Minggu lalu Netflix secara resmi mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Masyarakat cenderung antusias menyambut hal ini. Salah satu alasannya adalah kemudahan mendapatkan konten video secara legal. Meskipun demikian, kehadirannya bukan tanpa kontroversi. Konten yang dimuat Netflix di Indonesia belum melalui gunting sensor LSF (Lembaga Sensor Film). LSF disebutkan segera mendesak kementerian terkait, dalam hal ini Kemkominfo, untuk memblokir Netflix.
Ketua LSF Ahmad Yani Basuki ,seperti diberitakan di berbagai media, meminta Kemkominfo memblokir layanan tersebut. Ahmad mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman disebutkan bahwa setiap film yang akan dipertontonkan atau ditayangkan pada khalayak harus mengantongi surat tanda sensor dari LSF. Hal tersebut membuat Netflix seharusnya belum bisa masuk ke Indonesia.
“Tanpa memenuhi ketentuan tersebut, kami akan merekomendasikan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir layanan tersebut,” seperti dikutip dari Tempo.
Kriteria wajib sensor
Saat ini LSF memang terkenal “keras” dalam memberlakukan sensor. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya gambar “blur” yang ada di tayangan televisi. Masih dari sumber yang sama dijelaskan bahwa ada beberapa konten yang termasuk dalam kategori wajib sensor, yakni film yang mendorong kekerasan, judi, dan penyalahgunaan narkotika.
Masih dalam kategori yang sama adalah adegan yang menonjolkan pornografi; memprovokasi pertentangan suku, agama dan ras; menistakan agama; mendorong khalayak melawan hukum; dan merendahkan martabat manusia. LSF disebutkan tidak segan-seganmencegah penanyangannya jika dalam satu film ditemukan terlalu banyak adegan tersebut.
Sambutan positif hadirnya Netflix di Indonesia bisa menggambarkan bahwa konten legal masih diharapkan di Indonesia. Masih sulitnya akses ke konten legal, dengan harga terjangkau, menjadi salah satu alasan mengapa pembajakan seolah sulit dihentikan di Indonesia.
Memblokir Netflix mungkin bukan satu-satunya jalan untuk menangani persoalan sensor ini. Harus ada mekanisme yang lebih arif dan bijaksana untuk menjaga semangat mendapatkan konten legal di Indonesia.