Peta persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia hari ini ramai dihuni aplikasi besutan pengembang global. Sebut saja Spotify, Joox, Resso, SoundCloud, Deezer, Apple Music, dan terakhir YouTube yang sudah merilis aplikasi khusus YouTube Music. Satu-satunya aplikasi lokal yang masih eksis adalah Langit Musik yang di-back up oleh Telkom Group.
Beberapa tahun lalu para pemain operator lokal merilis aplikasi seperti Langit Musik. Ada XL Axiata yang merilis Yonder dan Arena Musik besutan Indosat Ooredoo. Keduanya tak bertahan lama.
Di luar itu, menurut catatan DailySocial, situs atau aplikasi streaming musik lokal yang beroperasi hingga sekarang tinggal Insan Music dan Irama Nusantara. Hanya saja Irama Nusantara berbentuk yayasan dan didirikan bukan untuk kebutuhan komersial.
Misi mereka adalah pengarsipan dan pengelolaan lagu Indonesia dalam bentuk digital dari piringan hitam agar masyarakat bisa memperoleh referensi atau informasi seputar musik populer Indonesia. Irama Nusantara telah mendigitalkan 40 ribu lagu dari rentang era 1920-an hingga 1990-an sejak beroperasi pada tujuh tahun lalu. Data yang telah diarsipkan dapat diakses melalui situs resminya.
Langit Musik
Kiprah Langit Musik menarik untuk ditelusuri. DailySocial berkesempatan untuk mewawancarai Langit Musik yang diwakili General Manager VAS Entertainment Telkomsel Douby Kusumawirachma.
Langit Musik adalah produk Telkomsel yang sudah hadir sejak 2009. Dikelola oleh MelOn Indonesia, yang masih dalam satu keluarga Telkom Group. Tim Langit Musik itu sendiri bergabung ke dalam divisi digital lifesyle yang berisikan beragam produk digital Telkomsel, termasuk MaxStream.
Douby mengakui keberadaan aplikasi sejenis dari luar negeri memberikan tantangan tersendiri dalam hal akuisisi user. “Namun dengan kelebihan harga paket harga premium yang paling terjangkau, terutama untuk pelanggan Telkomsel serta akses langsung ke pasar dan event lokal yang lebih mudah, Langit Musik dapat menjadi pilihan yang menarik buat pelanggan Indonesia,” katanya.
Tidak dijelaskan lebih jauh bagaimana dampak sengitnya persaingan ini terhadap pertumbuhan pengguna Langit Musik dari tahun ke tahun. Diklaim jumlah unduhan saat ini mencapai 10 juta kali, dengan jumlah pengguna berbayar aktif sebanyak 2 juta orang.
Dari sisi demografi, pengguna Langit Musik terbesar berada di rentang usia 25-34 tahun berlokasi di Jakarta, Surabaya, Batam, Makassar, dan Bandung. Mereka umumnya menghabiskan waktu di Langit Musik hingga 30 menit per hari.
“Total katalog mencapai 7 juta lebih konten lagu, musik digital, dan podcast. Selama pandemi, trafik Langit Musik cukup stabil jika dibandingkan masa sebelum pandemi.”
Dalam memperkaya konten musik, perusahaan tidak hanya bekerja sama dengan major label untuk promo eksklusif lagu atau album. Mereka juga aktif melakukan event offline/online dengan mengadakan workshop di berbagai kota dan mengajak indie artist dan artis lokal untuk mendistribusikan karyanya di LangitMusik, melalui Laguku.id, situs untuk mengunggah karya original dalam bentuk audio.
Sulit menawarkan diferensiasi
Secara layanan dan fitur, Langit Musik tidak menawarkan hal yang jauh berbeda dengan kompetitornya. Yang sedikit membedakan adalah kehadiran platform Laguku.id.
Sepinya pemain lokal yang berani terjun ke segmen ini menandakan bahwa persaingan di industri ini sulit dan belum ada yang bisa memberikan diferensiasi mencolok. Hukum diferensiasi berlaku keras untuk setiap perusahaan yang terjun ke bisnis manapun.
Strategi freemium kini menjadi barang umum yang ramai-ramai diterapkan seluruh aplikasi streaming untuk mengakuisisi pengguna. Bagi pemain baru yang belum ada nama, butuh upaya ekstra, termasuk didukung kapital yang kuat, untuk mengubah loyalitas seseorang terhadap suatu merek. Proses tersebut tidak bisa instan akan semakin susah bila tidak ada diferensiasi yang menonjol.
Pengamat musik Ario Tamat berpendapat menyajikan sesuatu yang berbeda di industri streaming musik adalah sesuatu yang sulit dicapai. Pasalnya, kegiatan mendengarkan musik itu sudah jadi komoditi, sehingga sulit untuk diferensiasi di pasar.
“Kalau strateginya dengan menyediakan konten yang tidak tersedia di tempat lain, menurut gue tidak akan merebut pangsa pasar yang besar karena akan sangat tergantung ke konten eksklusif tersebut basis fans-nya sebesar apa dan sefanatik apa,” ujarnya.
Dia melanjutkan, “Kalau ada layanan khusus musik indie, itu enggak apa-apa. Tapi apa perusahaannya bisa hidup? Karena satu band itu pasti punya fans sendiri, apakah mereka bersedia untuk bayar terus-terusan? Sebab musisi itu juga punya kepentingan untuk hadir mendapatkan akses ke pendengar yang lebih besar.”
Ario sendiri sudah memvalidasi pernyataannya tersebut saat mendirikan situs radio online bernama Ohdio FM di 2012, jauh sebelum kini fokus ke KaryaKarsa. Konsepnya pada waktu itu adalah situs yang menawarkan pengguna pengalaman streaming lagu lokal secara online seperti mendengarkan radio karena tidak bisa memilih lagu, tapi tanpa ada iklan dan penyiar.
Dalam perjalanannya, Ohdio mencoba penawaran untuk menggaet klien B2B dengan menyajikan anak-anak usaha situs streaming lagu tematik yang bisa dipasang ke dalam situs mereka untuk para pelanggan. Situs musik yang waktu itu dirilis adalah LaguGalau, Lagu90an, Orgasmara.com, Santaidipantai, dan TembangLawas.com. Namun konsep tersebut gagal dijual.
“Semua sudah kita tutup. LaguGalau domainnya enggak diperpanjang, terakhir sampai Oktober ini masih bisa diakses.”
Mendiferensiasikan diri dengan kompetitor di industri ini bukan sesuatu yang mudah dipecahkan. Semua pihak bisa terjun ke kolam yang sama, namun kapital yang kuat memegang faktor penting untuk mampu bersaing. Kabar gulung tikar di industri ini tak lagi asing didengar, tidak hanya terjadi di Ohdio.
Hingga Ohdio tutup, Ario mengaku perusahaan belum mencetak untung.
“Aplikasi streaming musik itu bukan jadi masalah yang sulit untuk dipecahkan, sehingga kalau bikin itu ya gampang bisa buat sekarang. Kalau besok dapat ide yang bisa diverifikasi kenapa enggak [dibuat]? Tapi menurut gue rasanya masih banyak hal lain yang bisa di-solve.”
Pengamat musik lainnya, Adib Hidayat, mengakui tenarnya aplikasi global turut dipengaruhi brand awareness aplikasi tersebut yang dibawa pemberitaan media luar. Persona tersebut memengaruhi kehadiran konsumen baru dan keaktifan label musisi dalam memasarkan karyanya di platform tersebut.
“Orang Indonesia suka brand internasional karena bisa aktualisasi dan media internasional juga sering mention aplikasi-aplikasi tersebut. Dari artisnya juga akhirnya mempromosikan karya mereka lewat tautan ke aplikasi itu. Akhirnya ini mempengaruhi masyarakat kita lebih familiar dengan apa yang biasa dipopulerkan artis-artis, meskipun karya mereka juga ada di aplikasi seperti Langit Musik,” kata Adib.
Masa depan ada di podcast
Sebagai sesama aplikasi OTT, pemain streaming video lokal terhitung lebih ramai daripada musik. Masing-masing memiliki diferensiasi dan “peperangan” ini sendiri baru dimulai karena rata-rata baru beroperasi.
Adib menjelaskan, tayangan eksklusif terbukti bisa berjalan dengan baik di aplikasi streaming video, tapi tidak untuk musik. Konsep ini dianggap justru merugikan, baik untuk label maupun konsumen, karena perilisan lagu perlu dilakukan secara serentak tanpa sekat agar dapat didengar fans di manapun mereka berada.
“Dari sisi bisnis itu enggak menguntungkan karena orang maunya saat itu langsung viral. Apalagi dengan ada algoritma. Ini akhirnya akan merugikan industri jadi sebaiknya dilepas saja secara bebas. Bisa saja kalau jual konten eksklusif, asal jangan terlalu istimewa, misalnya versi live, remix, atau cover. Ini yang membedakan antara OTT video dengan musik,” paparnya.
Beberapa platform mencoba pendekatan eksklusif ini. Aplikasi milik Jay Z, Tidal, adalah penganut keras konten musik eksklusif untuk menarik pengguna beralih ke mereka. Katalog mereka diklaim lebih banyak dibanding Spotify (60 juta vs 50 juta) dengan kualitas audio yang jauh lebih baik dan biaya berlangganan lebih mahal.
Sementara Apple Music punya kesepakatan dengan beberapa label besar dan artis untuk biasanya memasarkan lagu terbaru secara eksklusif di platform mereka selama jangka waktu tertentu.
Podcast punya andil penting untuk arah strategi pemain streaming musik ke depannya. Pemain streaming musik tidak mau kalah dengan konten video original, seperti Netflix Original atau HBO Original Series, yang sudah dikenal luas. Strategi tersebut sudah diterapkan Spotify. Mereka menambahkan branding podcast dalam penamaan deskripsinya karena berambisi menjadi platform audio streaming terbesar.
“Podcast menjadi mainan baru. Tinggal bagaimana atur strategi, misalnya mengontrak host–host musik mengisi acara podcast. Tinggal keunikan konten itu yang mendorong. Sekarang Spotify enggak hanya klaim jadi streaming musik, tapi juga ada podcast karena memang ke depan arahnya ke sana,” kata Adib.
Untuk menarik pengguna di Indonesia, Spotify membuat program kerja sama khusus dengan podcaster lokal bernama Podcast Eksklusif Spotify sejak awal tahun ini. Mereka mengunci para podcaster tersebut untuk memasarkan kontennya di Spotify saja.
Saat ini daftar podcaster yang digaet terus bertambah. Ada 21 podcaster, termasuk Podkesmas, Rapot, Podcast Raditya Dika, Suara Puan, Makna Talks, BKR Brothers, Rintik Sendu, Thirty Days of Lunch, dan lainnya. Mereka memproduksi konten dengan platform Anchor, yang juga dimiliki Spotify.
Dari data internal Spotify, Indonesia memiliki jumlah pendengar podcast terbanyak untuk wilayah Asia Tenggara. Lebih dari 20% pengguna Spotify di negara ini mendengarkan podcast setiap bulannya. Angka tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global. Spotify sendiri disebutkan memiliki lebih dari 1 juta judul podcast, yang dapat didengarkan secara gratis.
Langit Musik mulai menyeriusi konten podcast tahun ini. Douby menerangkan podcast merupakan salah satu bagian roadmap lini konten LangitMusik yang bakal digalakkan. Saat ini sudah tersedia beragam channel podcast dengan beragam genre mulai lifestyle, musik, komedi, hingga horor.
“Kami akan terus perkaya koleksi konten podcast melalui kerja sama dengan para podcaster dan para content creator.” tandas Douby.
Di samping itu, agar tetap bersaing, Langit Musik terus berimprovisasi dan inovasi produk, baik dari user experience maupun variasi penawaran kepada pengguna. Douby mengatakan, saat ini (pengembangan) aplikasi Langit Musik telah mencapai versi 5, dengan fitur terbaru seperti lirik lagu, konten podcast, sharing lirik, dan beberapa lainnya yang sedang disiapkan.
Langit Musik, meski kuenya di Indonesia kalah dari pemain non lokal, beruntung karena menjadi bagian korporasi besar. Besar kemungkinan mereka dipertahankan sebagai komplementer yang melengkapi rangkaian layanan digital di Telkomsel untuk para pelanggannya.
MelOn Indonesia sendiri memiliki beragam lini bisnis digital pendukung, seperti game, penukaran voucher digital, RBT, dan event. Bila bisnis Langit Musik belum memberikan keuntungan, perusahaan tersebut masih disokong oleh sumber pendapatan lainnya.
Langit Musik mengandalkan penjualan layanannya dengan konsep bundling yang dijual melalui Indihome dan Telkomsel. Di Telkomsel misalnya, pelanggannya dapat menikmati Langit Musik bila berlangganan paket data khusus musik MusicMax. Di dalamnya terdapat akses data ke aplikasi musik yang berlaku selama satu bulan.
Sebenarnya Langit Musik juga dapat dinikmati oleh pengguna non Telkomsel, hanya saja biaya berlangganannya lebih mahal. Tentunya ini akan mempengaruhi faktor untuk beralih, meski platform ini sudah didukung LinkAja untuk metode pembayarannya.
Langit Musik menyediakan kualitas audio yang bersaing dan cocok dengan kondisi internet di Indonesia, yakni medium dan high. Untuk kualitas medium, format file-nya DRM dengan ukuran lagu rata-rata 1-3MB dengan bitrate 128 kbps. Sementara untuk high, formatnya MP3 dengan ukuran file 7-10MB dan bitrate 320Kbps.
Kualitas high ini kurang lebih setara dengan format yang ditawarkan kebanyakan aplikasi streaming musik populer. Format audio looseless FLAC belum tersedia di Langit Musik.
Telkomsel sendiri tidak hanya menyediakan paket bundling untuk Langit Musik. Mereka bahkan mengumumkan kerja sama khusus dengan Spotify untuk pelanggan pascabayar KartuHalo. Sebelumnya, di 2019, kedua perusahaan bekerja sama untuk paket MusicMAX yang memberikan akses bebas untuk pelanggan pascabayar dan beberapa pelanggan prabayar menggunakan Spotify tanpa kuota.
Adakah ruang untuk pemain lokal?
Pertanyaan di atas menarik untuk ditelusuri lebih jauh. DailySocial bekerja sama dengan platform survei JakPat membuat survei singkat mengenai awareness aplikasi streaming musik dan podcast di Indonesia.
Survei ini diikuti 1996 responden, laki-laki (56,1%) dan perempuan (43,9%). Mereka mayoritas ada di kelompok usia 20-29 tahun (53,3%), 30-39 tahun (28,6%), dan di bawah 20 tahun (10,6%). Lokasinya tersebar di Jakarta (17,9%), Bodetabek (13,5%), Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan kota-kota besar lainnya.
Dari seluruh responden, hanya 1,7% yang memilih Langit Musik sebagai aplikasi streaming musik yang mereka gunakan. Sisanya memilih aplikasi populer seperti YouTube (39,4%), disusul Spotify (19,7%), Joox (19,7%), dan YouTube Music (9,4%).
Mayoritas dari mereka mengonsumsi aplikasi tersebuts selama 1-3 jam (53,2%) setiap harinya , kurang dari 1 jam (22,1%), dan 3-5 jam (15,6%). Alasan pemilihan aplikasi tersebut adalah banyak fitur yang memudahkan, seperti social sharing (47,1%) dan fitur beragam lainnya, seperti live streaming, video clip, dan lirik (44,4%), punya katalog lagu lengkap (41,2%), dan gratis (40,6%).
Kami menanyakan perihal minimnya aplikasi streaming musik lokal yang kurang terdengar kepada responden. Mereka menjawab karena kurang promosi (57,2%), fitur dan tampilan kurang menarik (46,5%), kurang inovasi (46,1%), dan katalog tidak lengkap (42,6%).
Meski mayoritas responden memilih aplikasi global, mereka masih menaruh harapan untuk kehadiran aplikasi lokal yang menonjol (90,4%). Alasannya karena jadi kebanggaan tersendiri (76,1%), bahasa lebih dimengerti (56,1%), semakin banyak pilihan (49,3%), dan konten pasti lebih berkaitan (41%).
Mereka yang menjawab tidak perlu ada (9,6%), beralasan bahwa konten yang disajikan tidak jauh berbeda (50,5%), sudah kalah saing (47,4%), dan harga berlangganan mahal (33,9%).
Khusus untuk podcast, hasil survei mencatat Spotify (50,3%) menjadi platform paling populer digunakan untuk mendengarkan podcast. Platform lokal yang mendapat highlight untuk segmen ini adalah Kaskus Podcast, Noice, dan Inspigo.
Kebanyakan responden mengakses konten saat waktu senggang (71,7%) dan hal yang menjadi fokus tentang podcast adalah memberikan hiburan (62,3%) dan menambah ilmu (54,5%)
Aplikasi India Gaana mungkin bisa menjadi studi kasus menarik bagaimana platform musik lokal mampu bersaing dengan platform global. Gaana diklaim memiliki lebih dari 185 juta pengguna aktif bulanan, memutar lebih dari 3,3 miliar kali menit lagu, dengan lebih dari 35% konten berasal dari musik lokal. Lebih jauh, ada sekitar 27% konsumsi musik didukung rekomendasi berbasis AI.
Gaana juga memiliki lebih dari 2.500 judul podcast yang dibuat pengguna per bulan. Selain itu, terdapat pula fitur konten video singkat yang memungkinkan pengguna membuat kreasi video mereka.
“Saat ini 80% pengguna Gaana adalah loyalis, mereka suka dengan gagasan dapat mengakses lagu, podcast, dan video pendek dari artis favorit mereka dalam pengalaman yang terintegrasi. Kami yakin kemampuan tersebut akan membantu kami meningkatkan 250 juta pengguna baru dalam 12 bulan ke depan,” ucap CEO Gaana Prashan Agarwal.
Keunggulan Gaana di pasar lokal belum berarti permasalahan selesai. Kendati unggul di jumlah pengguna, tantangan dihadapi platform ini dari segi penerimaan. Jumlah pertumbuhan penerimaan dari langganan turun drastis di tahun 2019.
Baik Adib dan Ario memberikan pendapatnya terkait peluang kehadiran pemain lokal ini. Mereka kompak menanggapi bahwa potensi itu ada selama pemain lokal mampu memberikan diferensiasi sebagai keunikan yang membedakan dengan pemain lain di industri.
“Keunikan konten itu yang mendorong. Telkom punya kekuatan untuk menggairahkan, mereka punya resource lokal dan ada akses untuk masuk ke sana,” kata Adib.
Sementara Ario menambahkan, “Lagi-lagi yang perlu dipikirkan adalah konsumen Indonesia. Kalau ada pemain lokal yang bisa menawarkan keunggulan khusus yang hanya bisa orang Indonesia ngerti dan mau bayar, itu oke. Lagi-lagi diferensiasi.”