Dark
Light

Kurikulum Universitas dan Relevansinya dengan Industri Teknologi (Bagian 2)

3 mins read
April 27, 2016
Mempersiapkan lulusan untuk siap terap di industri, khususnya teknologi, tidaklah mudah

Di bagian pertama wawancara, sudah dibahas seputar bagaimana kurikulum, regulasi dan inisiatif pendidik dalam menghadirkan lulusan yang baik. Pada bagian kedua ini akan dibahas bagaimana peranan mahasiswa seharusnya untuk dapat memaksimalkan pencapaiannya di universitas serta peranan industri dalam memberikan sumbangsih bagi kemajuan pendidikan bangsa.

Berikut adalah lanjutan hasil wawancara dengan Romi Satrio Wahono (dosen di beberapa universitas TI di Indonesia dan Founder Brainmatics), Agus Kurniawan (dosen TI di Universitas Indonesia, Microsoft Valuable Professional, dan penulis aktif buku seputar pengembangan software serta IoT), dan Rianto (dosen di Universitas Teknologi Yogyakarta).

Apa saran Anda untuk mahasiswa jurusan teknologi, sehingga dapat lulus dan berperan aktif di dalam dunia yang telah dipelajari?

Rianto mengungkapkan bahwa lulus dan kebutuhan pasar ini sebenarnya tidak terhubung secara langsung, karena untuk bisa lulus saja sebenarnya dengan rajin masuk dan taat aturan saja bisa cepat. Berbeda ketika visi lulus kuliah adalah dengan prestasi dan nantinya bisa bekerja sesuai bidang ilmu yang dipelajari untuk menghasilkan manfaat. Opsi kedua ini membutuhkan energi ekstra untuk meraihnya.

Untuk memastikan lulus dengan kompetensi baik, Romi menekankan bahwa mahasiswa harus gaul, kreatif, banyak bergerak, banyak mencoba, jangan malu mencoba berbagai hal, termasuk di dalamnya part time di banyak tempat sesuai dengan bidang yang kita garap. Jadikan technopreneur sebagai satu-satunya karier hidup dan jangan pernah sekedar menjadi pegawai yang hanya bekerja untuk orang lain.

Agus menambahkan bahwa para mahasiswa disarankan untuk memiliki blog atau media lain untuk melakukan sharing baik bentuk tulisan dan multimedia. Apa tujuannya? Selain sebagai media review dan mengingat kembali apa yang didapatkan, cara ini juga dapat membantu kepercayaan diri. Tidak perlu takut salah, yang penting mau menerima kritikan sebagai ajang perbaikan diri.

Apakah diperlukan peran serta industri untuk turut berkolaborasi dengan lingkungan akdemik untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas? Ada saran skema yang bisa diterapkan?

Bagi Rianto yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang ICT di kampusnya, kolaborasi dengan industri sangat diperlukan karena ia yakin universitas tidak bisa berjalan sendiri dalam soal serapan lulusannya. Skemanya tentu kerja sama, misalnya MoU dengan perusahaan pengembang handset mobile. Perusahaan meminta produk mobile apps ke universitas, lalu universitas dengan mahasiswanya membuatkan produk mobile apps tersebut. Biarlah perusahaan yang menjual, jika apps tersebut diterima pasar berarti universitas tersebut lulusannya akan diakui pasar. Nah hal seperti itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia namun belum semua karena ada ketakutan untuk memotong lingkaran.

Sedangkan menurut Romi, industri harus mau lebih sabar berhubungan dengan lingkungan akademik, demikian juga dunia akademik harus bisa merespon kebutuhan dunia industri. Sinergi keduanya diperlukan, meskipun masing-masing pihak mengejar KPI (Key Performance Index) yang berbeda. Akademisi mengejar contribution to knowledge dalam bentuk publikasi tulisan ilmiah, sedangkan industri mengejar contribution to people dalam bentuk produk yang bermanfaat untuk masyarakat.

Saat ini yang terjadi hanya sebatas kerja praktik dan itu pun di-trigger oleh universitas di dalam kurikulumnya. Begitu diungkapkan Agus memaparkan pengalamannya. Kalau dilakukan sebuah “gap analysis”, universitas memiliki aset SDM yaitu mahasiswa, pengajar, dan peneliti. Industri memiliki aset berupa kasus (real-problem) harus diselesaikan untuk menunjang bisnisnya. Ini sebenarnya matching untuk dihubungkan dalam sebuah skema kerja sama, misalnya pihak industri memberikan funding R&D (Research and Development) ke universitas untuk menyelesaikan problem mereka.

Saat ini yang terjadi industri kebanyakan hanya memberikan “proyek” dan menurutku kadang tidak ada R&D-nya. Hanya sebagai CMS atau CRUD (Create, Read, Update, Delete) dari sebuah data processing.

Inilah gap-nya. Agus mencontohkan sebuah sinergi yang banyak dilakukan di universitas di Jerman (karena ia sendiri sedang studi di Jerman), bagaimana hubungan industri dan universitas berjalan dengan baik. Pihak industri biasanya memberikan funding untuk R&D untuk menyelesaikan problem mereka.

Industri membutuhkan solusi ilmiah untuk menyelesaikan problem mereka, universitas membutuhkan problem atau studi kasus untuk diselesaikan. Jadi pihak kampus akan memberikan solusinya baik secara literatur hingga implementasi. Industri sebagai “client” memberikan specification problem yang diselesaikan hingga memberikan funding. Pihak universitas juga membutuhkan funding tersebut untuk melakukan publikasikan di jurnal atau conference.

Beberapa kasus di Jerman industri juga memberikan funding dengan memberikan beasiswa Vokasi, S1, S2 dan S3. Sebagian waktu mahasiswa akan kerja di industri dan sisanya belajar di kampus. Ada juga beberapa industri memberikan funding ke mahasiswa S3 atau post-doctoral untuk melakukan inovasi R&D, dan hasilnya dalam bentuk paten. Paten ini akan dimiliki oleh industri atau disesuaikan dengan perjanjian di awal.

Langkah ini juga dilakukan perusahaan besar seperti Google, Microsoft, IBM, Apple untuk “memindahkan” R&D-nya ke universitas. Kalau ini diterapkan di Indonesia, diyakini akan cepat mencapai kemajuannya. Hubungan industri, universitas dan pemerintah tidaklah bisa dipisahkan.

Apa saran Anda untuk universitas terkait persiapannya dalam melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi siap terap di industri?

Menurut Romi, universitas harus bisa mewadahi berbagai kegiatan mahasiswa yang tujuannya untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa, baik dari sisi kognitif, psikomotorik maupun afektif. Universitas harus lebih berani memperbarui kurikulum dan materi mengikuti perkembangan teknologi yang begitu dinamis. Universitas juga harus lebih agresif menjalin kerja sama dengan dunia industri.

Bagi Agus, infrastruktur dan SDM merupakan hal yang utama untuk kasus ini. Namun kalau memang ada keterbatasan biaya dan funding pemerintah tidak mencukupi, mungkin sudah saatnya kerja sama dengan industri tanpa mengurangi idealisme pihak disisi kampus ataupun industri.

Rianto pun juga berpikir demikian. Jika melalui kurikulum tidak bisa maka buatkan wadah tersendiri untuk membantu menyiapkan lulusan yang berkelas. Misalnya dengan cara membuat workshop khusus pemrograman, mengadakan program sertifikasi internasional hingga melakukan kerja sama strategis dengan lebih banyak industri terkait.

Disclaimer: Pendapat yang disampaikan pemateri bersifat pribadi, tidak mewakili institusi tempat ia mengajar/bekerja.

Previous Story

Lazada Gandeng Pos Indonesia Permudah Proses Pengembalian Barang

Next Story

Mendorong Industri Digital dan E-Commerce Indonesia ke Titik Tertinggi

Latest from Blog

Don't Miss

Menyikapi Jurang antara Kebutuhan dan Penyediaan Sumberdaya Manusia di Bidang Teknologi

Geliat pertumbuhan bisnis startup di Indonesia mulai menunjukkan pertumbuhan yang

Kurikulum di Universitas dan Relevansinya dengan Industri Teknologi (Bagian 1)

Beberapa waktu lalu, bersama ADITIF (Asosiasi Digital Kreatif) di Yogyakarta,