Meskipun pertumbuhan startup lokal makin besar jumlahnya, hal ini tidak dibarengi dengan pertumbuhan jumlah para pengembang siap kerja. Banyak perusahaan teknologi besar yang mengambil jalan pintas dengan mempekerjakan tenaga kerja dari negara lain, terutama India.
DailySocial mencoba memahami kendala, tantangan, dan potensi solusi untuk membantu meningkatkan jumlah dan kompetensi tenaga pengembang lokal.
Memahami kurikulum
Meskipun secara basic mereka sudah cukup mengerti apa itu pemrograman, diklaim masih banyak sarjana ilmu komputer yang tidak menguasai benar konsep bahasa pemrograman secara keseluruhan.
CEO Hactiv8 Ronald Ishak mengklaim kurikulum yang diajarkan ke mahasiswa di universitas tidak dibarengi dengan update teknologi yang cepat berubah. Standarisasi pengajaran yang diberikan dosen kebanyakan hanya seputar konsep-konsep fundamental. Hal ini membatasi wawasan dan pengetahuan mereka mengenai bahasa pemrograman.
“Berdasarkan laporan yang dirilis oleh World Bank tahun 2019 lalu, hanya sekitar 16% saja lulusan Computer Science di Indonesia yang bekerja. Jumlah tersebut menurut saya sangat buruk,” kata Ronald.
Menurut pantauan CEO Kotakode Peter Tanugraha, masih banyak universitas yang tidak menggunakan materi terkini. Idealnya semua materi, modul, dan textbook selalu diperbarui. Tidak disarankan menggunakan materi lama yang sudah tidak relevan.
“Misalnya untuk proyek akhir tahun di sekolah masih menggunakan stack yang lumayan tua usianya yang saat ini tidak pernah digunakan, tapi sebagian besar masih diajarkan di sekolah,” kata Peter.
Sementara menurut CEO PT Brainmatics Cipta Informatika Romi Satria Wahono, belajar dari pengalamannya selama ini ketika bersinggungan dengan dunia pendidikan dan akademisi, persoalan kurikulum memang menjadi kendala yang menyebabkan belum masifnya jumlah pengembang yang berkualitas di Indonesia. Persoalan menumpuknya mata kuliah juga dianggap membatasi para mahasiswa melakukan pelatihan langsung.
“Berbeda dengan negara lain, Indonesia sistem pembelajaran fokus kepada hafalan. Mahasiswa tidak diajarkan untuk berpikir lebih kritis dan inovatif, yang dalam hal ini akan sangat membantu mereka menguasai bahasa pemrograman,” kata Romi.
Romi melihat ada baiknya dosen lebih aktif memperkaya wawasan, mengikuti seminar, dan terlibat lebih dekat lagi dengan mahasiswa dengan cara mengajak mereka bergabung ke sebuah proyek. Penting juga untuk universitas melakukan pembaruan modul dan textbook, menyesuaikan update dari materi yang mereka kumpulkan.
“Teaching people tidak bisa memikirkan materi saja, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan edukasi yang relevan kepada mahasiswa,” kata Romi.
Di sisi lain, Romi melihat idealnya perusahaan teknologi ternama di Indonesia tidak hanya terpaku pada mereka yang siap bekerja. Perusahaan seharusnya memberikan edukasi dan pelatihan ke mereka yang baru saja lulus kuliah saat bergabung di perusahaan.
Peranan platform coding class
Saat ini makin mahasiswa dan kalangan umum yang memanfaatkan kelas coding atau pelatihan pemrograman yang dtawarkan platform seperti Hacktiv8, Dicoding, Progate atau Kotakode. Salah satu keunggulan yang diklaim platform seperti ini adalah pembaruan materi yang dilakukan secara rutin.
“Sudah banyak jumlah para siswa yang kemudian memutuskan untuk mengambil pengetahuan tambahan secara mandiri memanfaatkan platform kami. Kami melihat sebagian besar sudah sukses dan berhasil bekerja di startup dan perusahaan teknologi ternama di tanah air,” kata Ronald.
Hacktiv8 juga melakukan pendekatan ke perusahaan teknologi. Mereka membantu mencari talenta dengan skill yang sedang dibutuhkan perusahaan saat ini.
“Hacktiv8 lebih mempersiapkan talenta yang sesuai dengan arahan yang mereka coba capai. Dengan demikian, ketika mereka sudah lulus dari program kita, mereka akan lebih siap bekerja,” kata Ronald.
Sementara Kotakode mencoba mempermudah para pengembang Indonesia mempelajari materi yang biasanya hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Meskipun pengembang idealnya harus mengerti bahasa Inggris, perusahaan mencoba menjembatani para talenta untuk mempelajari lebih dalam materi-materi teknis.
“Kotakode sedang membangun infrastruktur programming dengan menambahkan konten di Google dan menyediakan Q&A yang bisa diakses. [..] Itu adalah kontribusi Kotakode untuk membantu talenta di Indonesia dengan memberikan resources yang besar,” kata Peter.
Potensi pengembang Indonesia
Memasuki tahun 2021, menurut Ronald, sudah banyak prestasi dan peningkatan jumlah talenta digital Indonesia. Namun demikian, ada beberapa persoalan yang masih mengganjal baginya. Salah satunya rendahnya apresiasi startup ke pengembang Indonesia dari sisi gaji. Masih banyak pengembang dengan kemampuan di atas rata-rata tidak dihargai dengan gaji yang sesuai. Akibatnya banyak yang memilih bekerja di negara lain.
“Kondisi remote working saat ini telah memudahkan mereka untuk bekerja secara fleksibel, sehingga makin banyak programmer asal Indonesia yang memilih bekerja di perusahaan asal Singapura dan Malaysia yang menawarkan gaji yang (lebih) besar,” kata Ronald.
Menurut Ronald, di tahun 2021 yang menjadi sorotan saat ini tidak lagi pengembang, tapi arsitek atau Product Manager yang kualitasnya dianggap masih di bawah rata-rata dan kurang memahami cara membangun produk yang ideal. Ujung-ujungnya perusahaan teknologi (kembali) menggunakan tenaga kerja asing yang memiliki kemampuan dan pengalaman mumpuni dalam merancang produk.
“Dari kondisi tersebut baiknya programmer lokal bisa belajar gaya dan skill mereka [tenaga kerja asing], sehingga bisa menambah wawasan dan pengalaman,” kata Ronald.
Sementara menurut Peter, tren mempekerjakan tim dari negara lain didasari kebutuhan perekrutan tim dalam jumlah besar dan memiliki pengalaman dan skill yang baik. Tak heran berujung pada pembukaan kantor di negara lain. Hal ini adalah langkah strategis.
Ke depannya Romi memprediksi skill yang dibutuhkan pengembang tidak hanya kepiawaian dalam hal coding, tetapi juga kemampuan menyampaikan ide dan komunikasi yang baik. Untuk itu Romi menyarankan mahasiswa untuk lebih aktif lagi bergabung dengan berbagai komunitas di kampus.
“Saya melihat tidak hanya specialist geek saja yang akan lahir nantinya, namun juga versatilist yang mampu menyampaikan ide mereka dengan baik,” kata Romi.