Belum semua sepakat bahwa teknologi blockchain mampu merevolusi dunia di masa depan. Sejumlah negara masih apatis terhadap blockchain, karena minimnya pengetahuan dan belum adanya keterbukaan terhadap teknologi baru.
Eropa mengambil langkah penting demi memastikan teknologi blockchain dapat dinikmati di seluruh dunia. Maka dari itu, April lalu 22 negara di Eropa kompak menandatangani deklarasi European Blockchain Partnership sebagai medium pertukaran ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Kolaborasi awal mereka diwujudkan dengan meluncurkan Asia Blockchain Hub untuk mengeksplorasi berbagai potensi di kawasan ini. Asia Blockchain Hub diresmikan di Kuala Lumpur, Malaysia, dan berada di bawah naungan European Blockchain Hub yang dibentuk pada 22 Mei 2018.
Dalam konferensi pers yang dihadiri DailySocial di Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (21/7), Advisory Member European Blockchain Hub dan perwakilan Asia Blockchain Hub, Rex Yeap menyebutkan Malaysia dipilih sebagai hub Asia karena potensinya saat ini dinilai mengungguli negara-negara lain di kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara.
“Asia Blockchain Hub menjadi medium untuk mempertemukan startup, investor, dan pemerintah; serta mempromosikan dan mentransfer pengetahuan dari pelaku blockchain di Eropa, dan mendorong penggunaan aset digital hingga ke seluruh dunia,” tutur Yeap.
Pihaknya akan mengeksplorasi negara-negara di Asia dan bertatap muka dengan para multi stakeholder, tak terkecuali di Indonesia. “Indonesia termasuk dalam roadmap kami. Memang belum ada rencana konkret, tapi saat ini kami sedang set up untuk bertemu dengan pemerintah setempat,” ujarnya.
Sesuai misinya di awal, ujar Yeap, pihaknya akan menyambangi negara-negara di kawasan Asia untuk menggelar konferensi, training, atau workshop. Negara yang akan menjadi lawatan pertama Asia Blockchain Hub adalah Bangkok, Thailand, pada 28-29 Juli 2018.
Sementara, President of European Blockchain Hub, Blaz Golub menambahkan, ide utama dari eksplorasi negara ini tak hanya sebatas berbagi informasi dan pengalaman seputar blockchain, tetapi mengidentifikasi use case menarik yang memungkinkan untuk diimplementasikan di masa depan.
“Niat kami menggelar konferensi blockchain di Eropa, makanya kami ingin sekali membawa perwakilan di Asia untuk hadir. Saya melihat 22 negara ini mau bersatu untuk duduk bersama untuk cari tahu apa yang ingin dilakukan selanjutnya,” jelas Golub.
Dalam hal ini, hub yang dimaksud adalah platform yang nantinya akan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari Non-governmental Organization (NGO), pelaku usaha, korporat hingga akademisi.
Asia Blockchain Hub membawa segudang misi untuk memastikan teknologi blockchain dapat diimplementasikan secara merata di seluruh dunia, dan setiap negara dapat saling berkolaborasi di masa depan.
Selain sebagai moda edukasi, Asia Blockhain Hub juga bertujuan untuk membuka wawasan pasar terhadap manfaat teknologi ini. Golub menyayangkan selama ini teknologi ini masih diasosiasikan sebagai produk cryptocurrency saja.
“Blockchain akan membantu banyak kaum milenial untuk mengembangkan produk dan goal-nya, termasuk mencari model bisnis baru. Banyak tantangan industri yang masalahnya dapat diselesaikan dengan teknologi ini, dengan menghasilkan sebuah transparansi,” katanya.
Untuk saat ini, Eropa dapat dikatakan sebagai kiblat industri blockchain mengingat sebagian besar negaranya telah mengadopsi blockchain untuk kebutuhan bisnis hingga pemerintahan. Beberapa negara seperti, Slovenia, Swiss, dan Estonia termasuk negara yang menjadi pionir di industri blockchain.
“European Blockchain Hub bertujuan juga untuk membawa proyek-proyek yang bagus ke dan dari Eropa hingga ke seluruh dunia. Swiss, misalnya, saat ini melakukan berbagai hal dengan meng-enable environment untuk menarik proyek ICO dari luar negeri,” jelas Golub.
Standar internasional blockchain masih sulit terealisasi
Dalam paparannya, Yeap dan Golub mengungkapkan tantangan yang kerap dihadapi di industri yang masih baru ini, baik di Eropa maupun Asia. Hal ini juga menyulitkan dalam membuat standar regulasi blockchain.
Yeap berujar bahwa kurangnya edukasi terhadap teknologi blockchain juga menghambat pertumbuhan perkembangannya. Ia mencontohkan, siapapun kini dapat mengklaim sebagai ahli blockchain tanpa tahu benar atau tidak.
“Ini alasan hub memiliki peran penting. Kami tidak mengklaim sebagai ahlinya, namun kami mengumpulkan orang berpengalaman untuk berbagi pengetahuan dan berdiskusi dengan pemerintahan,” kata Yeap.
Menurutnya, hal ini juga yang menjadi alasan mengapa kawasan Asia dipilih sebagai perhentian berikutnya setelah Eropa. “Karena pasar dan orang-orangnya sangat passionate dengan blockchain. Kita tahu blockchain kini menciptakan banyak lapangan pekerjaan, generasi muda mendominasi.”
Sementara Golub berujar bahwa industri blockchain masih di fase awal sehingga belum semuanya diregulasi. Hal ini juga yang memunculkan banyak scam pada bisnis blockchain.
Namun di sisi lain, sejumlah negara di Eropa justru memanfaatkan hal ini untuk menarik minat dan proyek sebesar-sebesarnya dari investor luar. Misalnya, lewat proyek Initial Coin Offerings (ICO). Akan tetapi, setiap negara akan memiliki pendekatan berbeda-beda.
“Kalau bicara soal standar internasional untuk blockchain sepertinya sulit, karena situasi saat ini sedang ada big crisis. Saya rasa akan susah untuk mau duduk bersama. Justru bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok, dan India bisa secure environment untuk (buat) standar internasional.”