Saya memiliki sebuah usaha online dan baru-baru ini banyak sekali tawaran bergabung dengan online marketplace secara bertubi-tubi. Setidaknya ada tiga marketplace baru yang saya belum pernah dengar namanya — dan ada yang situsnya belum selesai, mengajak bergabung dengan iming-iming kemudahan tertentu. Ya memang namanya juga usaha, tapi membayangkan usaha saya memiliki “cabang” di lebih dari 2 marketplace saja sudah membuat kepala pusing untuk mengurusinya.
Online marketplace sendiri bisa dibilang bentuk usaha online yang cukup “kuno” — apalagi jika dibandingkan dengan daily deals yang sedang marak. Pelopornya tentu saja tidak jauh-jauh dari eBay dan Amazon. Di Indonesia sendiri, ada beberapa marketplace yang berhasil established, Tokopedia dan Tokobagus adalah contoh yang awalnya berasal dari pihak non-korporat. Sementara sejumlah marketplace lainnya memiliki tautan dengan konglomerasi lokal bermodal besar ataupun jaringan online marketplace asing.
Sekarang kita lihat mengapa sebuah usaha online membutuhkan marketplace. Pertama adalah mencari crowd. Marketplace yang menarik dalam ini tentu saja yang sudah berhasil menarik ribuan (atau bahkan puluhan ribu) pengunjung setiap harinya. Kalau 1% saja sempat mampir dan berbelanja di toko kita, itu saja sudah lumayan. Penyedia marketplace juga bisa bekerja sama untuk mengiklankan/memperkenalkan produk yang kita miliki.
Kedua adalah etalase online. Tidak semua usaha online sudah dilengkapi dengan listing yang fancy. Sebagian mungkin menggunakan halaman Facebook-nya, sebagian menampilkan infonya dari milis ke milis bermodalkan email, sebagian lagi mungkin sudah menggunakan hosting gratisan dengan alamat yang kurang legitimate. Nah, daripada repot-repot membuat situs online sendiri, marketplace sudah menyediakannya untuk kita.
Yang ketiga adalah fleksibilitas metode pembayaran. Dengan beragamnya cara bertransaksi, marketplace menyediakan kemudahan kepada pelanggan kita untuk metode pembayaran yang disukainya. Apakah itu COD, transfer bank, ataupun dengan kartu kredit. Khusus untuk pembayaran kartu kredit biasanya tidak mudah bagi usaha online kecil-kecilan untuk menyediakannya karena minimal transaksi yang disyaratkan oleh penyedia jasanya tidaklah kecil. Di sini marketplace dapat membantu dan memberikan peranan.
Nah, seandainya marketplace yang baru-baru ini ternyata tidak memenuhi tiga hal di atas, akan kecil kemungkinannya untuk menarik perhatian — baik merchant maupun (calon) pembeli — untuk setidaknya setia mampir dan membeli di tempat tersebut. Efeknya ya potensi viral marketing menjadi turun, padahal seperti yang kita tahu dan pernah kita angkat surveinya, kebanyakan pembeli via online di Indonesia sangat bergantung pada testimonial teman atau kerabat untuk meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan terhadap marketplace itu. Ujung-ujungnya, kejatuhan marketplace baru ini tinggal menunggu waktu. Berhasil bertahan lebih dari satu tahun saja sudah merupakan prestasi mengingat biaya perawatan untuk hosting dan infrastruktur lainnya yang tidak sedikit.
Sekarang bayangkan Anda sebagai pemilik usaha. Ada 10 marketplace yang menawari Anda untuk bergabung dengannya. Sesuai dengan sumberdaya dan kebutuhan yang ada, saya yakin maksimal satu usaha ini hanya akan memilih maksimal tiga marketplace untuk ujicoba. Rata-rata saya yakin bakal mencoba dua marketplace saja. Dengan pertarungan David vs Goliath di arena ini, sejujurnya saya takut banyak pemain baru (dengan modal pas-pasan) yang bakal ditebas dengan ganas hanya dalam satu tahun saja.
Menurut saya, sebelum membuat marketplace baru, sebaiknya para pengusaha startup di bidang ini melakukan survei dulu tentang hal yang diperlukan oleh merchant. Pasti masih ada ceruk lain yang bisa dimasuki ketimbang memasuki arena perang yang tidak mungkin dimenangkan.
Ulasan yang menarik, pertarungan marketplace memang menguntungkan pelaku bisnis yang baru merintis. Tapi di sisi lain juga membingungkan dan malah beresiko terbengkalainya lapak kita jika terlalu banyak membuka ‘cabang’