Menghitung Jejak Karbon Generative AI dan Dampaknya ke Lingkungan

Pembuatan dan penggunaan Generative AI memerlukan listrik dan air dalam jumlah besar

Setelah OpenAI merilis ChatGPT di November 2022, teknologi Generative AI menjadi semakin populer. Istilah Generative AI sendiri mengacu pada AI yang dapat menghasilkan output kompleks, mulai dari kalimat, paragraf, gambar, atau bahkan video. Masalahnya, semakin canggih sebuah AI, semakin besar pula energi yang diperlukan dan jejak karbon yang dihasilkan.

Konsumsi Listrik dan Emisi Karbon Dioksida

Saat ini, tidak diketahui berapa banyak energi yang diperlukan untuk membuat dan menggunakan satu Generative AI. Memperkirakan emisi karbon dioksida yang dihasilkan dalam proses pelatihan dan penggunaan Generative AI juga tidak mudah. Karena, untuk mengetahui jejak karbon dari penggunaan Generative AI, Anda harus mengetahui sumber energi yang digunakan. Sebagai contoh, emisi yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara tentu berbeda dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

Pada 2019, para peneliti menemukan bahwa proses pembuatan Generative AI bernama BERT -- yang memiliki 110 juta parameter -- membutuhkan energi yang sama dengan penerbangan antar benua untuk satu orang. Semakin banyak parameter yang dimiliki oleh sebuah AI, semakin canggih pula AI itu dan semakin besar pula emisi yang akan ia hasilkan.

Model AI BERT punya 110 juta parameter. | Sumber: Hugging Face

Sebagai contoh, GPT-3 memiliki 175 miliar parameter, menurut laporan Euro News. Para peneliti memperkirakan, proses pembuatan ChatGPT membutuhkan 1.287 megawatt jam listrik dan menghasilkan 552 ton karbon dioksida. Emisi yang dihasilkan oleh ChatGPT setara dengan emisi dari 123 kendaraan yang dikendarai selama 1 tahun. Tentu saja, setelah ChatGPT beroperasi, AI ini juga akan membutuhkan lebih banyak listrik dan menghasilkan lebih banyak emisi karbon dioksida.

Satu hal yang harus diingat, jumlah parameter yang dimiliki oleh sebuah AI bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi besar energi yang diperlukan atau emisi yang dihasilkan oleh AI tersebut. Buktinya, model AI BLOOM, yang jumlah parameternya tidak jauh berbeda dari GPT-3, memiliki jejak karbon yang jauh lebih kecil. BLOOM, yang dibuat oleh BigScience, hanya mengonsumsi 433 megawatt jam dan hanya menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 30 ton.

Studi dari Google juga menunjukkan, untuk model AI dengan jumlah parameter yang sama, perusahaan bisa meminimalisir jejak karbon sebanyak 100 sampai 1.000 kali lipat jika mereka menggunakan prosesor dan arsitektur yang lebih efisien, serta data center yang lebih ramah lingkungan.

Penggunaan Air untuk Data Center

Generative AI tidak hanya membutuhkan listrik dalam jumlah besar, tapi juga air. Studi yang dilakukan oleh peneliti dari University of California, Riverside, menunjukkan bawah model AI seperti ChatGPT-3 dan 4 membutuhkan air dalam jumlah banyak.

Dalam studi tersebut, disebutkan bahwa Microsoft menggunakan 700 ribu liter air untuk mendinginkan data center mereka ketika mereka sedang melatih GPT-3. Jumlah air yang Microsoft gunakan ini sama seperti air yang dibutuhkan untuk memproduksi 370 mobil BMW atau 320 mobile Tesla. Dan, air itu hanya digunakan selama tahap pelatihan GPT-3.

Microsoft menggunakan air untuk mendinginkan data center. | Sumber: Microsoft

Untuk melatih sebuah AI, perusahaan biasanya membutuhkan data center. Dan data center memerlukan sistem pendingin yang memadai untuk memastikan mesin di dalamnya tetap berjalan dengan optimal. Salah satu metode cooling yang perusahaan gunakan di data center memanfaatkan air. Dengan kata lain, jumlah air yang digunakan oleh perusahaan untuk melatih atau mengoperasikan model AI berbanding lurus dengan jumlah data center yang digunakan atau durasi penggunaan data center.

Tak berhenti sampai di sana, pengoperasian model AI seperti ChatGPT juga membutuhkan data center. Hal ini berarti, saat beroperasi, ChatGPT atau Generative AI lainnya juga akan mengonsumsi energi dan air dalam jumlah yang signifikan. Menurut laporan Earth.org, untuk menjawab sekitar 20-50 pertanyaan, ChatGPT memerlukan air sebanyak 500 ml. Mengingat ChatGPT memiliki lebih dari 100 juta pengguna, AI itu akan membutuhkan air dalam jumlah banyak saat beroperasi.

Cara untuk Meminimalisir Dampak ke Lingkungan

Tren di teknologi memang datang dan pergi. Namun, tren Generative AI tampaknya akan bertahan, termasuk chatbot. Di masa depan, akan ada semakin banyak orang yang memanfaatkan chatbot saat mereka sedang mencari informasi di internet.

Tidak heran jika orang-orang akan lebih suka untuk menggunakan chatbot. Karena, salah satu kelebihan chatbot daripada search engine adalah chatbot bisa memberikan jawaban secara langsung. Pengguna tidak lagi perlu mencari situs yang memuat jawaban dari pertanyaannya. Sebagai gantinya, chatbot langsung akan menampilkan jawaban, dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia.

Contoh hasil jawaban dari chatbot. | Sumber: Microsoft

Hanya saja, Generative AI memiliki jejak karbon yang signifikan dan dapat memberikan dampak buruk pada lingkungan. Memang, keberadaan satu AI tidak akan serta-merta menghancurkan Bumi. Namun, jika ada ribuan perusahaan yang berlomba-lomba untuk membuat AI bots dengan fungsi yang berbeda-beda, masing-masing AI bots digunakan oleh jutaan pengguna, hal ini akan menciptakan masalah lingkungan.

Kabar baiknya, para akademisi telah membuat frameworks untuk membantu para peneliti dalam melaporkan penggunaan energi dan jejak karbon mereka. Harapannya, para peneliti tidak hanya sadar akan dampak dari teknologi yang mereka buat pada lingkungan, tapi juga membuat mereka menjadi lebih bertanggung jawab. Sayangnya, perusahaan biasanya enggan untuk mengungkap jejak karbon dari data center mereka.

Karena itulah, salah satu cara untuk meminimalisir dampak buruk dari Generative AI ke lingkungan adalah mendorong perusahaan untuk menjadi lebih transparan akan jejak karbon dari model AI yang mereka buat. Selain itu, para peneliti juga bisa mengadakan riset untuk membuat Generative AI menggunakan energi dengan lebih efisien. Bagi individu, dia bisa mengedukasi diri tentang dampak buruk dari Generative AI pada lingkungan.

Sumber header: ZDNet