Implementasi big data atau himpunan data dalam jumlah besar umumnya lebih sering ditujukan untuk kebutuhan bisnis. Dewasa ini, big data banyak dijadikan sebagai salah satu penentu dalam pengambilan keputusan bisnis.
Berbicara dalam scope yang lebih luas, big data tak hanya diandalkan semata-mata untuk itu. Big data dapat diaplikasikan pada jenis usaha yang dapat memberikan perubahan lebih baik terhadap masyarakat.
Apalagi saat ini Indonesia memiliki populasi 268 juta, di mana terdapat 355 juta mobile subscriber dan 150 juta pengguna internet. Ini akan mengarah pada semakin besarnya spending data dari berbagai sektor di masa depan.
Co-founder dan CEO Volantis Bachtiar Rifai pada sesi #SelasaStartup kali ini akan mengulas lebih dalam tentang bagaimana big data dapat memberikan dampak sosial yang lebih luas.
Volantis sendiri adalah startup hasil ekspansi Kofera Technology, startup penyedia platform otomasi pemasaran di Indonesia.
Dimulai dari perencanaan dan sinkronisasi data
Bachtiar membuka ceritanya dengan menggambarkan situasi saat ini, di mana kehadiran internet dan produk turunannya telah meningkatkan status sejumlah masyarakat (society) di Indonesia.
Misalnya, dari yang tadinya unbankable, kini sudah memiliki akses ke ragam layanan digital. Bahkan golongan ini juga sudah bisa membeli barang dengan cicilan kartu kredit.
Dalam kaitannya dengan big data, Bachtiar menilai teknologi tersebut dapat memberikan nilai tambah dalam kehidupan masyarakat kecil, seperti petani.
Ia mencontohkan bagaimana petani di Indonesia tidak pernah diberitakan secara positif. Yang terjadi, petani sering kali mengalami kesusahan karena produknya tidak laku.
Belum lagi sering terjadinya miskoordinasi antara supply dan demand. Pemerintah justru membuat kebijakan impor, padahal banyak petani panen di sejumlah daerah di Indonesia.
Menurutnya, hal di atas terjadi karena pemerintah tidak sepenuhnya data-driven sehingga ada banyak informasi di lapangan yang tidak terdata dengan baik. Contohnya, belum ada informasi mengenai kapan petani panen hingga waktu yang tepat bagi petani untuk mendistribusikan hasil panennya.
“Ini bisa terjadi karena tidak ada big data [dan turunannya], yakni artificial intelligence (AI) dan machine learning. Tidak ada sinkronisasi data. Masalah ini tidak sulit, tapi memerlukan niat dan koordinasi dari semua stakeholder BUMN,” ungkapnya.
Memiliki data-driven policy
Bachtiar menilai perencanaan dan sinkronisasi data dapat diterapkan dengan adanya kebijakan tentang integrasi data (data-driven policy). Malahan, big data juga digunakan untuk membuat kebijakan baru di masa depan.
Tentu saja, dalam jangka panjang, kebijakan yang dihasilkan dari big data diharapkan dapat memberikan dampak terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia.
“Tanpa ada data, [kita] tidak bisa eksperimen. Justru data akan membantu kita untuk eksperimen, dan dengan machine learning kita bisa membuat kebijakan,” tambahnya.
Membudayakan data mindset
Tentu saja, elemen paling mendasar yang perlu dilakukan untuk mencapai hal-hal di atas adalah membudayakan data mindset dan keterbukaan data (data sharing).
Menurut Bachtiar, kedua elemen tersebut akan mempermudah integrasi data antara institusi dan industri yang selama ini dinilai masih tercerai-berai.
“Ini menjadi pekerjaan rumah paling sulit bagi kita. Dan hal ini tidak mungkin diselesaikan oleh satu generasi. Ini harus dimulai dari sekarang,” ungkap Bachtiar.
Pemerintah menjadi enabler
Pemerintah juga dituntut berperan sebagai enabler dengan membudayakan keterbukaan data dalam sistem pemerintahannya agar ekosistem dapat tercipta.
Saat ini, pemerintah memang sudah mengambil perannya dengan membangun situs data.go.id. Situs ini menjadi pusat dari beragam data, seperti infrastruktur dan indeks kemiskinan. Namun ia menilai pengelolaannya tidak optimal karena data yang ditampilkan tidak up-to-date.
“Seharusnya proyek tersebut bisa terus berjalan karena kehadiran data-data di atas dapat mendorong data-driven society. Data bisa diutilisasi dalam penentu kebijakan, di mana ini juga akan berpengaruh ke masyarakat,” paparnya.