Indonesia dikenal sebagai negara paling dermawan di dunia menurut World Giving Index (WGI) 2021 yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF). Indonesia ada di peringkat pertama dengan skor 69%, naik dari skor 59% di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada 2018.
Menurut laporan tersebut, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang tidak dikenal, menyumbang uang dan kegiatan kerelawanan/volunter. Pencapaian yang ditorehkan ini sangat baik, namun ternyata ekosistem donasi belum memiliki standarisasi yang matang.
Ada dua isu yang masih menjadi masalah, yakni standarisasi soal dana yang dikutip oleh lembaga amal dan bagaimana menjaga lembaga amal dapat menjadi keberlanjutan. Latar belakang tersebut menjadi alasan dilahirkannya BeKind yang usianya baru seumur jagung ini, pada April 2021.
BeKind merupakan proyek blockchain pertama di Indonesia yang mengembangkan ekosistem impak sosial/donasi yang kuat dan terukur, berdasarkan bukti melalui platform digital yang transparan. Saat ini, BeKind berfokus membangun kemitraan dengan berbagai pihak, seperti Tokocrypto dan platform penggalangan dana WeCare.id, juga para mitra lainnya.
Platform ini dirintis oleh tim yang berpengalaman di dunia donasi dan blockchain, salah satunya Fajar Jasmin (CEO). Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Fajar menjelaskan pada isu pertama, bahkan secara global tidak ada standardisasi berapa sebaiknya sebuah lembaga amal dapat mengutip dari setiap penggalangan dana.
Alhasil, ada yang mengutip (ambil komisi) dalam persentase besar ada juga yang kecil. Menurutnya, mengutip diperbolehkan karena memang dibutuhkan ongkos tenaga manusia untuk menyambungkan niat baik dari pendonor kepada penerima donor. “Hanya saja, besaran potongnya itu yang sehat dan bisa diterima itu berapa persen, itu yang tidak ada standarisasinya dan tidak transparan,” terang dia.
Dari isu pertama ini berlanjut ke isu kedua, berkaitan dengan keberlanjutan. Karena ada lembaga yang mengutip dalam persentase yang kecil, mereka ada isu bagaimana harus bertahan sebab tidak dana darurat. Menurut Kementerian Sosial, lembaga amal tidak diperbolehkan menyimpan profit yang didapat setelah menyalurkan bantuan ke penerima donor.
“Ini lantas berat karena sebuah institusi tidak punya dana simpanan dalam siklus tahunannya. Apalagi di tahun 2020 kemarin, saat awal terjadi Covid-19, banyak orang yang cenderung menyimpan uang daripada berdonasi. Akibatnya banyak lembaga yang kesulitan menggalang dana. Bahkan ada riset yang menyebutkan banyak lembaga yang stop beroperasi, ini tragis.”
Kedua isu tersebut ingin diselesaikan BeKind melalui blockchain yang sejak tahun lalu tengah mendapat momentum yang baik. Malah, menurut Fajar, kehadiran blockchain merevolusi ekosistem donasi jadi lebih transparan karena semuanya dapat terlihat histori secara real-time dari awal donasi diberikan hingga sampai ke penerima donor. Setidaknya seperti itu ambisi besar BeKind.
“Kami tetap akan membatasi identitas penting, baik itu lokasi, foto, yang dapat diakses. Harapannya kami ingin menciptakan ekosistem charity yang lebih seimbang, ada jalan keluarnya dengan blockchain dan produk turunannya dapat membantu atasi isu sustainability.”
Rencana BeKind
Produk pertama BeKind adalah BeKind Token (BKND) sebagai mata uang digital yang dapat digunakan untuk berdonasi melalui platform. Tokocrypto menjadi tempat peluncuran perdana token tersebut yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir tahun ini. Adapun, token BKND sudah dibuka proses Pre-IEO (Initial Exchange Offering).
Ke depannya, token BKND akan menjadi aset digital native untuk berdonasi di platform hub rilisan BeKind. Seperti diketahui, saat ini BeKind menjadi startup pertama yang bekerja sama dengan Tokocrypto di dalam program akselerator TokoLaunchpad.
Kesempatan ini membuka BeKind untuk memanfaatkan lebih jauh teknologi blockchain dan kripto agar utilitas BKND ke depannya dapat lebih bermanfaat bagi para pemegangnya. BeKind bekerja dengan protokol Binance Smart Chain yang merupakan proyek blockchain besutan Binance yang berjalan beriringan dengan teknologi mereka lainnya, bernama Binance Chain.
Dengan demikian, BeKind dapat memanfaatkan banyak aplikasi turunannya, salah satunya adalah decentralized finance (DeFi). Fajar menuturkan, DeFi dapat menyelesaikan isu keberlanjutan yang selama ini menjadi batu penghalang bagi banyak lembaga amal karena mendapat pendapatan pasif.
“Ketika donasi sudah berhasil terkumpul, biasanya donasi tersebut tidak langsung segera disalurkan. Nah selagi menunggu, bisa menggunakan staking dengan imbal hasil yang bisa dikumpulkan dan harapannya bisa menjadi emergency fund buat badan amal tersebut agar dapat bertahan.”
Selanjutnya, Tokocrypto akan menjadi platform exchange yang menerima transaksi BKND, baik itu saat ingin berdonasi maupun saat penerima donor ingin mencairkan donasi yang mereka terima.
“Token ini bukan berfungsi sebagai alat tukar, tapi sebagai tracing sampai ke pihak akhir. Nanti pendonor bisa cek karena itu masih tersambung dengan blockchain. Tapi ketika token ini dikonversi mata uang yang berlaku, akan berhenti tracing-nya. Tokocrypto akan jadi pihak exchange-nya.”
Secara badan hukum, BeKind berdiri di bawah PT Grace Teknologi Asia dan telah resmi terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).
Secara global, dengan semangat yang sama seperti BeKind, terdapat The Giving Block yang tokennya kini sudah dapat digunakan tak hanya untuk berdonasi di platform-nya tapi juga di Save the Children, lembaga donasi internasional non-NGO.