Bukalapak membuktikan posisinya dalam posisi yang tepat sebagai perusahaan berkelanjutan dan menuju arah profitabilitas sebagai unicorn lokal dibandingkan kompetitornya. Sumber bisnis perusahaan dikatakan didominasi dari kota-kota di luar tier 1, melalui unit-unit bisnisnya yakni Buka Pengadaan, Mitra Bukalapak, dan produk virtual.
Dalam paparan kinerja Bukalapak untuk periode kuartal II tahun ini, President Bukalapak Teddy Oetomo menerangkan pertumbuhan total processing value (TPV) hampir 400% dibandingkan dari kuartal pertama 2018. Diklaim pertumbuhan TPV ini mayoritas lebih dari 50% datang dari transaksi yang berasal di luar kota tier 1.
Berikutnya, terkait EBITDA tercatat naik hingga lebih dari 60% dibandingkan kuartal IV 2018. Burn rate perusahaan berada dalam posisi yang masih rasional. Artinya, perusahaan tetap melakukan upaya akuisisi pengguna baru dengan memberikan promosi, akan tetapi dalam angka yang rasional. Dari sisi pertumbuhan marketshare dikatakan tetap stabil walau di masa pandemi.
“Kunci utama kami adalah pertumbuhan sehat yang selaras dengan industri dan yang kita lakukan selama 18 bulan adalah terus meningkatkan monetisasi, merasionalkan pengeluaran sehingga penghasilan kita bisa lebih robust,” terangnya saat konferensi pers secara virtual, Jumat (11/9).
Terkait strategi bakar uang, Teddy bilang bahwa memberikan promosi itu bukanlah hal yang salah. Semua toko yang baru buka pasti menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, promosi yang kebablasan tersebut bisa menjadi masalah. Menurutnya, bisnis yang berhasil itu kalau kita bisa memberikan layanan yang dibutuhkan pengguna.
“Kuncinya ada di value added. Untuk percepat pertumbuhan bisa dengan promosi, tapi kalau enggak disiplin pasti akan pusing kepala. [..] Ada peers kita yang mungkin apa yang mereka spent dalam sebulan itu, cukup buat kita selama setahun.”
CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin turut menegaskan, “Enggak selalu bisnis berharap ke growth semata. Solusinya adalah memberikan nilai tambah yang bisa membuat perusahaan dapat sustain.”
Teddy melanjutkan, dengan fokusnya perusahaan ke Mitra Bukalapak -sesuai dengan rencana sampai lima tahun mendatang- telah sesuai dengan kondisi apa yang paling dibutuhkan konsumen. Bahwa sejatinya layanan e-commerce ini sangat dibutuhkan konsumen yang berada di kota lapis bawah, bukan di tier 1.
“Sejak 3-4 tahun lalu kita mulai bergerak dengan membuat Mitra Bukalapak karena mereka butuh inklusi keuangan. Masyarakat tinggal datang ke warung untuk bayar produk virtual. Di Indonesia sendiri ada 5 juta warung.”
Kontributor bisnis utama Bukalapak
Dalam kesempatan ini turut hadir dalam paparan tersebut oleh petinggi di masing-masing bisnis utama Bukalapak. Untuk Mitra Bukalapak, dalam setahun terakhir jumlah warung dan individu yang bergabung naik hingga tiga kali lipat dengan total sekitar 5 juta mitra.
Lokasinya mayoritas masih terpusat di Jawa dengan angka 4,5 juta mitra, lalu Sumatera (550 ribu mitra), Indonesia Timur (226 ribu mitra), dan Kalimantan (128 ribu mitra). Perluasan ini didukung oleh tambahan cakupan distribusi stok grosir ke lebih dari 50 kota, bekerja sama dengan distributor nasional dan lokal untuk memastikan ketersediaan barang untuk para mitra.
Dari sisi inovasi pembayaran, transaksi di warung Mitra yang menggunakan metode pembayaran QRIS naik lebih dari 50%. “Kami juga meluncurkan produk-produk berbasis inklusi keuangan, sehingga harapan kami dengan adanya diversifikasi produk di warung, mitra bisa mendapatkan omzet lebih banyak dan jadi agen perubahan,” kata SVP of Mitra Bukalapak Howard Gani.
Produk virtual menjadi produk andalan kedua di Bukalapak. Selama pandemi berlangsung, pertumbuhan rata-rata produk virtual mencapai lebih dari 60% dibandingkan sebelum masa pandemi. Kenaikan ini terjadi untuk produk pulsa dan paket data, pembayaran tagihan, voucher streaming, voucher belajar untuk kursus online, dan pembelian gift card.
Perusahaan sendiri menyediakan lebih dari 30 jenis produk digital, yang tersedia di platform marketplace ataupun aplikasi Mitra Bukalapak. Kategori produk virtual ini mencakup produk investasi; pembayaran tagihan, kartu kredit, dan BPJS; perjalanan, pembelian pulsa dan token listrik; dan pinjaman kredit.
“Produk virtual ini beraneka macam, ada juga yang turun karena berdampak pada pandemi, seperti tiket perjalanan, event, dan transportasi,” tutur Director of Payment, Fintech & Virtual Products Bukalapak Victor Putra Lesmana.
Berikutnya adalah produk BukaPengadaan yang telah dirilis sejak 2017. Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya mengatakan, pertumbuhan jumlah pelanggan lebih dari 48% dan lebih dari 32% penjual yang bergabung dari awal tahun hingga Agustus 2020. Produk-produk yang paling banyak dicari adalah alat-alat MRO, masker, desinfektan, APD & rapid test, voucher listrik, pulsa, voucher belanja, smartphone dan laptop.
“Serta pendukung gaya hidup seperti sepeda dan alat-alat kesehatan menjadi daftar kebutuhan teratas korporasi atau pemerintah yang dipenuhi oleh para pelaku UMKM,” terangnya.
Terakhir untuk produk marketplace yang menjadi produk tertua di Bukalapak. VP of Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada mengatakan, hingga pandemi ini tercatat perusahaan menerima sekitar 20 ribu pelapak baru yang mendaftar setiap minggunya. Kini tercatat Bukalapak memiliki sekitar 6 juta pelapak dan pengguna lebih dari 90 juta orang. Platformnya juga telah terintegrasi dengan 26 institusi keuangan dan 12 mitra logistik.
Terkait tren belanja, Kurnia memaparkan bahwa saat ini terjadi pergeseran waktu belanja online. Sebelum pandemi, kenaikan terbesar adalah saat malam hari ketika pulang kerja, sekarang justru lebih merata setiap harinya. Pun dari produk yang banyak dibeli juga lebih dinamis, awal pandemi produk yang paling banyak dicari berkaitan dengan kesehatan.
“Sekarang yang naik justru kategori sepeda, alat-alat olahraga, permainan untuk anak, seperti tenda, kolam renang, dan alat berkebun banyak dicari. Siklus perubahan pasar ini jauh lebih cepat daripada sebelum pandemi,” tutup dia.
Kinerja kompetitor
Semangat yang digelorakan Bukalapak memang berbeda dengan apa yang terjadi di kompetitornya. Shopee menjadi yang terdekat, mengingat perusahaan tersebut juga sempat sesumbar dengan pencapaiannya di kuartal II 2020.
Dalam paparan kinerja induk Shopee, Sea, dikatakan pertumbuhan pendapatan yang disesuaikan (adjusted revenue) perusahaan sebesar $510,6 juta atau naik 187,7% secara yoy dari periode yang sama di tahun sebelumnya.
Indonesia menjadi sumber bisnis terbesar Shopee, mencatatkan pencapaian transaksi lebih dari 260 juta transaksi selama kuartal II. Jika di rata-rata dalam sehari Shopee berhasil mencatatkan lebih dari 2,8 juta transaksi. Dibandingkan dari kuartal II 2019, Shopee mencatat adanya peningkatan lebih dari 130%.
Kendati demikian, perusahaan ini masih mencatat rugi. Lantaran, kerugian yang disesuaikan (adjusted loss) sebesar $305,5 juta atau lebih besar dari tahun sebelumnya $248,3 juta. Tetapi perusahaan membuat ada kemajuan untuk menuju profitabilitas, kerugian EBITDA yang disesuaikan per pesanan dari $1,01 menjadi $0,5.
Melihat dari angka GMV, tercatat terjadi pertumbuhan yang drastis mencapai 109,9% atau senilai $8 miliar, dibandingkan sebelumnya pada kuartal pertama dengan kenaikan 74,3% secara yoy.