MarkPlus Insight baru-baru ini mempublikasikan hasil riset terbaru mereka yang bertajuk MarkPlus Insight Netizen Survey 2013 yang merupakan riset untuk mendalami pasar teknologi dan internet di Indonesia. Salah satu bagian yang mencuri perhatian saya adalah bagian “Spending behaviour” yang memperlihatkan sebuah fenomena unik e-commerce di Indonesia.
Salah satu poin yang dipublikasikan dalam riset tersebut adalah fakta bahwa makin banyak konsumen e-commerce Indonesia yang membeli barang-barang primer secara online. Tentu saja hal ini menandakan bahwa e-commerce makin menjadi bagian yang kuat dari kultur konsumen digital di Indonesia, meskipun belum terlalu signifikan secara umum. Ketika e-commerce baru tumbuh, barang-barang yang dibeli cenderung lebih bersifat aksesoris atau tertier, namun di Indonesia sudah mulai perlahan masuk ke barang-barang primer.
Fakta lain yang ditemukan melalui riset ini adalah fakta bahwa konsumen e-commerce sangat sensitif terhadap harga barang yang dijual secara online. Terlepas dari status sosial, konsumen menganggap harga sebagai faktor utama yang menentukan apakah dia akan melakukan pembelian secara online atau offline.
Hal ini memang sudah menjadi perhatian sejak lama, saya seringkali bingung melihat bagaimana toko online dan offline memiliki harga yang tidak jauh berbeda. Diskusi singkat dengan beberapa pengguna e-commerce juga menunjukkan bahwa ketika toko online dan offline memiliki harga yang tidak jauh berbeda, konsumen lebih memilih untuk bertransaksi di toko offline karena faktor Trust yang belum kuat ke toko online.
Perhatikan saja situs-situs e-commerce besar yang berjualan gadget, perangkat elektronik atau barang fashion, beberapa barang dibanderol dengan harga yang hampir sama dengan toko offline. Hal ini tentu harus berubah jika situs-situs e-commerce ini ingin meningkatkan volume penjualan sembari meningkatkan trust di mata konsumen Indonesia. Jujur saja, melihat masih seringnya kasus ketidakpuasan konsumen terhadap layanan e-commerce, sepertinya pemain-pemain e-commerce harus berinvestasi lebih untuk bisa menurunkan harga dibandingkan dengan toko offline.
Satu lagi fakta yang terungkap melalui riset ini: social commerce terlihat jauh lebih populer bagi konsumen dibandingkan situs e-commerce besar. Dari grafik diatas, terlihat bahwa Messenger Group dan Social media (Facebook, Twitter, Instagram) yang masuk dalam kategori social commerce, lebih populer ketimbang online shop maupun forum. Tidak mengejutkan, Indonesia memang selalu dekat dengan hal-hal yang berbau “social”.
Menurut hasil riset ini juga, salah satu alasan kenapa social commerce begitu populer adalah karena aksesnya yang mudah, ada di Facebook, Twitter dan lain-lain tanpa perlu membuka browser dan mengetikkan URL online shop yang ingin dituju. Karena proses transaksi dan komunikasi semua terjadi di dalam situs jejaring sosial, konsumen jadi lebih mudah menggunakannya bagi pengguna yang memang juga sudah biasa berinteraksi di situs jejaring sosial. Faktor-faktor lainnya seperti Trust (karena ada dalam jaringan pertemanan konsumen) juga sangat menentukan bagi popularitas social commerce.
Jadi, untuk anda para pemilik online shop atau situs e-commerce, ada baiknya mulai melirik masuk ke situs jejaring sosial dan memonitor aktivitas para calon-calon pembeli anda. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat transaksi yang terjadi melalui situs jejaring sosial bisa melebihi transaksi yang terjadi di situs e-commerce anda.
—
Artikel sindikasi ini pertama kali dimuat di DailySocial dan ditulis oleh Rama Mamuaya.