Dark
Light

Mematahkan Persepsi Bias Eksistensi Wirausahawan Perempuan di Dunia Startup

2 mins read
February 26, 2018
Para narasumber saat sesi diskusi "women in tech" / Alpha JWC Ventures
Para narasumber saat sesi diskusi "women in tech" / Alpha JWC Ventures

Persoalan masih rendahnya jumlah entrepreneur perempuan di dunia teknologi hingga masih minimnya jumlah C-Level perempuan di startup menjadi sorotan yang dibahas tuntas dalam sesi diskusi yang digelar Alpha JWC Ventures.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir nara sumber seperti, Grace Natalia (pendiri situs AsmaraKu), Dayu Dara Permata (SVP GO-JEK, Head of GO-LIFE), Sonia Barquin (Partner, McKinsey&Company), dan Alyssa Maharani (Google Launchpad Accelerator Startup Success Manager) untuk membahas keseimbangan hidup dan karier, bagaimana mendapatkan dukungan untuk maju, hingga bagaimana cara membawa diri di lingkungan kerja yang didominasi laki-laki.

Di hadapan tamu undangan yang kebanyakan adalah mahasiswa dan pelaku startup kalangan perempuan, terungkap bahwa kurangnya kepercayaan diri dan masih belum banyaknya jumlah entrepreneur perempuan yang berhasil menjadi alasan mengapa belum banyak jumlah entrepreneur perempuan di dunia teknologi saat ini.

Keterbatasan dan persepsi yang miring

Dalam sesi diskusi tersebut para nara sumber menjabarkan beberapa tips menarik hingga pengalaman bekerja selama ini. Catatan menarik yang kemudian disimpulkan adalah masih adanya persepsi miring hingga bias di kalangan masyarakat umum yang menyebutkan perempuan tidak memiliki keseimbangan emosi yang baik hingga prioritas perempuan yang pada akhirnya harus kembali menjadi ibu rumah tangga.

Meskipun persoalan tersebut dibantah narasumber yang hadir, namun sulit untuk meyakinkan rekan kerja hingga pihak terkait lainnya (yang kebanyakan adalah kalangan laki-laki) untuk kemudian menempatkan posisi perempuan lebih baik dan memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan rekan kerja laki-laki pada umumnya.

Menurut Dayu Dara Permata, penting bagi calon entrepreneur perempuan untuk menciptakan pencitraan atau branding yang kuat, sebagai entrepreneur perempuan. Selain itu penting juga untuk membangun jaringan yang solid dengan entrepreneur perempuan lainnya.

Sementara itu menurut Grace Natalia, jangan pernah takut untuk mengungkapkan perasaan dan pemikiran kepada atasan, sampaikan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki agar bisa menemukan work life balance yang seimbang.

Kurangnya tokoh entrepreneur perempuan sukses

Meskipun saat ini sudah banyak pendiri startup hingga CEO perempuan, namun belum banyak di antara mereka yang kemudian berhasil memimpin startup. Hal tersebut yang kemudian diklaim Dayu jadi alasan mengapa tidak banyak kemudian perempuan yang tertarik untuk terjun ke dunia teknologi.

“Kurangnya role model tersebut yang pada akhirnya membuat kebanyakan perempuan enggan untuk terjun ke dunia teknologi dan menjalankan bisnis.”

Dalam survei yang dikeluarkan Linkedin disebutkan saat ini jumlah C-Level yang berasal dari kalangan perempuan berjumlah sekitar 17% saja, dibandingkan dengan kalangan laki-laki. Sementara untuk posisi manager hanya 30%, senior manager 27%, VP 25%, SVP 20%. Selebihnya untuk entry level dari kalangan perempuan berjumlah 36%.

Untuk bisa tampil lebih unggul dibandingkan dengan kalangan laki-laki, menurut Alyssa Maharani, perempuan harus memiliki sponsor, dalam hal ini adalah atasan atau senior yang telah memiliki posisi penting di perusahaan namun melihat besarnya potensi atau kemampuan dari Anda, perempuan bekerja atau entrepreneur. Dengan demikian mereka bisa memperjuangkan posisi Anda untuk selangkah lebih maju.

Jika di perusahaan saat ini Anda kesulitan untuk menemukan sponsor atau mentor tersebut, carilah di tempat atau lingkungan lain, seperti yang diungkapkan Sonia Barquin.

Tuntutan komitmen dari investor

Dalam sesi diskusi tersebut turut dibahas survei Google yang menyebutkan kebanyakan investor lebih tertarik untuk mendengarkan pitching dari pendiri startup laki-laki dibandingkan dengan pendiri perempuan, meskipun konten pitching tersebut adalah sama. Selain itu masalah komitmen juga dipertanyakan investor, jika startup yang ada memiliki CEO perempuan.

“Saya melihat investor hanya ingin melihat seberapa baik komitmen dari CEO perempuan. Mereka khawatir kalangan perempuan kemudian sibuk dengan urusan rumah tangga mereka sehingga meninggalkan komitmen awal, menjadi pemimpin di startup,” kata Grace.

Untuk bisa mematahkan persepsi tersebut, entrepreneur perempuan harus bisa memberikan komitmen yang terbaik kepada investor, dengan cara menentukan prioritas saat waktunya mengambil keputusan yang tepat.

“Selama ini perempuan sudah menjadi decision maker di rumah tangga mereka. Hal tersebut tentunya bisa diterapkan saat menjalankan perusahaan,” kata Dayu.

Selama menjalankan profesinya sebagai Google Launchpad Accelerator Startup Success Manager, Alyssa melihat sudah banyak startup yang mendapatkan revenue yang lebih berkat sentuhan jajaran pimpinan hingga CEO perempuan.

Di akhir sesi diskusi, saran narasumber tentang hal-hal yang harus dilakukan dan wajib untuk dihindari operempuan bekerja dan entrepreneur perempuan saat menjalankan bisnis adalah hilangkan keraguan, jangan takut gagal dan temukan support system, bisa menjadi tempat mengadu sekaligus mendapatkan motivasi saat mendapat tantangan ketika memimpin startup atau bekerja di startup.

Huawei Mediapad M5
Previous Story

Tablet Huawei Mediapad M5 Ditenagai Kirin 960 dan OS Android Oreo

samsung-galaxy-s9
Next Story

Samsung Galaxy S9: Desain ‘Lama’, AR Emoji dan Kamera Dual Aperture Jadi Andalan

Latest from Blog

Don't Miss

Co-Founder UpBanx Wafa Taftazani, Hendri Wijaya, dan Alif Jafar Fatkhurrohman / Upbanx

Platform Fintech untuk Kreator UpBanx Raih Pendanaan 74 Miliar Rupiah, Klaim Valuasi Centaur di Tahun Pertama Beroperasi

Platform fintech UpBanx, yang bertujuan mengembangkan platform perbankan digital untuk
Model Bisnis Pinhome

Mendalami Cara Pinhome Digitalkan Ekosistem Properti secara Menyeluruh

Saat ini, ekosistem proptech di Indonesia belum sepenuhnya digital. Pemain