Dark
Light

[Manic Monday] Masalah-Masalah Inti Di Era Musik Digital

2 mins read
April 7, 2014

Industri musik pada intinya melibatkan hanya beberapa ‘pemeran’: pencipta lagu, artis/penyanyi/band, dan pendengar. Profesi dan institusi yang muncul kemudian, seperti perusahaan rekaman, publisher, collecting society, radio, TV, layanan digital – semuanya akhirnya adalah metode dan bisnis yang bertugas untuk membantu yang di atas tadi. Pencipta lagu dan artis/penyanyi/band adalah yang membuat konten, dan pendengar adalah yang mengkonsumsi konten tersebut. ‘Pendengar’ dalam konteks ini bisa mencakup dari pendengar audio, penonton video sampai penikmat pertunjukan langsung.

Maka dari itu, masalah-masalah yang harus dicoba dipecahkan dalam menjalankan sebuah bisnis yang berbasis musik – digital ataupun tidak – harus mempertimbangkan tiga ‘pemeran’ tadi. Anggaplah kita melihat sebuah band sebagai bisnis: permasalahan pertama yang harus dipecahkan sebuah band apa sih? Ya, bagaimana menghidupi band itu sendiri, supaya bisa terus berkarya. Bagus kalau band tersebut memang bisa menghidupi diri sendiri dari karyanya, karena ya kalau nggak karena itu, buat apa bikin band kan. Kalau tidak? Kalau rencana bagaimana menjawab pertanyaan ini jelas, barulah berpikir soal live show, digital download, membuat website dan seterusnya. Kalau arahnya tidak jelas, saat mendapat hasil pun sulit diukur kalau ini menjawab masalah atau tidak.

Sama halnya dengan membuat bisnis berbasis musik. Sebuah perusahaan rekaman pada intinya adalah sebuah kendaraan investasi, yang menggunakan uangnya untuk memproduksi, mempromosikan dan mendistribusikan artis/penyanyi/band. Tujuan perusahaan rekaman apa sih? Ya sama juga sebenarnya, mencari uang dari musik, dengan cara menginvestasikan uang pada artis yang membutuhkan, dan tentunya pada artis yang menurut mereka akan menghasilkan bisnis yang cukup bagus. Jadi kalau ada yang bilang music label itu hanya memikirkan uang, ya memang benar! Sebuah bisnis nggak mungkin nggak mikirin uang. Tinggal target dan metode bisnisnya saja yang mungkin berbeda-beda. Tapi karena kerangka bisnis kebanyakan perusahaan rekaman sebenarnya berputar pada penjualan penggandaan rekaman suara, memang pantas saja mereka kalang kabut menghadapi masalah pembajakan.

Pemeran penting lain dalam bisnis musik, tentunya adalah konsumennya. Dari pertengahan abad lalu memang sudah tercipta pola yang relatif stabil antara pembuat konten, perusahaan penengah seperti perusahaan rekaman, dan pendengar, dengan format distribusi yang relatif seragam untuk seluruh dunia. Tapi, masalah inti yang hendak dijawab sistem bisnis musik ini apa sih? Jawabannya sederhana – supaya pendengar dapat mendengarkan musik yang mereka inginkan.

Memang sebuah album vinyl, kaset atau CD menawarkan sebuah paket artistik yang cukup khas – tidak saja rekaman suara, tapi ada cover album yang juga membahasakan apapun yang ingin disampaikan oleh sang artis – tapi objektif utama tetap adalah mendengarkan musik. Alhasil, ketika lagu digital mulai dapat diunduh melalui layanan seperti Napster, tentu saja para pendengar musik berbondong-bondong ke sana.

Lahirnya layanan music streaming sebenarnya merupakan turunan dari sifat internet itu sendiri: kita membayar untuk akses internet, dan selama kita tetap membayar, kita dapat melihat, membaca atau mendengar apapun yang bersumber dari internet. Ketika layanan music streaming memberikan kemudahan untuk mengakses ribuan sampai jutaan lagu dengan user experience yang baik, orang akan lebih rela membayar ketimbang harus membeli lagu satu per satu sebagai digital download. Tentu saja ini tidak berlaku umum, karena kebutuhan konsumen penikmat musik sudah semakin berbeda-beda seiring perkembangan pilihan distribusi musik (beserta produk terkaitnya seperti merchandise), tapi ini menjawab inti masalah; bahwa pendengar ingin mendengarkan musik, bukan menyimpan file. Tinggal layanan music streaming ini mencari cara supaya relevan ke segmen orang yang lebih besar: bisa dengan pustaka musik yang demikian luas, atau dengan layanan yang khas dan terkurasi.

Hanya dengan melihat jelas masalah apa yang ingin kita coba selesaikan, dan merencanakan struktur bisnis yang mendukung, kita dapat menjalankan sebuah bisnis berbasis musik – atau berbasis apapun – yang menghasilkan. Soal skala bisnis dan pemasukan sih tergantung perencanaan dan target seperti apa ya, tapi tanpa melihat siapa ‘pemeran inti’ dari sebuah bisnis, pasti akan lebih sulit.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010 dan sempat bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa mengikuti akunnya di Twitter @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Previous Story

Bocah Lima Tahun Berhasil Mengekpos Kelemahan Sistem Keamanan Xbox Live

Next Story

[Pic of The Day] Bahasa yang Digunakan di Twitter

Latest from Blog

Don't Miss

utimaco-hadirkan-solusi-keamanan-data-terkini-untuk-pelaku-industri-di-indonesia

Utimaco Hadirkan Solusi Keamanan Data Terkini untuk Pelaku Industri di Indonesia

Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil melebihi 5% sejak
The Beatles pakai AI untuk rilis lagu baru

Berkat AI, The Beatles Siap Rilis Lagu Baru dengan Vokal John Lennon

Haruskah penggunaan AI dilarang di industri musik? Jawabannya sudah pasti