Salah satu bagian terpenting – dan seringkali tak diketahui umum – dari industri musik adalah pencipta lagu dan penerbit musik. Yang seringkali tampak di layar kaca maupun konser-konser besar adalah para musisi dan artis, padahal sebenarnya belum tentu lagu yang mereka nyanyikan adalah ciptaan mereka. Memang banyak juga artis dan musisi menulis lagu-lagunya sendiri, tapi banyak juga yang menuliskan lagu untuk orang lain, fokus untuk menciptakan lagu saja dan bukan untuk menjadi entertainer. Ada pula, anggota sebuah band yang piawai menciptakan lagu, sehingga ia menciptakan lagu untuk dinyanyikan orang lain juga.
Menjadi pencipta lagu, atau komposer, itu sudah menjadi profesi, yang kalau dirunut sejarah sudah ada dari jaman klasik. Walaupun beberapa kalangan mungkin membedakan istilah ‘pencipta lagu’ dan ‘komposer’, esensinya sama, bahwa mereka menggubah kumpulan nada-nada menjadi sebuah bentuk ekspresi, terkadang dengan lirik lagunya juga (walaupun kadang penulis lirik lagu itu berbeda dengan pencipta lagunya). Dan seiring jalannya waktu, makin banyaknya pencipta lagu menjadikan perlunya ada pihak yang dapat mewakili, paling tidak untuk manajemen bisnisnya. Dibentuklah profesi dan organisasi yang sekarang kita kenal sebagai penerbit musik (publisher).
Seperti banyak hal dalam struktur industri musik, kedudukan dan peranan penerbit musik dan pencipta lagu yang diwakilinya masih kurang lebih sama. Hak cipta atas sebuah lagu, yang dibuat oleh seorang pencipta lagu, sepenuhnya dimiliki oleh sang pencipta lagu tersebut. Hak pengelolaan bisnisnya, yaitu pemakaian lagu untuk rekaman, iklan, dan berbagai hal lain, bisa diserahkan ke perusahaan penerbit musik dengan model bagi hasil, tentunya.
Pola bisnisnya pun masih kurang lebih sama: apabila ada sebuah pihak yang ingin menggunakan lagu, penerbit musik selaku perwakilan pencipta lagu akan mengeluarkan angka uang untuk dibayarkan di depan sebagai minimum guarantee. Untuk penggunaan lagu biasanya ada besaran royalti yang ditetapkan, dan minimum guarantee ditentukan sebagai perkalian nilai royalti tadi.
Peranan penerbit musik menjadi semakin penting di era digital, karena semua bisnis musik yang berbasis digital, sedikit banyak akan memberikan royalti untuk pencipta lagu. Layanan siaran atau broadcast, baik itu siaran tradisional seperti radio dan TV, maupun yang digital seperti online radio (Pandora, Ohdio.fm) dan online video (YouTube) secara prinsip ada nilai royalti dari hak pengumuman/siaran, walaupun penerapannya akan sangat tergantung terhadap hukum dan industri tiap negara.
Layanan seperti iTunes atau Spotify, yang bersifat on-demand, memiliki prinsip kewajiban yang sama dengan penjualan CD dan kaset, yaitu royalti atas penggandaan lagu. Dan penggunaan lagu dalam media pihak ketiga (biasanya iklan atau soundtrack) memiliki kewajiban membayar atas hak sinkronisasi, yang dinegosiasikan langsung dengan penerbit musik. Anehnya, geliat industri penerbit musik seperti tak tampak dan cenderung mengambil langkah ke luar sorotan publik.
Dari sedikit pengalaman saya di industri musik, seringkali permasalahannya adalah ketidaktahuan. Pihak yang perlu lagu, tidak tahu harus menghubungi siapa. Pencipta lagu, tidak tahu penerbit musik itu apa, sehingga waktunya habis untuk berusaha menjual lagunya dan malah tidak berkarya. Penerbit musik – yang seringkali hanya terdiri satu atau dua orang – sibuk dengan manajemen laporan royalti, seringkali tidak sempat untuk menawarkan lagu-lagu yang mereka kelola ke pihak-pihak yang mungkin tertarik, atau mencari pencipta-pencipta lagu yang baru. Belum soal lagu yang diciptakan beberapa orang, yang mungkin diwakili penerbit musik yang berbeda-beda, dengan segala permasalahannya .Segala permasalahan, yang sesungguhnya dapat dibantu oleh teknologi.
Ada beberapa ide yang mungkin dapat dilakukan:
- Sebuah online marketplace di mana penerbit musik dapat ‘menjajakan’ barang jualannya ke pihak-pihak yang berkepentingan; lagu dapat didengarkan dahulu sebelum lanjut ke tahap negosiasi. Ini yang dahulu dilakukan oleh Greenlight Music, seperti yang saya tulis pada artikel pertama saya di DS.
- Untuk yang tidak ingin terlibat dengan penerbit musik ‘generasi lama’ yang dekat dengan major label, buatlah penerbit musik sendiri – tapi mungkin dalam bentuk koperasi yang dikelola secara online? Sehingga dapat mencakup kepentingan banyak anggota yang ingin mencari uang dari karya cipta lagu, tanpa keistimewaan khusus pada seorangpun? Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh IMP.
- Adanya sebuah pusat informasi independen mengenai karya cipta lagu, penciptanya dan perwakilan bisnisnya? Ini juga dapat berlaku sebagai pusat sejarah musik, sebuah fungsi yang ingin dijalankan Irama Nusantara.
Pencipta lagu, dan industri penerbit musik secara umum, merupakan salah satu usaha yang akan dapat sangat terbantu dengan sokongan sistem informasi. Penyajian materi semudah metode e-commerce dapat mempermudah calon klien, sehingga memperlancar pemasukan juga. Informasi yang jelas juga akan dapat mempermudah sengketa soal hak cipta, dan meningkatkan pengetahuan soal industri musik secara umum. Berkembangnya layanan musik berbasis digital pastinya akan membutuhkan dukungan sistem informasi dan pengaliran royalti yang jelas. Sehingga, harusnya pertanyaannya bukan apakah hal seperti ini perlu dilakukan, tapi kapan.
Ario adalah co-founder dari Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
[header image from Shutterstock]