Editorial: Kali ini, Razi Thalib menuliskan artikel yang cukup menarik yang berhubungan dengan pengembangan produk atau jasa yang dilihat dari sisi konsumen, bahwa konsumen sudah seharusnya mengedukasi diri mereka sendiri sebagai sebuah usaha untuk meningkatkan permintaan akan produk/jasa yang lebih berkualitas. Di sisi lain, jika hal ini berjalan maka akan juga mendorong perusahaan/startup untuk membuat/mengembangkan layanan serta produk yang berkualitas.
Saya merasa beberapa proyek pembangunan di Indonesia tidak dijalankan secara tepat, hanya memberikan yang lebih baik tetapi tidak memikirkan sisi kualitas dengan lebih dalam. Ilustrasinya mirip dengan memberi pisang pada monyet, berikan yang lebih baik maka mereka akan menurut.
Saya prihatin karena bertemu orang-orang yang fokus pada “bagaimana” daripada “mengapa” atas sebuah proyek. Mereka lebih memilih untuk menyalin contoh yang ada daripada berusaha lebih untuk mengeksplorasi masalah sebenarnya dan mengidentifikasi solusi yang tepat. Mereka memikirkan hadiah langsung dan mengabaikan dampak masa depan. Mereka berpikir dalam segi harga dan biaya bukan pada nilai dan investasi.
Saya telah melihat bentuk ini dalam setiap industri (saya sudah menjadi bagian dari hal ini) bahwa ada kondisi akan kurangnya kesadaran secara general yang mengakibatkan ekspektasi yang rendah dan akhirnya mengarahkan kondisi yang ada pada kurangnya permintan akan inovasi dan perubahan. Misalnya saya pernah membaca bahwa orang-orang di daerah terpencil di Indonesia umumnya sangat puas dengan akses mereka atas pendidikan. Ini mungkin tidak berarti bahwa mereka menerima layanan pendidikan kelas dunia tetapi mereka hanya merasa beruntung untuk memiliki bangunan sekolah di kabupaten mereka.
Jika kita melihat industri web lokal, maka kita dapat menemukan banyak contoh website yang diarahkan untuk iklan daripada kegunaan. Portal berita yang paling banyak dikunjungi di negara ini, memiliki tata letak dan desain yang terlihat kekanak-kanakan dan mengingatkan saya akan kejadian buruk yang pernah menimpa saya. Hal ini telah menuntun saya untuk meyakini bahwa kita secara kolektif harus berusaha untuk mempromosikan budaya permintaan yang lebih canggih. Canggih dalam arti bahwa permintaan konsumen/masyarakat/pengguna sadar akan permintaan mereka, memiliki permintaan yang cukup kompleks serta menarik secara intelektual.
Produk dan jasa berkembang (dan lahir dari) permintaan yang canggih. Hal ini membutuhkan basis pengguna dengan keterampilan berpikir kritis, keinginan untuk penelitian dan kecenderungan untuk mempertimbangkan secara hati-hati atas dampak masa depan dari usaha apapun.
Permintaan Canggih Membutuhkan Pendidikan
Katakanlah Anda menjual coklat (dengan asumsi itu adalah coklat dengan kualitas yang baik), bagian yang seharusnya Anda lakukan adalah -sebagai penjual- mendidik orang tentang apa itu coklat berkualitas baik dari tampilan, bau dan rasanya. Apa cerita di balik cokelat tersebut? Anda juga mungkin menyediakan dan mengajarkan konsumen Anda tentang fair-trade dan menjelaskan bahwa petani kakao dari produk coklat Anda mendapatkan kesepakatan yang adil. Menciptakan kesadaran, berbagi cerita kemanusiaan dan membentuk gerakan dalam industri Anda untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk segalanya. Membuat orang membenci coklat buruk dan menuntut perusahaan di belakang coklat ini agar bertanggung jawab atas kejahatan mereka karena memberikan produk yang biasa-biasa saja.
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa lebih mudah untuk berkomunikasi dan berbagi cerita secara online, kita hanya perlu mengubah pola pikir kita tentang apa yang harus kita lakukan dengan media online. Tidak masalah apakah Anda menjual produk atau menjalankan sebuah startup, ini hanya tentang pelaksanaan strategi konten yang bisa menggerakkan orang melalui narasi. Layaknya sebuah kantor berita, perlu produsen konten/editor yang memproduksi cerita-cerita bagus dan secara kreatif tetap membuat pembaca terus terlibat.
Apakah Anda Pengguna yang Canggih?
Sebagai stakeholder, tingkat kecanggihan kita tergantung pada seberapa jauh kita berusaha untuk:
1. Diberitahu. Apakah kita menginvestasikan waktu untuk diberitahu tentang pilihan kita?
2. Memberi hukuman. Jika sebuah perusahaan memiliki kebijakan yang tidak bertanggung jawab, apakah kita menolak membeli produk dari mereka?
3. Memberi hadiah. Apakah kita memberi hadiah untuk menghargai mereka yang bekerja ekstra bagi kita?
Sebagai konsumen kita harus memulai secara bersamaan untuk menghukum mereka yang hanya secara jangka pendek mengubah kita dan menghadiahi mereka yang memberikan lebih dari apa yang kita minta. Kita perlu membantu memberikan keuntungan bagi orang-orang dan organisasi agar mereka berinovasi. Kita perlu mendukung individu yang menganjurkan inovasi dalam pekerjaan/industri mereka. Kita harus bersikeras membeli dari perusahaan yang memperlakukan kita seperti manusia daripada statistik pada buku besar keuangan.
Pada akhirnya jika kita secara kolektif terus meningkatkan harapan kita atas produk yang kita beli, lalu atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kita serta jumlah yang dibayar oleh diri kita sendiri, semua ini bisa menjadi katalis untuk sebuah perubahan besar. Bagi perusahaan atau pembuat produk, tentu menginginkan produk mereka terjual, mereka tentu ingin mendapatkan pemasukan lebih di saku mereka setiap akhir bulan.
Razi Thalib, seorang manusia bebas sejak 2009, meninggalkan pekerjaan enak bergaji tinggi untuk romantisme kembali ke rumah dan menjalani ide kehidupan yang penuh ambigu dan tanpa bayaran. Itulah harga dari kebebasan! Saat ini membantu Indonesia Mengajar sebagai chief digital officer dan menjalankan sebuah lembaga kolaboratif bernama bridges and ballons. Terkadang orang-orang bercanda atas nama ini, tapi dia belajar untuk hidup dengannya. Anda dapat membaca buah pikirannya di twitter @RaziThalib namun ia malah merekomendasikan Anda untuk tidak usah membacanya dan kembali bekerja!
Konsumen cerdas???
Rasanya Anda membutuhkan buku “The Paradox of Choice”
yes,menurut saya, maksud anda dr “mengembangkan budaya permintaan yg canggih”itu
adalah kata lain dari market driven (bukan drivingmarket). memang begitulah seharusnya
industri kreatif (dlm hal ini anda menyebutkan startup lokal) melakukan
proses bisnisnya. meskipun tidak disebutkan segmen-targeting konsumen
yg mana yg dimaksud scr lbh eksplisit.