Dark
Light

Mad For Makeup Melawan Industri Kecantikan Konvensional dengan “Co-creating” Produk Terjangkau

3 mins read
December 22, 2020
Mad For Makeup ingin memiliki peran kuat dengan strategi co-creating dan harga produk terjangkau
Mad For Makeup ingin memiliki peran kuat dengan strategi co-creating dan harga produk terjangkau

Pemberdayaan aspek digital dalam menjalankan bisnis atau lebih dikenal dengan istilah new economy telah banyak diadopsi oleh pelaku bisnis baru di  Indonesia. Jenis yang digeluti biasanya adalah bisnis yang sebelumnya mengandalkan rantai pemasaran konvensional.

Mad For Makeup (Mad) merupakan salah satu pemain di new economy. Startup berbasis di Jakarta ini memproduksi produk kecantikan dan perawatan diri dengan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC). Mad memanfaatkan pemasaran dengan platform digital untuk menjangkau langsung konsumennya.

Mad adalah satu dari sekian pelaku usaha rintisan di bidang kecantikan yang mengembangkan dan mendistribusikan sendiri produk-produknya. Tentu ini menjadi model bisnis baru jika dibandingkan dengan industri kecantikan tradisional yang lazimnya memiliki rantai distribusi yang tersebar.

Jika bicara potensinya, model bisnis DTC di bidang ini sangat besar. Pasalnya, berdasarkan laporan Euromonitor, pasar kecantikan di Indonesia diperkirakan mencapai $8,46 miliar di 2022. Di samping itu, rata-rata total belanja produk kecantikan konsumen Indonesia masih berkisar $20 per kapita.

Bagaimana perjalanan Mad For Makeup dalam mencapai posisinya sekarang? Simak wawancara DailySocial dengan sang Founder Shirley Oslan berikut ini.

Mencapai “good market-fit” dengan modal minim

Mad for Makeup memulai debut di industri kecantikan dan perawatan diri sejak 2017. Dengan posisinya saat ini yang digandrungi anak muda, pencapaiannya sekarang tersebut tentu bukan tanpa proses.

Diceritakan Shirley, ide untuk melahirkan Mad muncul ketika dia tengah berkunjung ke salah satu gerai milik brand perawatan diri asal Perancis yang memiliki jaringan operasional besar di Indonesia.

Saat itu ia mendapati bahwa harga jual beauty blender mencapai Rp300 ribu per buah. Ia menilai harga tersebut tidak masuk akal mengingat berdasarkan riset yang ia lakukan, material polimer sebetulnya tidak semahal itu. Setelah diinvestigasi lebih lanjut, ia menemukan brand tersebut menjualnya dengan harga sepuluh kali lipat dari harga asli.

“Kalau melihat dari jargon mereka ‘beauty for all‘, rasanya itu tidak tepat karena harga produk tidak merefleksikan kampanye tersebut. So, we got mad and rebelled against the nonsense di industri ini,” ujar Shirley.

Berangkat dari situasi ini, Mad mencoba mengembangkan produk kecantikan di segmen high-end dengan harga yang lebih terjangkau dan berkualitas untuk konsumen di rentang usia 18-24 tahun. Rata-rata produk Mad dipasarkan dengan harga tak sampai Rp100 ribu, seperti beauty blender, lipstik, essence, hingga pelentik bulu mata.

Beberapa produk di katalog Mad for Makeup
Beberapa produk di katalog Mad for Makeup

Berbekal strategi dan penjualan online ini, Mad yang konsisten hadir dengan jargon #RebelBeauty tersebut mengaku telah berhasil menjual sebanyak 26.000 produk di tahun pertamanya berdiri.

Mencuri perhatian sejumlah VC

We started with Rp800.000 and had a good market-fit. As for capital requirements, that depends on the strategy you use. Certain markets need extensive resources and capital,” ujarnya.

Pengembangan produk kecantikan umumnya membutuhkan proses yang lama. Mad For Makeup membutuhkan waktu selama delapan bulan mulai dari proses ideation hingga ready to sale.

Secara business nature, Shirley mengaku tidak memiliki masalah pada permodalan. Pemasaran produk Mad sepenuhnya dilakukan di platform digital (kecuali Sociolla yang juga punya toko fisik). Selain itu, Mad juga memiliki tim internal untuk R&D dan inhouse creative studio. Hanya proses manufaktur saja yang diserahkan kepada pihak ketiga.

Bagi Shirley, sejak awal pihaknya tidak berupaya mencari pendanaan eksternal. Menurutnya, kebutuhan modal lebih bergantung pada strategi yang digunakan. Kecuali jika membidik pasar spesifik, tentu modal dan sumber daya yang dibutuhkan akan lebih banyak.

Malahan, dengan pertumbuhan tahun ini, jebolan program Gojek Xcelerate ini mengaku telah didekati oleh sejumlah investor, seperti Sequioa Capital, Kolibra Capital, hingga Tokopedia.

Saat ini pihaknya tengah mempertimbangkan untuk menggalang pendanaan eksternal tahun depan. “Sebetulnya kami lebih memilih membawa VC sebagai advisor untuk mempersiapkan skala lebih besar, meski dengan equity nol,” tambahnya.

Pengembangan inovasi dan utilisasi data

Mengenai pengembangan inovasi, Shirley mengaku sempat terpikirkan oleh beberapa konsep yang dapat diadopsi untuk pengembangan produknya, seperti skin analysis atau teknologi yang dapat membantu konsumen melakukan decision making berbasis digital.

“Secara umum, beautytech itu menarik, but still remains very much a phsyical world product. Pengembangan [teknologi] lebih cepat mungkin bisa terjadi pada bagian funneling of the sales process. Akan tetapi, slow improvement are still in the true R&D of the product with tech,” jelasnya.

Menurutnya, strategi yang paling penting saat ini adalah mengutilisasi data untuk memahami konsumen lebih baik. Menurut data perusahaan, rata-rata konsumen Mad For Makeup memiliki average order value (AOV) sekitar Rp135ribu dengan produk terlaris Poreless, Dew, dan Kok Lentik Curler. Konsumennya didominasi oleh early adopter dan early majority consumer.

Di samping itu, tambahnya, fokus utama Mad saat ini adalah mengupayakan ketersediaan stok produk. Distribusi dan touch point fisik melalui Sociolla dirasa sudah cukup untuk yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar.

“Industri kecantikan memungkinkan kami untuk memiliki margin yang lebih baik dibandingkan bisnis kebanyakan, terutama dengan model DTC agresif yang kami lakukan). Jadi sebenarnya tidak terlalu menarik jika VC hanya membawa modal. Apalagi setelah mengikuti program Gojek Xcelerate, kami sadar ada banyak sekali data yang belum kami utilisasi,” ungkapnya.

Memulihkan kembali bisnis di 2021

Ada tiga hal jika bicara target bisnis selama masa pandemi di 2021. Pertama, saat ini berbagai macam aspek sedang berada dalam situasi sulit. Maka itu, Shirley mengaku optimistis untuk untuk memulihkan kembali bisnis di 2021 ke 2022.

Untuk itu, tambah Shirley, pihaknya akan tetap konsisten untuk melakukan strategi co-creating dengan konsumen. Dengan strategi, ia meyakini produknya dapat tetap relevan dan memiliki posisi kuat di masa depan.

Shirley enggan menyebutkan strategi dan proyeksinya di 2021. Ia menyadari masih ada gap besar di pasar antara kebutuhan perawatan yang tidak bertemu dengan harga terjangkau.

“Ini menjadi tahun ketiga Mad for Makeup dan kami sudah memperoleh pencapaian lebih dari ditargetkan, yakni pertumbuhan tahunan hingga 40 persen. Jadi, saat ini pihaknya optimistis ada banyak hal yang dapat dilakukan di 2021,” katanya.

Previous Story

Tantangan serta Peluang RRQ Hoshi dan Alter Ego di M2 MLBB World Championship

Next Story

Rockstar Bakal Jejalkan Lebih Banyak Elemen Single-Player ke GTA Online

Latest from Blog

Don't Miss

Yummy Corp Akuisisi MyBrand

Perkuat Ekosistem, Yummy Corp Akuisisi MyBrand

Setelah mengantongi pendanaan lanjutan seri B dari Sembrani Nusantara milik

Lemonilo Snags 516.2 Billion Rupiah Series C Funding

Lemonilo healthy food startup received a series C funding of