Bagi kebanyakan perusahaan, melakukan initial public offering (IPO) merupakan momen yang diidam-idamkan. Namun dalam industri yang ditenagai oleh teknologi dan inovasi yang serba cepat, IPO bukanlah satu-satunya jalan menuju exit yang indah bagi sebuah startup.
Dalam strategi exit untuk startup, setidaknya ada dua cara populer yakni merger dan akuisisi (M&A) dan IPO. Masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangan.
Dari keduanya, embel-embel IPO cenderung lebih melekat dengan kesan sukses dan lebih dikenal orang awam. Bahkan di Amerika Serikat ada semacam slogan optimis nan pragmatis yang berbunyi: We’ll raise a few rounds and in a few years we’ll IPO on Nasdaq (kita kejar segelintir babak pendanaan dan beberapa tahun lagi kita IPO di Nasdaq).
IPO
Melantai di bursa saham kerap identik dengan kesuksesan. Ini tak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya salah. Sebagai metode mengumpulkan dana, menjadi go public bisa disebut cara terbaik.
Meski tidak sepenuhnya berjalan mulus, IPO yang ditempuh Facebook pada Mei 2012 silam berhasil memperoleh dana bernilai US$16 miliar atau Rp226,6 triliun. Itu merupakan IPO ketiga terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah AS. IPO dari Facebook itu dapat dimaknai bahwa sesulit apa pun jalan menuju IPO, uang yang terkumpul tetap sangat besar.
Dengan dana hasil IPO, sebuah startup dapat ekspansi ke level lebih tinggi. Namun di samping potensi mengantongi uang yang sangat besar, IPO juga punya tantangan lain meski perjalanan menuju lantai bursa tidaklah mudah.
Pertama, penjualan saham perdana mensyaratkan laporan finansial yang rapi, konsisten, dan sudah teraudit. Dokumen seperti akta pendirian PT, anggaran dasar, persetujuan kementerian, surat izin usaha perdagangan, dan lainnya, wajib dipersiapkan. Apa yang terjadi pada WeWork bisa menjadi pelajaran penting bagaimana pentingnya laporan keuangan perusahaan sebelum IPO.
Tantangan kedua adalah tekanan pasar. Ketika sebuah perusahaan memilih go public, maka performa mereka akan dilihat lekat-lekat per tiga bulan. Pasar saham cenderung berorientasi pada profit dan jangka pendek. Tak peduli prospek perusahaan dalam jangka panjang, kalau performa tiap kuartal tak memuaskan hampir bisa dipastikan harga sahamnya akan turun dan begitu juga sebaliknya.
Ketiga dan salah satu tantangan terbesar dari IPO adalah potensi terdepaknya pendiri perusahaan. Ini masih beririsan dengan tekanan pasar. Para investor tentu ingin perusahaan bergerak sesuai kepentingannya. Dan saat terbuka, perusahaan akan mendapat tekanan hebat agar membuat keputusan yang menguntungkan bagi para investor sekalipun tak sesuai keinginan atau visi para pendiri perusahaan.
Tantangan terakhir untuk melakukan IPO adalah biaya persiapannya yang tidak murah. Sebelum IPO, perusahaan wajib menyiapkan berbagai hal dengan menggandeng sejumlah pihak mulai dari kantor legal, auditor, serta penjamin emisi. Ongkos untuk membayar jasa mereka tentu tidak murah. Namun positifnya, pemerintah Indonesia punya insentif pajak bagi badan hukum yang memilih IPO. Perusahaan akan memperoleh insentif pengurangan pajak sebesar 5 persen menjadi 20 persen jika melantai ke bursa. Diskon itu bisa bertambah 3 persen bagi perusahaan yang melakukan IPO jika RUU baru tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan diloloskan DPR.
Merger dan akuisisi
Merger dan akuisisi (M&A) adalah proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan. Kerap kali proses M&A jauh lebih sederhana ketimbang proses melakukan IPO.
Riset CB Insights menemukan pada 2016 ada 3.358 startup teknologi yang melakukan exit dan 97 persen di antaranya memilih M&A. Mereka yang memilih IPO sebagai jalan keluar tercatat hanya 98 saja. Ini mewakili pernyataan bahwa M&A lebih praktis ketimbang IPO.
Tren di Indonesia pun serupa. Startup yang mengambil aksi M&A masih lebih besar ketimbang mereka yang memilih melantai di bursa saham. Startup Report 2018 dari DailySocial menunjukkan sepanjang tahun lalu startup yang melakukan M&A sebanyak 12 perusahaan, sedangkan mereka yang mengambil IPO 4 perusahaan saja.
Pada dasarnya M&A adalah cara memaksimalkan efisiensi dan meredam potensi disrupsi terhadap bisnis. Ini dapat terlihat dari akuisisi Grab terhadap bisnis Uber di Asia Tenggara pada tahun lalu. Dengan mencaplok Uber, Grab otomatis kehilangan kompetitor di pasar Asia Tenggara dan hilangnya kompetisi berarti Grab tak lagi harus bakar uang untuk perang tarif, yang ujungnya pendapatan perusahaan bisa meningkat.
Contoh dari dalam negeri ada dari konsolidasi yang dilakukan startup SaaS Mekari. Terciptanya Mekari ini diawali ketika Sleekr melakukan aksi M&A terhadap Talenta, Jurnal, dan Klikpajak tahun lalu. Konsolidasi ini lantas berpengaruh pada bisnis Mekari yang diperkirakan tumbuh empat kali lipat.
Salah satu manfaat dari M&A, yang kadang juga jadi motivasi, adalah mendapatkan sumber daya manusia yang diinginkan. Mendapatkan SDM baru yang berprestasi di bidangnya merupakan modal untuk meningkatkan performa perusahaan. Ini persis seperti yang dilakukan oleh Bukalapak terhadap Prelo.
Meski Bukalapak mengaku tidak mengakuisisi Prelo, namun mereka mengonfirmasi bahwa mereka melakukan akuisisi talenta Prelo. Salah satu di antaranya adalah Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana yang ditarik sebagai Head of Business.
Kendati demikian, masih ada tantangan yang perlu dicermati oleh para penggiat startup tentang opsi M&A. Berikut beberapa di antaranya:
Pertama adalah utang yang dapat berlipat ganda. Utang adalah hal wajar dalam keuangan startup. Namun ini dapat menjadi masalah cukup serius ketika startup yang terlibat M&A punya utang yang tak sedikit. Nominal utang hasil kombinasi ini dapat mengganggu arus kas perusahaan.
Kedua adalah budaya startup yang berbeda. Menggabungkan dua perusahaan sama saja seperti perkawinan dua keluarga. Masing-masing memiliki kultur perusahaan yang berbeda yang berpotensi jadi kerikil dalam operasional perusahaan jika tak diselesaikan segera.
Berikutnya adalah proses untuk M&A yang kadang tidak sebentar. Butuh waktu untuk menyatukan persepsi sejumlah pihak yang ingin melakukan M&A sampai mencapai kata sepakat. Khusus untuk merger, persyaratan dan formalitas hukum yang harus dijalani lebih banyak karena proses ini membentuk perusahaan baru.