Seperti kita ketahui bersama, media sosial menjadi sesuatu yang sangat bombastis dan masif berkembang di abad ke-21. Berbagai kalangan turut andil dalam meramaikan portal pergaulan di Internet ini, termasuk kalangan enterprise. Berdasarkan hasil survei yang dirilis Proskaeur dalam publikasinya yang berjudul “Social Media in the Workplace Around the World 3.0” menunjukan bahwa 90 persen dari perusahaan yang ada memanfaatkan media sosial untuk tujuan bisnis. Rata-rata perusahaan menggunakannya untuk mempromosikan organisasi serta meningkatkan komunikasi internal.
Berbicara mengenai media sosial untuk lingkup enterprise memang akan bisa ditemui banyak manfaat baik, bahkan dewasa ini media sosial juga dilibatkan dalam proses perekrutan, termasuk untuk penelitian tentang individu calon karyawan. Namun dibalik berbagai manfaat yang ada media sosial juga memberikan dampak negatif yang harus diperhitungkan. Salah satunya adalah hasil survei Proskaeur yang menyatakan penggunaan media sosial di perusahaan meningkat cenderung mengakibatkan interaksi sosial di tempat kerja menurun.
Untuk menanggulanginya sebanyak 36 persen perusahaan yang disurvei memilih untuk memblokir akses ke situs media sosial di tempat kerja, angka ini naik dari tahun 2012 dimana saat ini persentasenya masih 29 persen. Memang tak jarang kita menemui isu-isu di media sosial yang kaitannya dengan profesi, seperti pemecatan karena ocehan di media sosial hingga saling hujat di media sosial.
Penelitian dari Evolv juga mengungkapkan korelasi penggunaan media sosial di kantor dengan produktivitas pekerja. Hasil yang didapat dengan beristirahat sejenak untuk berselancar di media sosial dapat membantu karyawan menyegarkan kepala mereka dan lebih bugar dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Membuat kebijakan media sosial di perusahaan mungkin bisa memnyeimbangkan antara penggunaan media sosial di kantor dengan produktivitas. Di sini perlu didefinisikan dengan jelas apa yang boleh dilakukan dan tidak dalam penggunaan media sosial. Pasalnya ketika mereka menyertakan identitas pekerjaan di dalamnya, otomatis juga bisa berdampak baik citra perusahaan. Sering kita temui, pendapat pribadi seorang staf kantor dinilai sebagai pandangan yang mewakili kantor tersebut. Adanya kontrol (yang tidak terlalu mengekang) setidaknya dapat membantu menjaga citra perusahaan di mata publik.
Ada kalanya perusahaan juga perlu berinvestasi untuk mendatangkan profesional yang paham betul tentang pengembangan mental karyawan sehingga mampu memanfaatkan media sosial dengan relevan serta bagaimana menghindari penyalahgunaan kekuasaan sosial yang sering berakibat negatif. Membuat karyawan tahu diri menjadi kewajiban perusahaan karena kesalahan fatal jika membiarkannya menghabiskan lebih banyak waktunya di media sosial ketimbang memikirkan masalah produktivitasnya. Meskipun demikian, adanya akses ke sosial media untuk sekedar bercakap singkat dengan rekan atau melihat isu terbaru memang perlu diberikan.
Untuk kebutuhan internal kantor sendiri disarankan untuk menggunakan media sosial kolaboratif yang memang didesain untuk kebutuhan enterprise seperti Yammer, Incentive, atau produk lainnya sehingga benar-benar dipisahkan antara suatu percakapan sosial pribadi dan profesional.
Beberapa ulasan diatas mungkin bisa menjadi pertimbangan sebelum kebijakan perusahaan untuk memblokir media sosial di kantor direalisasikan. Evolusi yang ada tidak harus selalu dihindari, tetapi disikapi dan diadaptasi sesuai dengan porsinya.
[Ilustrasi gambar: Shutterstock]