Matakota merupakan platform berbasis media sosial yang difungsikan untuk menampung informasi pelaporan warga. Konsepnya secara umum tidak jauh beda dengan solusi perkotaan pintar yang sudah ada sejauh ini. Pengguna dideteksi berdasarkan lokasi akses, kemudian dapat memberikan informasi pelaporan berdasarkan kategori yang sudah disediakan. Berbasis media sosial, Matakota diharapkan dapat menampung laporan warga secara instan dan mendapatkan follow up lebih lanjut dari pihak terkait.
“Setiap user Matakota bisa melaporkan kejadian dengan enam kategori, yaitu laporan lalu lintas, kebakaran, kriminal, bencana alam, kegiatan sosial, dan perlindungan anak. Dalam menangani perlindungan anak, kami juga sudah bekerja sama dengan Kak Seto, Ketua Umum LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia),” terang Co-Founder & CEO Matakota Henry Karya Nugraha.
Mengingat informasi tersebut bisa disampaikan oleh siapa saja, Matakota dibekali dengan fitur “Fake Report” di setiap posting yang dibuat penggunanya. Ini untuk meminimalkan adanya informasi hoax. Dalam sebuah laporan, jika ada yang menekan tombol Fake Report lebih dari lima kali, maka akan otomatis terhapus. Jadi informasi berasal dari warga, dan validasi informasi pun dari partisipasi warga.
Matakota juga dilengkapi dengan fitur Panic Button. Fitur tersebut hanya bisa digunakan untuk pengguna yang sudah memvalidasi profilnya dengan data e-KTP. Selain itu, Matakota juga dilengkapi dengan fitur News yang menyuguhkan berita lokal, nasional, maupun internasional untuk memberikan wawasan lebih luas kepada smart citizen.
Terintegrasi dengan layanan berbasis perangkat
Selain sebagai wadah untuk menampung dan memvalidasi informasi dari masyarakat, layanan Matakota didesain untuk bisa diintegrasikan dengan perangkat keras seperti Beacon, CCTV/IPTV, TMC, ATCS, dan sensor bencana. Sehingga harapannya pihak terkait dengan mudah bisa memantau kondisi kota dan memberikan peringatan dini ketika akan terjadi bencana.
“Jika saya lihat, saat ini beberapa instansi pemerintah seperti kepolisian, PMI, BPBD, dan PMK masih berjalan sendiri-sendiri. Belum terintegrasi menjadi satu. Jadi masyarakat harus menghafalkan nomor telepon penting itu masing-masing. Sedangkan jika dalam kondisi darurat bisa jadi masyarakat kesulitan mengingatnya. Jadi kami ingin mengintegrasikannya dan meningkatkan durasi quick response pemerintah dalam menangani laporan. Saat ini quick response instansi berwenang dalam menangani laporan yang membutuhkan respons cepat masih belum maksimal, rata-rata kasus ditangani setelah 30 menit kejadian berlangsung,” terang Henry.
Matakota didirikan oleh Henry (CEO) dan rekannya Gita Hanandika (CEO). Diawali dengan bootstrapping, saat ini Matakota sedang dalam tahap fundraising. Matakota belum lama ini juga menjadi pemenang pertama pada kompetisi ID.Connect di Surabaya yang diselenggarakan oleh D~NET bekerja sama dengan Express Wi-Fi by Facebook.
“Untuk pengembangan produk satu tahun ke depan Matakota akan mengembangkan fitur Lost & Found, pengembangan IoT Beacon private dan business, serta Early Warning System. Sedangkan dari segi bisnis kami ingin bekerja sama dengan lebih banyak kota di Indonesia,” lanjut Henry.
Di akhir perbincangan tim Matakota juga menyampaikan pendapatnya tentang sebuah kota pintar yang ideal. Menurutnya, kota pintar ideal adalah sebuah kota yang memiliki unsur smart government, smart economy, smart environment, smart mobility, dan smart living. Terdapat integrasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga menghasilkan sebuah kinerja yang efektif dan efisien baik itu untuk pemerintah, swasta, dan masyarakat.