Dalam perjalanan karir saya, saya sempat bekerja di dunia hiburan di Vietnam. Perusahaan saya bergerak di bidang TV, film dan bioskop, tapi karena salah satu proyek TVnya adalah MTV Vietnam. Peluncuran MTV di Vietnam ini membuat saya harus mempelajari industri musik Vietnam secara lebih seksama, karena sebelumnya saya berkonsentrasi di industri film dan bioskop Vietnam. Dan dibandingkan dengan pengalaman industri musik saya di Indonesia, saya temukan banyak hal yang berbeda.
Indonesia dan Vietnam sama-sama memiliki pasar bajakan yang cukup besar. CD dan DVD bajakan dijual bebas dan terbuka, dan situs-situs musik dan film bajakan banyak beredar. Salah satu hal yang paling mencolok saya lihat adalah, tidak adanya major label di Vietnam. Kondisinya mungkin sebanding dengan Indonesia awal tahun 1980an, yang praktis isinya label lokal yang merilis album sendiri, maupun merilis “ulang” album dari luar negeri tanpa izin. Hal ini terhenti dengan ancaman embargo dari AS, dan masuknya para major label ke Indonesia secara resmi.
Ini tidak terjadi di Vietnam, yang praktis baru saja melalui akhir perang dengan AS. Pemerintahan komunis Vietnam tentunya anti terhadap apapun yang berbau Barat, walaupun seiring dengan majunya berbagai industri dan teknologi, perlahan Vietnam membuka diri ke berbagai perusahaan Barat pada tahun 1990an. Industri musik bukan salah satunya, tapi, meskipun sampai sekarang pun kita bisa mendengar lagu ABBA berkumandang di mall-mall (terutama pada tahun baru). Industri musik lokalnya dari dulu cukup kaya, dengan salah satu tokoh besarnya, Trinh Cong Son, yang menjadi inspirasi untuk Bob Dylan.
Tidak adanya major label di Vietnam membentuk industri musik Vietnam menjadi sedikit unik. Aliran deras musik bajakan tentunya tidak tertahankan, apalagi semenjak awal tahun 2000an, sehingga musik Barat tetap masuk dan didengarkan oleh penduduk Vietnam. Artis lokal biasanya akan bergabung dengan manajemen artis yang besar, atau membuat manajemen artis sendiri, yang akan mengatur semua hal untuk artis tersebut, dari rilisan album CD atau DVD (meski sangat mungkin langsung dibajak), penampilan di TV sampai menjadi ambasador untuk merek tertentu. Karena ini, ada beberapa hal yang membuat industri musik Vietnam menjadi sedikit unik.
Meskipun musik Barat sudah banyak beredar di masyarakat Vietnam, tidak adanya major label berarti tidak adanya struktur promosi lagu yang biasa. Biasanya, siklus rilisan lagu atau album dari major label akan berupa rentetan dari promosi lagu di media, lalu baru dengan penawaran produknya di pasar. Hal ini tidak terjadi di Vietnam karena tidak ada yang membuat rentetan promosi, apalagi menawarkan produknya. Ini cukup penting, terutama pada bagian promosi – sebuah chart radio pada umumnya kan terdiri dari lagu baru yang sedang mulai terkenal, dan lagu lama yang sudah mulai turun. Nah, chart ini tidak ada di Vietnam, karena struktur promosi yang dibuat oleh industri musik di luar negeri tidak ada. Tidak ada lagu baru maupun lama, adanya lagu yang sedang senang didengarkan saja. Kenapa? Tidak ada pihak, biasanya major label, yang secara aktif mendorong lagu baru menjadi lebih terkenal.
Tidak adanya pasar penjualan musik yang berbasis penggandaan yang cukup signifikan membuat hampir semua artis Vietnam menggantungkan pemasukan dari berbagai hal lain, makanya kekuatan industri musik Vietnam berada pada manajemen artis. Walaupun memang ada CD atau DVD yang diedarkan, pemasukan artis berasal dari penampilan panggung atau TV, atau juga dari iklan. Kalau tidak salah ada penjualan merchandise juga, walau juga cukup rentan terhadap usaha pembajakan. Dan tentunya, portal internet seperti Zing.vn, salah satu situs musik terbesar di Vietnam yang notabene isinya bajakan, merupakan langkah promosi yang cukup baik, karena selain menyediakan musik, Zing merupakan salah satu portal berita hiburan terbesar di Vietnam juga.
Sampai sekarang saya jadi terus berpikir, inikah cuplikan masa depan industri musik kita? Apakah memang kita harus ‘melepas’ ketergantungan dari struktur yang dibuat oleh para major label? Sekarang pun, radio yang kita dengarkan lebih fokus ke hits, ketimbang memberikan pengalaman music discovery lewat chart radio (tanpa menyalahkan mereka juga, karena akhirnya, seperti TV, pemasukan mereka tergantung iklan, yang dalam gilirannya tergantung pada jumlah pendengar). Sudah bertahun-tahun banyak artis sudah lebih menggantungkan diri pada pemasukan dari show atau iklan, ketimbang pemasukan dari penjualan suara rekaman yang digandakan via CD maupun media digital. Dan artis kita menjadi all-around entertainer ketimbang ‘hanya’ menyanyi saja.
Menurut Anda, apakah pergeseran ini menjadi hal yang baik atau buruk untuk industri musik?
Ario adalah co-founder dariOhdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter –@barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.
[header image from Flickr/Lucille Pine]