Mayoritas warga Indonesia tumbuh dengan mengenyam pendidikan di SD, yang salah satunya mengajarkan beragamnya budaya di Indonesia. Masing-masing propinsi memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, karena suku-suku bangsa yang hidup di daerah tersebut pasti memiliki keragaman sendiri untuk bahasa, makanan, pakaian dan tari. Keragaman budaya ini diajarkan sebagai salah satu kekayaan Indonesia yang perlu dilestarikan, meskipun wujud praktisnya – paling tidak untuk anak umur SD – adalah menghafalkan tarian dan menggunakan baju tradisional daerah pada pawai hari Kemerdekaan.
Walau memang keragaman budaya kita merupakan kekuatan dan aset – yang dengan manajemen yang baik, dapat menghidupi sebuah sektor industri tersendiri — Indonesia mengalami krisis identitas. Hal ini terlihat jelas pada komunikasi soal potensi wisata Indonesia di dalam iklan – seolah-olah masih belum bisa lepas dari Bali, wayang, batik; padahal banyak kekayaan budaya lain yang belum digali dan dioptimalkan untuk menjadi obyek wisata.
Di sisi ini, kekayaan aneka ragam Indonesia seolah menjadi penghalang dari sebuah bangsa membentuk jati diri Indonesia yang bersifat nasional dan menyeluruh. Di sisi lain, upaya untuk membentuk hal-hal baru dalam budaya Indonesia, seolah selalu digugat bahwa ‘ini pengaruh Barat’, ‘itu seperti Jepang’ atau ‘kok kayak band Korea’, dan sebagainya.
Saat ini memang sedang terjadi sebuah proses akulturasi global, sebuah proses ketika budaya dari masing-masing negara saling mempengaruhi dan membentuk sesuatu yang tetap saja khas, meskipun belum tentu terlihat runutan akar budayanya secara jelas ke budaya setempat yang awal.
Misalnya, wabah K-Pop yang sedang melanda Indonesia dan dunia, apa merupakan sebuah konstruksi budaya yang murni mengambil dari budaya Korea sendiri? Dari musik, pakaian, film seri, dan sebagainya, keliatan sekali pengaruh budaya Baratnya, namun itu tidak menghalangi mereka untuk mengambil unsur-unsur budaya Barat tersebut dan menyadurnya menjadi sesuatu yang amat sangat Korea. Dan dengan penawaran ini, mereka dapat membentuk sebuah budaya baru yang relevan dengan jaman, dan tentunya dapat dimonetisasi secara digital di mana saja. Siapa yang akan mengira sebelumnya, bahwa video dengan views terbanyak di YouTube adalah sebuah video pop dari Korea? (Tidak, tidak akan saya tautkan di artikel ini.)
Konteks budaya popular – yang semakin hari, walaupun merupakan budaya yang relatif global, sebenarnya makin menajamkan unsur lokalnya di tempat-tempat ia berkembang – adalah sebuah kendaraan yang dapat digunakan oleh siapapun untuk menyajikan karyanya ke seluruh dunia, dan sudah bukan invasi budaya Barat seperti yang dahulu dikatakan orang. Kendaraan ini dapat ditumpangi ke seluruh dunia selama menawarkan sesuatu yang kreatif, unik, tapi dapat diterima dalam konteks budaya pop pada umumnya.
Ini juga bukan merupakan sesuatu yang salah. Sebuah perkenalan budaya Indonesia melalui platform budaya pop ke seluruh dunia, dapat membuka jalan untuk banyak orang menyelami kekayaan budaya yang kita miliki, yang mungkin sebelumnya tidak diketahui orang. Contoh: berapa orang di Indonesia yang jadi belajar atau mengerti bahasa Korea karena nonton film serinya? Dan dari bentukan cerita, dialog, dan interaksi antara karakter, berapa banyak orang di Indonesia jadi lebih mengenal Korea secara umum?
Tawaran budaya kita sangat banyak dan sangat kaya, dan masyarakat Indonesia masa kini tak kalah kreatif dalam berkarya untuk membentuk jejak budaya Indonesia untuk abad ke-21. Seharusnya kita tidak boleh takut atau tidak percaya diri, untuk membiarkan dinamika masyarakat ini membentuk identitas budaya Indonesia yang modern, tanpa harus melupakan warisan budaya dari generasi-generasi sebelumnya.
Seluruh industri kreatif perlu memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh dan membentuk produk-produk budaya yang mencerminkan dirinya sebagai penggiat budaya Indonesia, dan meninggalkan stereotip-stereotip yang sebelumnya terbentuk. Contoh: penokohan dan cerita dalam sinetron yang mayoritas tidak didasari oleh kehidupan nyata sehari-hari rakyat Indonesia, tapi hanya memanfaatkan pakem-pakem pembuatan cerita, perlu berevolusi menjadi cerminan Indonesia hari ini (sepertinya FTV dan film sudah lebih dulu beranjak ke sana).
Salah satu alasan kenapa kami membuat Ohdio adalah walaupun teknologi dan kebiasaaan streaming musik berasal dari Barat, kami percaya bahwa ada pendekatan khusus yang diperlukan untuk pendengar musik Indonesia. Layanannya secara konsep bisnis sampai user experience dirancang, dan terus disempurnakan, untuk orang Indonesia, baik itu yang ada di dalam negeri, maupun di dalam diaspora Indonesia yang saat ini sedang menguatkan suaranya.
Jadi, produk budaya kita hari ini; musik, film, bahkan software, game, dan layanan, adalah sebuah kendaraan yang baik demi menguatkan identitas budaya nasional kita sendiri, dan lebih jauh memperkenalkan Indonesia ke dunia luar. Sudah banyak yang mulai. Dan dengan tawaran produk budaya yang beragam yang khas Indonesia, pastinya akan lebih mudah meraih bisnis dan pemasukan untuk Indonesia. Mari kita perkuat.
Ario adalah co-founder dari Ohdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.