Dark
Light

[Manic Monday] Dunia Digital Yang Berakar Pada Dunia Fisik

2 mins read
June 10, 2013

Di dunia kita yang seperti semakin digital, tetap saja kita tidak terlepas dari obyek-obyek yang fisik. Kita toh [masih] mempunyai badan yang fisik, bukan dalam bentuk energi atau elektronik, dan masih berinteraksi dengan segala hal fisik juga. Komputer/tablet/handphone yang Anda sedang pegang? Itu adalah jendela Anda melihat ke dalam dunia digital, akan tetapi ‘jendela’ ini masih berbeda-beda untuk setiap orang bentuknya, dan itu pun kalau punya akses. Mungkin Anda sudah bertahun-tahun tidak membeli CD, dan memilih mencari lagu lewat internet (terlepas dari status legal atau tidak)? Tetap saja lagu-lagu tersebut harus dinikmati melalui speaker atau headphone.

Kelangsungan hidup di dunia digital pun sangat tergantung pada akar-akarnya di dunia fisik. Sebuah layanan berita, misalnya, akan sangat tergantung ke banyak faktor untuk tetap bisa menyajikan beritanya setiap detik pada pelanggannya. Server, bandwidth sampai lokasi server pun ada perannya dalam menentukan prestasi. Kepandaian dalam membangun program akan menentukan seberapa banyak device yang dapat membaca berita tersebut, karena berita ini pastinya dibaca melalui ‘jendela-jendela’ yang disebut tadi. Sebuah permainan MMORPG pastinya tidak akan bertahan lama apabila infrastruktur server dan jaringannya tidak baik dan tidak akan dapat mendukung ribuan pengguna bermain pada saat yang sama. Jadi di balik semua hal yang digital yang seolah kita tidak dapat sentuh secara langsung, dan hanya dapat kita lihat melalui ‘jendela’, tetap saja ada sistem pendukung fisik yang memastikan supaya pengalaman digital itu dapat dinikmati dengan baik.

Tentunya, dalam sebuah ekosistem digital, skalabilitas yang eksponensial akan memastikan harga barang digital per satuan yang ditawarkan ke konsumen pasti akan menurun. Perbandingan singkat: untuk menyimpan data 1 GB hari ini pastinya sudah lebih murah biayanya daripada 5 tahun lalu. Kecepatan prosesor komputer yang paling canggih 20 tahun yang lalu mungkin bahkan sudah tak menyamai handphone low-end. Sehingga, sebuah file digital yang tersebar di internet nyaris sudah tidak ada harganya, paling tidak secara proporsional terhadap biaya yang diperlukan supaya file tersebut tetap ‘ada’ di internet. Kalaupun ada harga, ini lebih mencerminkan bersedianya konsumen untuk membayar dan proses yang diperlukan untuk membuat file tersebut, ketimbang harga file itu sendiri.

Berbalik pada proses kreasi. Semua hal di internet – semua, ya – dari lagu, puisi, film, buku; sampai bahkan perangkat lunak yang dibuat untuk internet switch di ISP – itu dibuat dengan biaya di dunia nyata. Programmer yang bagus harus belajar, makan dan tidur – yang semuanya pasti ada biaya yang terkait – untuk dapat menghasilkan perangkat lunak yang efektif. Musisi harus berlatih dan belajar, alangkah baiknya dengan instrumen musik sendiri (vokalis pun harus belajar mendengar suaranya seperti apa pada sound system), yang ada biaya terkait. Proses kreasi memakan biaya, sehingga kalaupun ada uang yang kita, sebagai pengguna atau penikmat, keluarkan untuk hasil kreasi tersebut – apapun bentuknya – ini akan membantu untuk membiayai proses kreasi tersebut.

Uniknya, ekonomi digital ini sudah membantu melahirkan sebuah gerakan ‘kriya’ baru, kalaupun saya menggunakan definisinya secara longgar. Hilangnya nilai ekonomi pada benda-benda yang mudah diduplikasi – seperti CD, DVD, buku – memberikan kesempatan pada kreator yang cerdas untuk mulai menciptakan produk atau pengalaman yang unik dan sulit diduplikasi, sehingga menjadi sesuatu yang lebih bernilai di mata konsumen yang menginginkan. DVD bajakan mungkin merajalela, tapi bioskop pun tak pernah sepi. Walaupun tiket konser makin mahal, frekuensi konser dan peminatnya makin tinggi juga. Ada juga band yang mengeluarkan limited edition CD yang pasti akan diserap oleh penggemarnya. Bahkan, buku yang bertandatangan dan dijual via internet pun akan menjadi sesuatu yang berharga untuk penggemar penulis buku tersebut. Dunia digital malah membantu usaha seperti ini – kalau dahulu hanya dapat menjual buku di satu kota, sekarang dapat menjual buku tersebut ke seluruh dunia. Potensi konsumen meluas.

Baik atau buruk, besar atau kecil, banyak hal akan lebih berkesinambungan apabila dunia digital merupakan bagian dari sebuah pengalaman komplit dari sesuatu yang berada di dunia fisik. Dunia sekitar kita, secara pendidikan, budaya, dan sebagainya, akan mempengaruhi kehidupan ‘kedua’ kita di ranah maya, dan begitupun sebaliknya. Bisa dibilang, dunia digital kita itu bertumpu pada dunia fisik, baik secara konteks maupun secara ekonomi. Jadi, saat kita berlaku sebagai konsumen maupun sedang mendirikan bidang usaha di digital, ada baiknya kita tetap mengingat hal ini.

Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Bocoran Plants Vs. Zombies 2 di Acara E3

Next Story

[Manic Monday] The Digital World Has Its Roots In The Physical World

Latest from Blog