LinkedIn mengumumkan bahwa pengguna layanan jejaring profesionalnya di Indonesia telah mencapai milestone satu juta orang. Jumlah tersebut dicapai dua bulan setelah mereka meluncurkan versi lokal berbahasa Indonesia. Menurut LinkedIn, setelah versi berbahasa Indonesia hadir, grup LinkedIn dalam bahasa Indonesia melonjak dua kali lipat menjadi 700 grup. Anda yang berminat membaca siaran persnya bisa melihatnya di Wire kami.
Bagi Indonesia jumlah satu juta pengguna LinkedIn adalah jauh lebih kecil ketimbang pengguna Facebook yang mencapai sekitar 40 juta ataupun pengguna Twitter. Bagi LinkedIn, jumlah 1 juta pengguna Indonesia jelas masih belum signifikan ketimbang total pengguna LinkedIn yang mencapai 150 juta di seluruh dunia dan 25 juta di kawasan Asia Pasifik. Lalu apa artinya hal ini bagi kedua belah pihak?
Berbeda dengan Facebook dan Twitter yang merupakan tempat mengobrol, LinkedIn diciptakan sebagai sarana pertemanan profesional. Kita dengan mudah mengakses sejarah pekerjaan relasi yang baru kenal, termasuk testimonial dari partner kerjanya. Banyak pegawai profesional artinya banyak posisi kerja yang tersedia. Ini yang membentuk suatu barisan baru, kaum middle class, yang mapan dan membutuhkan tantangan setiap saat.
Kalangan ini tidak hanya bekerja di ruang-ruang rapat, tetapi juga memenuhi berbagai kedai kopi di pertokoan mewah, menggunakan lapangan golf di berbagai sudut kota, dan berlibur ke luar negeri setiap tahunnya. Kalangan profesional secara umum mencerminkan kondisi middle class di suatu negara. Semakin kuat kondisi middle class di suatu negara, artinya semakin baik pula kondisi fundamental perekonomiannya.
Indonesia seperti yang kita tahu, sedang booming dengan kaum middle class ini. Menurut liputan edisi terbaru majalah Tempo yang mengutip data Bank Dunia, saat ini jumlah middle class di Indonesia sudah mulai mendominasi. Tentunya sangat wajar bahwa kenyataan ini mendorong mereka untuk bergabung dengan LinkedIn. Mereka menginginkan suatu pertemanan profesional yang memberikan benefit lebih, termasuk kesempatan untuk mengembangkan bisnis baru ataupun pekerjaan baru.
Ada dua cara memperoleh pekerjaan baru di LinkedIn. Yang pertama bersifat manual dan gratis. Para headhunter biasanya bergerilya ke berbagai profil untuk mencari kandidat yang sesuai. Dengan begitu banyaknya orang yang terdaftar di LinkedIn, cara ini belum tentu efektif untuk mencari orang yang tepat dengan cepat.
Cara yang kedua adalah cara yang sedikit lebih tradisional tapi dengan pendekatan 2.0. Pihak perusahaan memasang iklan lowongan pekerjaan dan LinkedIn dengan tools-nya berusaha mencocokkan kebutuhan yang diinginkan dan menawarkannya kepada orang-orang yang mungkin memiliki skill dan passion yang dibutuhkan. Ini merupakan salah satu sumber pendapatan LinkedIn yang prominent.
Kembali ke kasus Indonesia, semakin banyaknya kaum middle class menimbulkan masalah individu yang baru. Mereka mulai membutuhkan biaya lifestyle yang tidak sedikit. Selain itu mereka juga memerlukan lahan untuk eksis dengan berbagai pencapaian profesional yang terhampar di profilnya. Jika di satu titik pendapatan yang diperoleh dirasa kurang ataupun seseorang menginginkan suatu tantangan pekerjaan baru, di sinilah LinkedIn berperan. Tak perlu repot-repot memoles CV, profil LinkedIn yang gilang-gemilang bisa membantu penggunanya memperoleh pekerjaan idaman dalam waktu relatif singkat.
Jangan heran jika dalam waktu 2 bulan terakhir sejak diluncurkannya LinkedIn berbahasa Indonesia, telah terjadi penambahan pesat sebesar 200 ribu orang. Saya yakin jumlah ini akan terus berkembang dan menarik lebih banyak kaum profesional karena situasi di LinkedIn cenderung lebih serius dan lebih sedikit noise, ketimbang Facebook atau Twitter. Kaum profesional Indonesia dan LinkedIn telah menemukan hubungan simbiosis mutualisme yang diharapkannya.