Hari ini, mungkin sudah lumrah untuk kebanyakan orang di daerah urban, dengan koneksi internet yang memadai, untuk menikmati konten dari paling tidak dua layar sekaligus di satu saat. Saat kita berada di meja kerja, mungkin kita sedang berhadapan dengan komputer, tapi partner bisnis kita ngobrolnya via instant messaging di smartphone. Saat kita di rumah, sering sekali kita, sambil menonton film di TV, tetap browsing di HP, laptop atau tablet mengenai film tersebut, atau malah melihat yang lain sama sekali. Di beberapa gedung perkantoran, bahkan ada TV yang menayangkan berita, yang biasanya kita dengarkan sambil tetap melihat HP kita. Kita memang sudah hidup di dunia multilayar.
Mayoritas konten yang kita nikmati melalui layar-layar media digital tersebut itu on-demand, sesuai yang kita inginkan. Hanya dengan semudah memasukkan beberapa kata kunci pencarian di Youtube, kita dapat menonton kucing-kucing menari sepuasnya. Layanan musik seperti iTunes dan Spotify menyediakan lagu apapun yang kita inginkan, dan iBooks atau Kobo menawarkan berbagai buku digital sesuai minat kita. Walaupun memang banyak media masih menawarkan model penyebaran informasi yang distribusinya berkala, dan bukan berdasarkan permintaan, perusahaan-perusahaan media tersebut lambat laun beradaptasi ke basis konsumen yang sudah cenderung bergerak ke on-demand.
Contoh paling baik adalah bisnis media “lama” seperti Kompas, koran harian yang sempat mendominasi distribusi berita di Indonesia. Kini mereka sudah memiliki website berita bahkan hingga layanan berlangganan e-paper yang merupakan perpanjangan tangan dan adaptasi terhadap konsumsi media yang bukan berubah, tapi melebar (karena masih banyak orang yang membaca koran seperti biasa). Para stasiun TV yang cerdik juga akan menawarkan konten TVnya mungkin sekejap setelah disiarkan, untuk memastikan porsi penonton digital tetap mengunjungi situsnya, dan tidak ‘lari’ ke Youtube untuk menonton rekaman kualitas buruk.
Kuatnya kebutuhan informasi dan hiburan digital tidak berarti media-media ‘tradisional’ yang berdasarkan waktu cetak atau jadwal siaran itu akan mati, tapi hanya beradaptasi. Harus beradaptasi, malah sampai perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan produksi. Contoh bagus adalah memotong-motong siaran berita TV 30 menit menjadi beberapa segmen satuan berita, yang diunggah ke internet setelah siaran. Saya belum menemukan formulasi yang mirip untuk radio – kebanyakan radio siaran sekarang ‘hanya’ menggunakan internet sebagai salah satu jalur siaran, bukan sebagai media yang memiliki karakteristik dan teknologi berbeda. Misalnya, kenapa tidak menjadikan sandiwara radio yang belakangan mulai marak lagi, sebagai konten streaming atau download juga? Ini bukan soal risiko kehilangan pendengar, tapi soal meraih pendengar baru yang mungkin bahkan tidak punya radio.
Kenyataannya adalah, orang sudah menikmati konten dengan berbagai cara yang berbeda – multi layar, via internet saja ataupun hanya dari siaran/cetak. Dalam media digital, bahkan ada pengelompokan lagi antara pengguna desktop dan mobile (walau menurut Robin Malau, sebaiknya jangan dipisahkan, kalau dalam konteks produksi). Kalaupun ada ‘perebutan’ perhatian penonton antara metode-metode distribusi konten ini, seharusnya kecil, karena pada akhirnya, kebanyakan dari kita akan menikmati berbagai konten melalui berbagai cara berbeda dalam satu hari, dan bisa saja sekaligus dua media atau lebih. Jadi bahkan dari tahap perencanaan produksi pun, konten yang disebar harus dirancang supaya saling sinergi, dan media yang kita kelola bukan ‘hanya’ bergerak di satu metode distribusi.
Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 dan sempat bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa mengikuti akunnya di Twitter @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]