7 February 2023

by DNA #Cohort1

Menavigasi Tantangan Regulasi untuk ChatGPT di Indonesia

Beberapa poin terkait penggunaan AI di Indonesia sudah dibahas dalam UU ITE, tapi masih jauh dari kata komprehensif

Jika Anda terkejut akan betapa cepatnya ChatGPT meraup kepopulerannya, Anda tidak sendiri. Bahkan, para eksekutif di OpenAI, perusahaan di balik chatbot viral ini sendiri, dikejutkan oleh ketenarannya. Menurut sebuah studi dari firma analitik UBS, chatbot yang diluncurkan pada bulan November tahun lalu ini mampu menjangkau lebih dari 100 juta pengguna aktif hanya dalam kurun waktu dua bulan semenjak dirilis, dan ini menjadikannya sebagai aplikasi dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah.

Bagaimana tidak meroket tinggi? Bot pintar ini telah menunjukkan kegunaannya dengan merespons permintaan dan input pengguna melalui teks percakapan dalam berbagai jenis penggunaan, mulai dari menulis cerita pendek, makalah, kode dasar pemrograman, hingga memecahkan persoalan matematika.

Merujuk hal di atas, artificial intelligence (AI) kini bukan lagi hanya skenario dan angan-angan belaka, tetapi alat yang sangat berdampak pada kehidupan manusia. Ini mengundang diskusi tentang bagaimana hal ini menarik, tetapi berpotensi bermasalah pula jika digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Salah satu implikasi negatif yang paling memungkinkan terjadi adalah mahasiswa menyalahgunakan ChatGPT ini dalam mengerjakan penugasan akademik (Hutson, 2022). Bahkan, peneliti dapat mengarang teks ilmiah menggunakan ChatGPT, sebab bilas diberikan instruksi yang memadai, bot ini mampu memproduksi abstrak teks ilmiah (Else, 2023).

Dalam sebuah wawancara dengan Time, Mira Murati selaku Chief Technology Officer OpenAI menyampaikan kekhawatirannya terkait AI yang dapat disalahgunakan dan “digunakan oleh aktor jahat.” Ia juga menambahkan bahwa belum terlambat bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam pembuatan regulasi AI.

Tantangan tersebut sejatinya menggambarkan situasi di dunia nyata yang akan dihadapi Indonesia juga ke depannya, yakni penerapan AI secara bermanfaat di Indonesia dengan memperhatikan nilai etis, aturan, dan implikasinya. Untuk dapat mempraktikkan hal tersebut, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menerbitkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045.

Namun, tatanannya masih dalam tahap pemahaman kebijakan secara umum dan belum mengatur secara rinci. Dengan begitu, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sistem regulasi terkait penggunaan AI yang saat ini berlaku di Indonesia. Apa saja tantangan sistem regulasi AI di Indonesia, dan bagaimana menjawab tantangan tersebut?

Sistem regulasi penggunaan AI di Indonesia

Adapun sistem regulasi terkait penggunaan AI di Indonesia jika dianalisis lebih dalam telah dibahas beberapa dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tetapi masih belum jelas dan komprehensif. AI sesungguhnya masuk dalam definisi Agen Elektronik jika mengacu pada karakteristiknya, yaitu otomatisasi pengolahan informasi. Ini berarti semua kewajiban hukum dan tanggung jawab hukum dari Agen Elektronik tertanam pada penyedia perangkat AI.

1. Pasal 21 UU ITE

Pasal ini mengatur tentang agen elektronik saat pelaksanaan transaksi elektronik. Dalam peraturan tersebut, penyelenggara agen elektronik secara esensial dipandang sebagai penyelenggara sistem elektronik karena agen elektronik sendiri merupakan bentuk dari penyelenggaraan sistem elektronik.

Oleh karena itu, semua hak dan kewajiban penyelenggara sistem elektronik berlaku pula bagi penyelenggara agen elektronik. UU ITE juga menyatakan bahwa penyelenggaraan AI (Agen Elektronik) di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh pihak pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Maka dari itu, pertanggungjawaban hukum atas penyelenggaraan jasa AI akan ditanggung oleh penyelenggara sistem elektronik yang menyelenggarakannya.

2. UU ITE dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 sebagai turunan dari UU ITE

PP ini mengatur batasan kewajiban dan pertanggungjawaban penyelenggara Agen Elektronik, salah satunya adalah menyediakan fitur yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan perubahan informasi selama proses transaksi.

Tanggung jawab agen elektronik sebenarnya sudah diatur pula, termasuk kewajiban untuk merahasiakan data, mengendalikan data pribadi pengguna, menjamin privasi pengguna, dan menyampaikan informasi terkait sistem yang digunakannya sehingga tidak merugikan pengguna.

Tantangan sistem regulasi di Indonesia

Di samping upaya besar yang dilakukan pemerintah Indonesia, sangat disayangkan karena regulasi yang sudah ada masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Kajian SWOT Nasional Indonesia untuk Kecerdasan Artifisial menyatakan bahwa regulasi AI di Indonesia masih belum memiliki instrumen peraturan yang mengatur etika dan kebijakan pengembangan dan pemanfaatan kecerdasan artifisial yang bertanggung jawab di Indonesia.

Berkaca pada tantangan yang dihadapi dan penganggulangan implikasi negatif yang paling memungkinkan pada penggunaan AI seperti ChatGPT, maka dibutuhkan implementasi strategi nasional untuk etika dan kebijakan. Hal tersebut meliputi penguatan hukum untuk menindak penyalahgunaan teknologi, penguatan hukum untuk menindak penyalahgunaan data privasi, pendirian Dewan Etika Data dan Kecerdasan Artifisial Nasional yang mengawasi pemanfaatan AI secara bertanggung jawab di masyarakat, dan political will dari eksekutif dan legislatif dalam melaksanakan dan mengawasi peraturan yang sudah ditetapkan.

Menciptakan etika dan regulasi yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang untuk ChatGPT tidaklah mudah. Namun, hal ini penting untuk dilakukan dalam memastikan ChatGPT di Indonesia tidak berkembang tanpa aturan, sekaligus memastikan bahwa semua pengguna mematuhi peraturan.

Perlu digarisbawahi juga bahwa dalam pelaksanaannya, pembuatan regulasi ini membutuhkan kolaborasi yang baik antar pemerintah, industri, dan masyarakat untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan secara bertanggung jawab dan menguntungkan bagi semua pihak.

Untuk itu, jika ada banyak pelanggaran dalam regulasi yang sudah ditetapkan oleh UU ITE, maka perlu dilakukan revisi regulasi melalui Peraturan Pemerintah dengan melibatkan pihak terkait seperti BPPT, Kominfo, Perguruan Tinggi, dan lain sebagainya. Dengan demikian, menavigasi tantangan regulasi untuk ChatGPT di Indonesia diharapkan bisa tercapai.

Artikel ini ditulis oleh Brigitta Mery Rosarie Eufra Nilapaksi, alumni program DNA #Cohort1 yang digagas oleh DailySocial.