Diakui saat ini, skala industri game Indonesia belum sebesar di Tiongkok ataupun Jepang. Bagi sebagian pihak, industri game lokal kita juga belum dianggap menarik seperti bisnis-bisnis digital lainnya.
Indonesia memang salah satu gudang gamer terbesar di dunia. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia juga melahirkan sejumlah pengembang game terkemuka dengan game buatan lokal yang tak kalah saing dari luar.
Seperti apa gambaran industri game di Indonesia saat ini? Apakah kita mampu mendunia dan bersaing dengan pemain global?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, di sesi #SelasaStartup kali ini DailySocial menghadirkan topik menarik seputar industri game yang dibawakan CEO dan Co-Founder Agate Arief Widhiyasa.
“The next dopamine industry“
Bagi Arief, industri game dapat diibaratkan sebagai industri dopamin atau industri yang produknya dapat dinikmati orang. Industri film dan musik juga termasuk di dalamnya.
Dopamin sendiri merupakan senyawa penting dalam tubuh yang dapat menciptakan perasaan senang dan memotivasi. “Saat main game, hormon-hormon kebahagiaan keluar,” candanya.
Bicara skala, ia menilai industri game sudah melampaui produk hiburan lain, seperti industri film. Sebagai perbandingan, ungkapnya, nilai industri game di 2017 telah mencapai $108,9 miliar, hampir tiga kali lipat dari industri film yang sebesar $40,6 miliar.
“Saya meyakini industri game bakal menjadi the next huge dopamine industry ke depannya,” tutur Arief.
Apalagi, industri game telah berevolusi sejak 2015. Industri game tidak lagi melulu pada produk konsol dan PC yang cenderung tak praktis dan lebih mahal. Kehadiran smartphone memunculkan potensi lebih besar terhadap pertumbuhan industri game.
Selain itu, lanjutnya, definisi game kini telah berkembang luas dan telah diadopsi lintas industri, mulai dari militer hingga kesehatan. Ada banyak kasus pemanfaatan game untuk kebutuhan simulasi, seperti operasi jantung dan latihan menembak.
Industri hit-driven tetapi dikuasai asing
Kendati demikian, industri game juga memiliki dua sisi mata uang. Menurut Arief, industri game dikatakan sebagai industri yang hit-driven karena penjualannya bisa meraih return sangat besar, tetapi bisa juga sebaliknya.
“Kalau ada sepuluh game, satu produk bisa mendapat return 100 kali, sedangkan sembilan lainnya tidak mendapat return sama sekali. Ini bisa menjadi masalah,” ujarnya.
Di samping itu, industri game di Indonesia juga dihadapi oleh kekuatan pasar asing sehingga sulit untuk bersaing. Ia mengungkap pangsa game lokal hanya berkisar 0,4 persen atau setara Rp45 miliar dari total pasar game Indonesia.
Nilai investasi yang dikucurkan untuk industri game di Indonesia juga hanya $2 juta atau Rp30 miliar per tahun, tertinggal jauh dari Tiongkok yang sudah mencapai $5 miliar per tahun.
“Pasar kita dikuasai asing karena belanja [investasi game] di Indonesia rendah. Ada mismatch yang terjadi di lapangan dengan yang diyakini investor. Mereka belum aware dan yakin dengan industri ini,” katanya.
Perkuat ekosistem dari bawah ke atas
Permasalahan tak hanya soal investasi. Dalam pengalamannya membangun Agate, Arief dihadapkan pada minimnya jumlah pengembang atau talenta di bidang ini. Dengan kata lain, Indonesia mengalami kekurangan talenta.
Ia membandingkan jumlah pengembang game di Indonesia yang masih kalah jauh dengan negara-negara di Asia. Indonesia tercatat memiliki 1.200 pengembang, masih tertinggal jauh dari Tiongkok (250 ribu), Korea Selatan (95 ribu), dan Vietnam (10 ribu).
“Kalau mau scale [up] di sini sulit karena jumlah pengembang game sangat terbatas. Jadi secara ekosistem, kita kalah karena jumlah investor kurang, game company sedikit, dan talenta kurang. Ini jadi PR kita bersama. Kalau mau ekosistem besar harus bisa solve dari bawah,” jelasnya.
Kerja keras untuk mengejar kualitas
Tak kalah penting, Arief menekankan pentingnya mengejar kualitas di industri ini. Menurutnya, industri game berbeda dengan perusahaan teknologi atau startup.
Karena dalam hal ini, game tidak lagi dilihat oleh konsumen sebagai produk lokal atau global. Namun, lebih kepada game apa yang disukai dan berkualitas. Dengan kata lain, pengembang lokal harus bisa mengejar kualitas dari pemain global.
“Dari awal, kita harus bisa kejar kualitas sebagus-bagusnya. Masalahnya, kita tidak punya bekal untuk meraih itu. Caranya tidak ada, cuma perlu bekerja keras. Di Agate, kami bekerja 90 jam seminggu, dari jam 8 pagi hingga 11 malam selama enam hari.”