Kehadiran Airbnb dan Uber yang membawa konsep sharing economy mampu menginspirasi banyak orang di dunia untuk mereduplikasinya ke industri yang lain. Begitu pula di Indonesia, startup yang kini sudah menyandang status unicorn mayoritas menjalankan konsep ini sebagai basis bisnisnya.
Seperti apa peluang dan tantangannya bagi startup baru yang tertarik dengan ke konsep ini? Dalam menjawab pertanyaan ini, #SelasaStartup edisi kali ini mengundang Co-Founder dan CEO Titipku Henri Suhardja. Titipku adalah startup asal Yogyakarta yang menyediakan jasa personal shopper yang bisa membelanjakan kebutuhan konsumen di area mereka.
Model bisnis Titipku
Henri menjelaskan, konsep bisnis Titipku cukup sederhana. Konsumen dihubungkan dengan personal shopper untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dari toko sekitar konsumen. Konsep ini berbeda dengan situs marketplace yang di dalamnya juga menyediakan penjual yang menjajakan produk tersier.
“Bahkan kami lebih spesifik. Di Indonesia ada puluhan juta UKM konvensional yang belum gabung ke online karena mereka sulit untuk proses registrasi, menggunakan aplikasinya, dan sebagainya.”
Karena Titipku hanya bermain di produk kebutuhan sehari-hari, kelebihan inilah yang menjadi pembeda antara perusahaan dengan unicorn seperti Grab atau Gojek. Kendati permodalan Titipku tidak sebesar kedua perusahaan tersebut, tapi perusahaan mampu terus ekspansi dari 2017 hingga sekarang.
Ekspansi Titipku terbilang lebih sistematis dan tidak asal tembak. Perusahaan menargetkan dalam satu minggu dapat masuk ke satu kecamatan. Sebelum memilih lokasi tersebut, perusahaan membandingkan tingkat penawaran dan permintaan masing-masing kabupaten di dalam satu kota.
“Kami menjalankan ekspansi dengan cara beda dengan unicorn karena kami harus lebih bijak. Di satu kabupaten, kami riset titik mana yang paling potensial yang kami masuki.”
Model bisnis ini sebenarnya tidak langsung muncul begitu saja. Lewat proses pembelajaran, akhirnya menemukan product market fit tepat pada awal tahun kemarin sebelum pandemi. Awalnya Titipku masih memakai validasi dengan konsep nasional, seperti marketplace pada umumnya.
Tapi ketika awal tahun kemarin, menerapkan konsep hyperlocal untuk menjangkau usaha mikro yang menjual produk sehari-hari karena ingin menyasar warga sekitar. Ia mengaku sangat beruntung dengan keputusan tersebut karena Titipku menjadi startup yang meraup berkah dari pandemi. Pasalnya, dengan konsep ini secara psikologis, konsumen tentu lebih suka belanja di toko di sekitarnya karena sudah mengenalnya. “Bila ini [model bisnis] belum diganti, pasti kita akan kesulitan [berkembang].”
Diklaim pendapatan perusahaan mampu menutupi variable cost-nya, dikembangkan kembali untuk mendukung perkembangan perusahaan. Sepanjang tahun lalu, Titipku mampu menambah 31 ribu pedagang yang masuk ke Titipku. Hal ini tercapai berkat kinerja dari sekitar 7 ribu ‘penjelajah’ (istilah untuk pengguna aplikasi yang mengunggah informasi UKM yang ditemui).
Titipku juga telah membentuk 47 pasar digital yang berisi 1219 pedagang di dalamnya. Ke-47 pasar digital tersebut adalah pasar tradisional yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Selain itu, perusahaan mencatat pertumbuhan omzet lebih dari 700% yang didukung peningkatan transaksi per bulan rata-rata mencapai 80%.
Ambil pendekatan sesuai budaya
Titipku sejauh ini baru beroperasi di dua lokasi, Yogyakarta, dan sebagian Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara). Menariknya, cerita di balik ekspansi ke Jakarta terjadi karena ketidaksengajaan. Henri menceritakan, ia berada di Jakarta Barat ketika pemerintah memutuskan PSBB pada pertama kali di Maret 2020.
“Rekan saya, Ong Tek Tjan kebetulan tinggal di Kelapa Gading. Jadi kami berdiskusi lagi untuk masuk ke pasar. Saya sendiri yang menjelajah Pasar Tomang Barat, padahal awalnya tidak tahu daerah sama sekali. Akhirnya, Juni 2020 mulai growing dan satu per satu rekrut tim lapangan, akhirnya buka kantor cabang di sini.”
Penetrasi internet di Yogyakarta dengan Jakarta cukup berbeda. Pedagang di Jakarta sudah familiar dengan aplikasi di smartphone dan cara transfer, sehingga tidak perlu edukasi yang masif. Sementara, di Yogyakarta tidak demikian, namun keingintahuan masyarakatnya sangat tinggi terhadap sesuatu yang baru.
Dari sini, perusahaan belajar untuk menyesuaikan strategi pemasarannya. Di Jakarta, perusahaan memilih untuk pemasaran dengan kanal digital untuk menciptakan transaksi baru. Sementara, di Yogyakarta masih ada proses turun ke lapangan untuk menemui langsung konsumen.
Apalagi, saat perusahaan berusaha mendapatkan 100 pengguna awalnya, tidak langsung membuat aplikasi. Melainkan mendatangi langsung pedagang dan konsumen untuk mencari tahu titik masalahnya, ketimbang ujug-ujug langsung membuat aplikasi.
“Kita lakukan semuanya bertahap, mulai pakai brosur, hanya pakai media sosial, kontak WhatsApp, dan telepon. Setelah dapat 100 konsumen, kita jadi tahu profile konsumen seperti apa agar strategi berikutnya dapat tepat sasaran.”