Keputusan Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto terkait kasus IM2 telah menuai berbagai reaksi. Setelah sebelumnya Asosiasi Industri Telekomunikasi mengungkapkan kekecewaannya melalui petisi, kini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers turut mengungkapkan hal yang sama.
Mahkamah Agung (MA) telah menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Direktur IM2 Indar Atmanto. Putusan penolakan tersebut diketok palu pada 20 Oktober lalu dalam nomor perkara 77 PK/ Pisdus/ 2015. Indar sendiri dianggap bertanggung jawab atas dugaan penyalahgunaan jarinngan 2,1 Ghz atau 3G dan mendapat vonis 8 tahun penjara, denda Rp 300 juta, serta hukuman uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun kepada IM2.
Namun, keputusan tersebut telah menuai bermacam reaksi dari berbagai pihak. Asosiasi Industri Telekomunikasi telah mengungkapkan kekecewaan dengan mengajukan petisi. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LPH) Pers, melalui keterangan pers yang kami, menyatakan sikap kekecawaan mereka terhadap keputusan tersebut. Secara garis besar, ada empat poin yang menjadi sorotan LBH Pers.
Pertama, LBH Pers menyatakan bahwa mereka menolak keputusan yang dijatuhkan oleh MA terhadap PK Indar Atmanto. LBH Pers menganggap keputusan tersebut berpotensi membelenggu kebebasan mendapatkan manfaat pendidikan, informasi, sosial dan ekonomi dari internet.
Kedua, LBH Pers menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap putusan MA ini karena dianggap dapat berdampak sangat besar terhadap industri telekomunikasi, pelayanan masyarakat, serta perekonomian negara. Menurut LBH Pers, putusan ini dapat mengakibatkan kurang lebih 300 penyelenggara Internet di Indonesia terancam di penjara.
Ketiga, LBH Pers mendorong Kementrian Kominfo sebagai instansi yang diberi kewenangan untuk melaksanakan Undang-undang Telekomunikasi. Selain itu juga melakukan upaya-upaya nyata yang diperlukan agar terjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha.
Keempat, LBH Pers juga mendukung Indar Atmanto untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sekali lagi untuk terciptanya keadilan dan kepastian hukum.
Menurut LBH Pers, kasus ini merupakan bentuk dari pemahaman penegak hukum tentang penggunaan pita frekuensi yang tidak sejalan dengan tatanan teknis telekomunikasi dan regulasi.
Polemik kasus IM2 sendiri telah bergulir cukup lama bila ditelusuri kembali. Dari sini juga banyak faktor multitafsir muncul dan berujung pada putusan MA yang menganggap IM2 tidak membayar Biaya Hak Penggunaan frekuensi seluler 2100 MHz ke pemerintah sebesar lebih dari 1,3 Triliun Rupiah.
Sudah sepatutnya pemerintah mulai berkaca melalui kasus ini untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan peraturan. Ini karena kepastian hukum adalah salah satu elemen penting untuk mendukung ekosistem suatu industri, termasuk industri teknologi.