Hari Sabtu malam saya menyempatkan diri menonton pertunjukan Wayang Orang Rock Ekalaya, yang diselenggarakan di gedung Tennis Indoor Senayan. Pertunjukan ini menggabungkan cerita soal Ekalaya dan Drona, guru Pandawa Lima, dengan lagu-lagu rock dalam negeri maupun mancanegara. Secara musikal, artistik panggung sampai jalan cerita, pertunjukan ini menggabungkan berbagai unsur wayang orang dengan budaya musik rock. Di atas kertas, konsep yang sangat menarik dan sangat Indonesia, mengingat bahwa selain wayang memang bagian dari budaya Indonesia, budaya Indonesia modern tak jauh dari musik rock juga.
Pertunjukan menarik ini, entah kenapa, sepi peminat, walaupun didukung oleh berbagai band rock Indonesia, dengan konsep yang relatif unik. Pertunjukannya sendiri mulai 20.30, 30 menit lebih telat daripada jadwal (cukup wajar, karena sering ada toleransi waktu antara waktu yang diumumkan dan waktu mulai sebenarnya), hanya saja untuk acara yang kuat di dialog, struktur gedung Tennis Indoor sendiri tidak mendukung sehingga banyak bagian dialog sangat bergema sampai saya tidak mengerti apa yang dikatakan. Tata suara pun serasa tidak maksimal, mungkin karena saya duduk di tribun. Dan akhirnya karena sampai jam 22.30 pertunjukan belum selesai dan saya sudah terlampau lelah, akhirnya pulang tanpa menunggu akhir.
Kekurangan-kekurangan dari Wayang Orang Rock Ekalaya ini bukan berarti bahwa pertunjukan ini bukan ide yang bagus, bahkan sebenarnya bisa berkembang jauh. Selain secara konsep –peleburan antara budaya wayang orang dan budaya musik rock– pertunjukan ini juga dapat menjadi dasar dari sebuah content franchise. Dari sisi musik, berbagai versi lagu rock dengan nafas pewayangan bisa menjadi materi untuk produk rekaman suara, videoklip maupun soundtrack yang menarik. Berbagai elemen visual Wayang Orang Rock Ekalaya juga bisa menjadi komoditi, misalnya untuk stiker pada program chat seperti LINE.
Salah satu yang sangat disayangkan kini adalah kurangnya minat kalangan muda (dan saya sendiri) untuk mengetahui lebih jauh soal cerita dan tradisi Indonesia, seperti wayang orang. Semakin ke sini, semakin banyak tawaran produk budaya negara lain, baik itu dari Amerika Serikat, Eropa, Jazirah Arab sampai Korea, menjadikan kita konsumen media, padahal kita sendiri punya budaya yang begitu kaya. Yang kurang dari harta budaya kita adalah ekspos ke berbagai media, sesuatu yang sudah lebih ahli dilakukan oleh Amerika Serikat atau Korea.
Budaya kita pun sebenarnya bisa berkembang terus, tidak harus stagnan dengan segala bentuk, corak dan gerak yang sudah ada dari dulu. Sadar atau tidak, berbagai produk budaya luar pun sudah diserap –dari dulu sampai sekarang– dan dipermak menjadi sesuatu yang bisa dibilang sangat Indonesia, seperti musik dangdut. Corak musik rock Indonesia pun bisa dibilang cukup khas. Mungkin yang saya ingin garisbawahi di sini adalah, ketika kita berpikir soal istilah ‘budaya Indonesia’, jangan sampai kita terbatas pada aneka ragam budaya daerah yang sudah ada dari dulu, tapi kita juga harus memberikan perhatian yang sama pada produk-produk budaya modern yang dihasilkan oleh orang Indonesia, dari musik, film, buku, media digital, sampai pertunjukan dengan potensi cross-media seperti Wayang Orang Rock Ekalaya.
Sebanyak apapun yang saya tulis soal pengembangan bisnis hiburan digital di Indonesia, balik lagi akarnya adalah kontennya sendiri, dan strategi kontennya seperti apa. Dengan konsep yang baik dan perencanaan konten yang baik, niscaya produk budaya Indonesia akan memiliki daya tarik yang tak kalah dengan produk budaya negara lain.
Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 dan sempat bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa mengikuti akunnya di Twitter @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
[ilustrasi foto dari shutterstock]