Salah satu hal yang pertumbuhannya paling pesat di awal abad ke-21, seiring dengan perkembangan internet, adalah penyebaran berkas lagu MP3. Penyebaran berkas MP3 ini makin meruncingkan masalah pembajakan CD yang sudah mulai lebih dahulu, dan seolah menyebabkan turunnya pemasukan para perusahaan rekaman. Teknologi CD yang semula sulit digandakan oleh siapa saja, terbongkar dengan makin umumnya perangkat CD writer dan software yang bisa membuat duplikat CD. Begitu ada berkas MP3, yang distribusinya tidak bisa dimonitor maupun dikendalikan, masalah ‘pembajakan’ seperti makin parah.
Pada awal industri musik digital yang legal, layanan seperti iTunes diwajibkan oleh para perusahaan rekaman untuk memberlakukan standar DRM, digital rights management. Teknologi DRM ini adalah upaya untuk mengontrol penyebaran berkas lagu digital yang semula tidak bisa dilakukan, untuk memastikan lagu-lagu yang dijual lewat toko musik online tertentu hanya dapat digunakan sesuai batasan-batasan yang ditentukan oleh para perusahaan rekaman. Misalnya: hanya dapat disalin ke paling banyak lima komputer, tidak dapat disalin ke komputer lain (kecuali yang sudah diotorisasi oleh akun pembelian yang sama), dan seterusnya. Namun hasil penerapan maupun tanggapan pasar terhadap teknologi ini beragam.
Untuk pengguna iTunes, karena semua komponen sistemnya dari toko online via iTunes Music Store, software iTunes di komputer sampai perangkat iPod/iPhone didesain oleh Apple, adanya sistem DRM ini nyaris tidak terasa. Tapi penerapan DRM pada Windows Media Player mengalami berbagai hambatan –karena berbagai perbedaan pembuat software, hardware maupun berbagai elemen lain– dan memberikan citra yang buruk pada Windows Media Player DRM (yang padahal secara prinsip sama dengan Fairplay-nya Apple). Konsumen memutuskan, DRM bahkan tidak adil untuk yang sudah membeli lagu secara legal.
Perlahan, semua layanan musik online mengangkat pembatasan DRM, sehingga layanan-layanan musik online besar pada umumnya sudah tidak mempergunakan DRM lagi. Akhirnya keputusan ini diambil karena protes dari konsumen yang menginginkan kebebasan lebih dengan berkas lagu yang sudah mereka beli, dan, misalnya, memindahkan lagu tersebut ke perangkat non-Apple. Keputusan non-DRM ini cukup besar, mengingat di saat itu (dan sampai sekarang) toko musik online terbesar di dunia adalah iTunes; setelah sebelumnya disalip oleh Amazon MP3 dengan layanan penuh tanpa DRM.
Salah satu hal yang belum hilang semenjak dihentikannya kebijakan non-DRM, adalah ditanamnya identitas pembeli lagu tersebut dalam ID3 tag lagu tersebut, dan pastinya, siapa membeli apa juga dicatat di sisi penyedia layanan musik online. Data ini sangat penting untuk riset pasar mengenai tren pembelian dan segmen, namun data ini juga dapat digunakan untuk melacak berkas lagu yang “bocor” ke website file sharing ataupun cara penyebaran lain. DRM mungkin hilang dan fleksibilitas dengan berkas lagu sudah diraih, namun ‘kebebasan’ yang dahulu didapat saat era CD atau kaset, ketika kita dapat melakukan apapun dengan CD atau kaset tersebut setelah pembelian –seperti memberikannya ke orang lain atau menjualnya lagi– masih dipersulit.
Dalam era informasi kini, perusahaan raksasa seperti Google pun akan rela mengeluarkan waktu dan uang yang tidak sedikit untuk memberikan layanan seperti Google Docs, Google Maps atau Google Drive secara gratis – selama kita rela memberikan informasi lebih mengenai diri kita sendiri dan pola penggunaan kita. Layanan seperti Spotify atau Deezer memiliki layanan gratis, yang tetap saja dapat menghasilkan uang untuk mereka, dengan cara memberikan iklan yang relevan dengan profil penggunanya. Kalau sebelumnya kita harus membayar untuk musik dengan uang, kini kita membayar musik dengan informasi, dan mudah-mudahan iklannya relevan dengan kita.
Hilangnya DRM dan munculnya layanan-layanan gratis, di satu sisi memberikan kemudahan bagi penggunanya, karena perkembangan perangkat pendengar musik pun makin pesat. Di sisi lain, pastinya ada yang merasa hilangnyaprivacy dan terlalu terbukanya informasi yang dapat diakses layanan-layanan ini demi menjual informasi tersebut ke pengiklan.
Kebutuhan untuk dapat melakukan suatu pembelian secara anonim –yang sepertinya lebih berharga di dunia Barat ketimbang di Asia– itu juga merupakan sesuatu yang diinginkan konsumen, apalagi dengan berbagai kasus penyadapan dan spionase belakangan ini. Tapi apakah privacy memang masih ada di dunia ini? DRM memang teknologi dan kebijakan yang tidak sempurna dan layak dibuang, tapi apakah kita sudah menukar hilangnya teknologi tersebut dengan ‘kebebasan’ kita?
Ario adalah co-founder dariOhdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter –@barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.