengan menjual keanggotaan. Sejak rebrand menjadi Freeware Spaces Group di awal tahun ini, ada sejumlah vertikal bisnis yang diluncurkan.

Bisnis yang ditawarkan termasuk Wellkitchen (co-kitchen & food market), DWeel (co-living house), Wellhouse (co-residences), Movewell (active communities house), Welldefense (self defense & martial arts club), dan Wellsociety (members identity & loyalty rewards).

Dua pemain di atas tergolong sudah besar dan beroperasi sudah cukup lama. Wellspaces sudah hadir sejak 2012, sedangkan CoHive pada 2015.

Dalam skala yang lebih kecil, Ngalup menyediakan penyewaan meja kerja mulai dari Rp50 ribu per tiga jam, untuk acara event Rp350 ribu per jam, dan ruang meeting Rp200 ribu per jamnya. Masing-masing sudah termasuk fasilitas penunjangnya.

Dalam menentukan strategi monetisasi, Ngalup melakukan pendekatan product market fit, tidak jauh dengan apa yang startup biasa lakukan. Ariq menjelaskan coworking space ini tergolong bisnis properti, makanya mereka mempertimbangkan antara properti yang dimiliki dengan pengembangan produk yang dibutuhkan anggota.

“Menyesuaikan dengan visi yang sudah kami tetapkan itu adalah salah satu pertimbangan kami dalam menentukan unique value proposition dari Ngalup itu sendiri.”

Sedangkan bagi Wellspaces, pihaknya tidak melakukan tambahan revenue stream di hal lain.

“Memang business model kami cukup standar dengan menyediakan ruangan saja. Kami tidak banyak melakukan additional revenue seperti menjual kopi,” tambah Aryo.

Jason menambahkan, dari sisi CoHive, seluruh lokasi coworking space yang dikelola adalah hasil kerja sama dengan para pengembang properti dan pemilik gedung. CoHive mengubah aset mereka dengan desain yang indah, mengelola gedung mereka, dan mengumpulkan permintaan ruang kerja.

Salah satu bentuk nyatanya adalah perusahaan menggandeng Keppel Land Indonesia untuk menggarap CoLiving di Tower Crest West Vista, Jakarta Barat.

Untuk menjaga relasi dengan mereka, CoHive selalu memulai percakapan dengan menanyakan tujuan mereka bermitra dengan coworking space. Apakah mereka mencari aktivasi ruang? Aakah mereka mencari keuntungan? Atau apakah mereka ingin membangun komunitas?.

“Berdasarkan jawaban mereka, kami akan menyesuaikan solusi untuk mereka dan kami selalu memperbaruinya setiap bulan. Karena kami telah menjalin hubungan yang baik dengan banyak pemilik properti, banyak yang menganggap kami sebagai pilihan pertama mereka.”

Tim Ngalup / Ngalup
Tim Ngalup / Ngalup

Sebagai Founder Kumpul, Faye mengaku monetisasi yang dia pilih adalah menjual keanggotaan dan menyewakan ruangan untuk menggelar kegiatan. Di samping itu, dia memperkuat konten dengan membuat berbagai program pengembangan dan melakukan kemitraan dengan akselerator dan inkubator.

“Kekuatan tiap orang itu beda-beda. Kalau saya tidak begitu paham untuk pilih ekspansi lokasi. Jadi lebih banyak bermain di program pengembangan dan partnership, itu lebih sesuai dengan latar belakang saya. Kita lebih fokus bangun jaringan dan kerja bareng existing players.”

Kumpul berdiri sejak 2015, kini tersebar di lima titik di Bali dan Jakarta. Seluruh lokasi Kumpul sepenuhnya hasil kerja sama dengan pengembang properti, tidak ada yang dimiliki sendiri.

Dalam menjaga relasi dengan pemilik properti, dia mengaku tidak ada kekhususan. Semuanya bersifat kesepakatan bisnis saja. Ada perhitungan untung rugi dan bagaimana pembagian keuntungannya.

Menariknya, terjun ke bisnis coworking space, menantang para pendirinya untuk belajar dari awal kembali mengenai pembukuan, menghitung HPP, pajak, diversifikasi revenue, dan sebagainya. Kenyataannya banyak founder startup yang kuat soft skill-nya, tapi pengetahuan tentang administrasinya kurang terasah.

Kulik konten sesuai kebutuhan anggota

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menyediakan menyediakan ruang untuk kerja karena memang disitulah hakikat kehadiran coworking space. Semangat awal yang diusung coworking space adalah mendorong jiwa entrepreneurship.

Ketika itu sudah terbentuk, terjadi snowball effect. Ada perputaran ekonomi meningkat ke berbagai aspek kehidupan. Kualitas hidup masyarakatnya bisa dipastikan ikut meningkat. Hingga ada istilah gelombang tinggi yang menaikkan semua perahu.

“Coworking space itu tentang produktivitas, bagaimana caranya bisa menciptakan impact. Mendorong orang untuk menciptakan bisnis yang menghasilkan impact,” kata Faye.

Workshop yang bersifat skill sharing dibutuhkan anggota / GoWork
Workshop yang bersifat skill sharing dibutuhkan anggota / GoWork

“Tidak masalah target audience yang mau disasar, pekerja kreatif, startup founder, atau lainnya itu semua ujung-ujungnya mengenai dampak ekonomi yang disediakan oleh coworking space sebagai tempat untuk bekerja,” sambungnya.

Dia menerangkan, agar coworking space bisa berpartisipasi dalam tujuan mulia tersebut. Makanya perlu dikulik lagi konten yang ditawarkan untuk masing-masing target audience-nya. Cara mengidetifikasinya adalah selalu mencari solusi dari masalah yang ada, sama seperti memulai bisnis pada umumnya.

Lalu pastikan apakah solusi yang diberikan itu sebatas vitamin atau antibiotik buat komunitas yang mau dituju. Itulah yang akan menentukan orang apakah bakal beli atau tidak.

“Kalau vitamin saja, orang belum tentu beli karena ada banyak substitusi. Ketika bisa menyediakan itu, tiap coworking space pasti punya warna sendiri. Sama seperti coffee shop. Di mana-mana sekarang ada, tapi masing-masing punya segmen sendiri, bukan?”

Dia menganalogikan coworking space tak jauh bedanya dengan studio gym. Mau di mana pun, isi studio gym tidak jauh berbeda dengan kompetitor. Pembedanya terletak di konten program yang mereka jual, menyesuaikan dengan kebutuhan anggotanya, ada kombinasi dengan diet sehat, hanya bentuk otot atau menurunkan berat badan saja.

Hal yang sama juga terjadi di coworking space. Ketika anggota membeli konten yang disediakan, pasti mereka ada harapan ada sesuatu yang bisa didapat setelah program selesai. Entah itu kemampuan berbisnis mereka bisa naik dari level A ke level B dan berikutnya.

“Jadi pemilik harus bisa mengukur konten seperti apa yang dibutuhkan anggota, yang mana program itu bisa diukur kesuksesannya. Sampai akhirnya ada yang gabung dan merasa skill-nya naik setelah gabung.”

Dia melanjutkan, “Sama seperti saat masuk gym, pas keluar dari situ pasti ada ekspektasi dapat sesuatu, badannya jadi lebih bugar atau lainnya. Kalaupun tidak ada perubahan, pemilik gym pasti ingin anggota tetap dapat manfaat. Sebab mereka butuh feedback untuk bisa diceritakan kembali ke orang lain.”

Dari analogi ini, dapat disimpulkan bahwa produk coworking space itu bukan furnitur dan segala fasilitasnya, melainkan konten yang dibutuhkan anggotanya dan bagaimana pemain coworking space bisa menyediakannya. Ketika sebuah coworking space bisa menyediakan itu, otomatis orang akan berdatangan.

Pemahaman ini akhirnya Faye coba terjemahkan untuk bisnisnya sendiri, Kumpul, yang berlokasi di Bali. Ada tiga tipe konten yang dia tawarkan.

Pertama, jaringan atau koneksi. Banyak orang yang menganggap dunia itu kecil ketika terjun di suatu industri. Anggapan ini kurang tepat sebab ketika itu terjadi, artinya kita sedang terjebak di bubble network kita sendiri. Untuk keluar dari situ dan masuk ke bubble network orang lain butuh upaya super ekstra. Tapi tidak perlu jadi selebritas atau orang penting untuk bisa mencapai tahap itu.

Faye menuturkan, hal ini bisa diakomodasi oleh coworking space. Caranya dengan mengadakan networking event. Menghubungkan orang-orang dengan kesamaan ketertarikan dalam satu tempat.

Tidak sekadar butuh kumpul-kumpul. Ada juga orang yang butuh tambahan insight yang tidak pernah diajarkan di sekolah untuk meningkatkan level dan kapabilitasnya dalam berbisnis.

“Bagaimana caranya memasukkan hard skill yang dibutuhkan melalui workshop, buddy system, atau lainnya, sehingga mereka yang tadinya tahu jadi tahu banget.”

Kedua, sebagai katalisator. Ada orang yang merasa bisnisnya sudah lancar, punya cashflow bagus, dan tidak perlu buka jaringan baru. Yang dia butuhkan adalah scale up bisnis agar tumbuh melonjak. Solusi itu bisa didapat lewat coworking space yang di dalamnya berisi orang-orang yang siap untuk terkoneksi dan berkolaborasi satu sama lain.

“Jadi kita seperti melting pot-nya, yang kita lakukan adalah accelerating the serendipity. Kebetulan-kebetulan yang menguntungkan dan bisa terjadi kapan saja. Itu kan random banget, tapi probabilitasnya tidak besar. Di coworking space bisa ciptakan itu.”

Tantangan ke depan dan peran asosiasi

Perjalanan industri coworking space di Indonesia masih panjang. Faye menjelaskan, sejak Coworking Indonesia diresmikan, secara rutin tiap tahunnya menggelar acara kumpul untuk memperbarui informasi tentang industri.

Pada tahun pertama, pembahasannya lebih mengarah sekadar skill sharing terkait bisnis dasar coworking space. Banyak dari pemain yang masih bingung bagaimana monetisasinya. Lalu dari sisi legalitasnya, apa saja yang harus dipersiapkan. Juga mendalami aspek yang perlu ada, seperti komunitas dan kolaborasi.

Kemudian, di tahun kedua lebih meng-highlight ke sisi partnership, seperti apa bentuk konkretnya, dan bagaimana menjadikannya sebagai bisnis. Masuk tahun ke-3, pembahasan makin mendalam, coworking space punya fungsi sebagai platform dan ecosystem builder.

“Jadi basically kita adalah wadah dari semua ekosistem entrepreneurship, startup bisa tumbuh kalau coworking-nya dikuatin dulu.”

Di satu sisi, awareness terkait penetrasi coworking space belum sepenuhnya merata. Ariq memandang solusi yang bisa dilakukan adalah kolaborasi dengan berbagai pihak. “Edukasi terkait model bisnis coworking space menjadi salah satu solusi terbaik yang bisa dilakukan agar effort yang ingin dicapai bisa lebih mudah.”

Jason mengatakan, pasar Indonesia masih butuh edukasi tentang manfaat dari coworking space, seperti layanan yang fleksibel, akses ke jaringan bisnis dan investor yang lebih luas, work life balance, dan lainnya.

“Oleh karena itu, kami terus menghadiri acara kampus dan talkshow publik untuk mendidik pasar tentang konsep modern ini. Kami juga terus membuat acara komunitas untuk mendorong anggota kami menjelajahi komunitas baru.”

Sebagai penutup, Aryo mengibaratkan coworking space sebagai sebuah sekolah. Hasil lulusan atau anggota adalah metrik kesuksesannya.

Previous Story

Sinar Mas Sets Up BSD Innovation Labs Completing Its Digital Ecosystem

Next Story

Bersama AKG Games, Blizzard Entertainment Turun Tangan Kembangkan Komunitas di Indonesia

Latest from Blog

Don't Miss

DailySocial mewawancarai Aryo Ariotedjo dari Absolute Confidence/Grupara Ventures / DailySocial

[Video] Perjalanan Venture Capital dalam Merangsang Pertumbuhan Startup di Indonesia

DailySocial bersama Aryo Ariotedjo dari Absolute Confidence (dahulu bernama Grupara
WeWork Growth Campus

Kondisi dan Strategi Bisnis WeWork Menghadapi Perubahan Gaya Kerja Akibat Pandemi

Operator coworking space global WeWork meresmikan kehadirannya di Indonesia sejak