Dark
Light

Kunci Sukses Mobile Game Developer

3 mins read
November 30, 2011
Tampilan Game Smash Mania

Editorial note’s: Industri mobile terus tumbuh di Indonesia, termasuk juga dalam hubungannya dengan perkembangan dunia game. Dalam artikel Guest Post kali ini, Narenda Wicaksono menuliskan pandangannya tentang kunci sukses yang dibutuhkan bagi mobile game developer, dilengkapi juga dengan pengalamannya yang berhubungan dengan para developer game.

Minggu yang lalu saya diminta oleh salah satu stasiun TV nasional dalam kapasitas saya sebagai pemerhati IT untuk berbagi soal tantangan yang dihadapi oleh developer lokal dalam mengembangkan game mobile. Mengingat waktu yang diberikan sangat terbatas, maka saya ingin sekali berbagi dalam tulisan singkat d isini yang harapannya agar memotivasi Anda yang tertarik untuk terjun ke dunia ini.

Semua pengelola toko aplikasi pasti akan sepakat bahwa game adalah jenis aplikasi premium (baca: berbayar) yang paling populer. Namun developer tidak boleh tergiur begitu saja, karena ada banyak tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan Konservatif

Tantangan ini berlaku jika Anda melihat menjual aplikasi sebagai “revenue stream” utama. Saya mengkategorikan cara pandang ini sebagai konservatif. Tantangan yang Anda akan hadapi adalah kesulitan monetisasi aplikasi. Hal ini disebabkan karena tidak semua toko aplikasi menyediakan opsi pembayaran yang mudah bagi konsumen. Saya bicara konsumen secara general, bukan hanya konsumen smartphone saja, namun semua semua pengguna perangkat mobile. Jika kita lihat Indonesia sebagai negara yang memiliki perbandingan porsi konsumen cukup ideal, diantara semua toko aplikasi yang ada, hanya beberapa yang menyediakan opsi potong pulsa, sisanya harus menggunakan kartu kredit. Padahal pengguna kartu kredit di Indonesia hanya 6,5 juta orang atau 3% dari 180 juta total pengguna handphone di Indonesia.

Lalu bagaimana raksasa seperti Gameloft dan Electronic Arts Mobile bisa begitu berjaya di Indonesia? Saya ambil 2 contoh publisher tersebut karena mereka adalah publisher bisa dibilang cukup konservatif dan fokus menjual aplikasi. Kunci sukses mereka adalah:

  1. Kedekatan dengan vendor ponsel untuk menyediakan skema preloaded (aplikasi game versi trial bundling di perangkat ponsel baru). Dari satu device rata-rata mereka memiliki 3 games. Mereka bisa meraup milyaran rupiah perbulan dari satu jenis device saja. Perlu dicatat mereka menggunakan sms charging atau in app purchase sebagai media pembayaran unlock aplikasi game ke versi full.
  2. Fokus pada brand yang sudah terkenal atau konsisten terhadap brand yang sudah ada. Kita bisa lihat bagaimana brand pada game “Real Football” sudah mencapai edisi 12 atau Asphalt yang saat ini sudah mencapai versi 6.
  3. Fokus pada skenario Try and Buy adalah kunci sukses yang lain. Daripada mempromosikan versi premium (full) yang berbayar, mereka lebih fokus untuk mempromosikan versi trial.
  4. Fokus pada mass market, lagi-lagi mereka bekerja sama dengan vendor ponsel untuk mendapatkan marketing support yang lebih besar. Biasanya mereka akan mengikuti momentum peluncuran produk baru.

Orientasi Produk

Tantangan kedua adalah maturity dimana karena kesulitan monetisasi di mass market, banyak developer lokal yang fokus mengejar aplikasi pesanan demi kebutuhan asap dapur. Mengerjakan aplikasi pesanan bukan hal yang salah. Namun maturity akan sulit didapat bila developer mengembangkan aplikasi yang tidak berorientasi produk (fokus ke consumer).

Saya kebetulan mengikuti proses bagaimana Smash Mania dari Agate Studio mengalami evolusi. Smash Mania adalah game NFC dengan Augmented Reality pertama di dunia yang memungkinkan bermain bulutangkis dengan menggunakan smartphone. Agate Studio telah beberapa kali melakukan testing kepada konsumen di lapangan dengan menggelar kompetisi Smash Mania di ajang INAICTA, Indonesia Bermain, hingga ITB Festival. Berdasarkan feedback lapangan, Smash Mania saat ini telah mengalami evolusi yang cukup signifikan. Akhirnya salah satu vendor ponsel tertarik untuk menanamkan investasi milyaran dalam bentuk dukungan marketing. Konon mereka berkolaborasi menggelar pertandingan bulutangkis Smash Mania di 6 kota besar di seluruh Indonesia. Proses semacam ini adalah fase yang paling berharga untuk mendapatkan maturity, yang akhirnya akan menggiring developer untuk mengembangkan aplikasi yang berorientasi produk.

Hak Kekayaan Intelektual

Anda harus mengakui bahwa kita bukan tinggal di Silicon Valley. Kita kebetulan tinggal di suatu tempat yang belum menghargai hak kekayaan intelektual secara maksimal. Hal ini terkait dengan proses registrasi paten yang cukup rumit yang mana hal ini tentu adalah domain dari pemerintah.

Bila Agate Studio saat ini berada di Silicon Valley, saya yakin ada banyak sekali hak paten yang ada di Smash Mania dan dengan mudah diregistrasikan. Hak paten ini akan membuat Agate Studio menjadi sangat bernilai dan membuat investor berlomba menanamkan investasi, meskipun Smash Mania belum dirilis ke market. Tapi mari kita hentikan mimpi indah ini, kita bukan di Silicon Valley.

Kesimpulan

Jualan aplikasi menurut saya adalah cara yang paling tradisional. Hal yang dapat ditempuh oleh developer selain jualan aplikasi adalah dengan memasang iklan dan aplikasi harus mampu memberikan point user engagement yang tinggi. Namun patut dicatat, konsumen di market seperti Indonesia kurang menyukai menggunakan aplikasi sambil terus terkoneksi dengan internet.

Cara yang lebih elegan adalah dengan memposisikan aplikasi/game sebagai entry point untuk masuk ke mindset konsumen. Monetisasi bisa didapat dengan berjualan merchandise. Bila kita lihat Angry Birds, konsumen harus membeli boneka Mighty Eagle seharga 1 juta ini untuk unlock karakter ini dalam game dengan bantuan teknologi NFC.

Bukan tinggal di Silicon Valley bukan berarti tidak bisa sukses. Sebagai developer yang berasal dari market yang besar, kita memiliki “competitive advantage” bila kita bisa menggabungkan unsur kultur dan teknologi. Seperti Agate Studio yang menggabungkan olahraga terpopuler dan teknologi terkini. Anda sebagai developer harus fokus pengembangan produk.

Bukan slide presentasi yang akan menentukan masa depan perusahaan Anda, namun seberapa banyak konsumen yang akan menghargai karya Anda.

Narenda Wicaksono, seorang developer yang juga menggeluti teknologi infrastruktur. Ex Most Valuable Professional dan Technical Evangelist di Microsoft. Founder dan Pengasuh Nokia Indonesia Community Enthusiasts dan Indonesia .NET Developer Community. Saat ini bekerja di Nokia Indonesia fokus menjadi pengasuh para developer mobile di Indonesia.

 

1 Comment

  1. wah ini dari orang nya nokia…kalo orang nya apple/android pasti beda bahas nya & kesimpulan nya.
    dari sisi nokia jelas payah mobile game karena app store untuk mobile gaming masih sedikit, kalo dari sisi apple app store sudah banyak orang indonesia yang main games free (freemium) yang selalu nyambung ke internet terus..dan gratis tapi ada in app purchases…ini yang sudah banyak orang indonesia beli in app purchase nya.

    untuk agate studio programmers..ayo donk belajar objective c & cocoa touch/xcode di iphone apple lebih banyak untuk peluang jadi go international karena methode pembayaran di itunes sudah bagus dibanding kompetitor daripada cuma jadi developer nokia – microsoft mobile!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Automattic Perkenalkan WordAds untuk Pengguna WordPress.com

Next Story

Koprol Transitions to New Website, Still Unsure Where It’s Going

Latest from Blog

nubia V60 Design Hadir di Indonesia

ZTE Mobile Devices Indonesia secara resmi memperkenalkan smartphone terbarunya, nubia V60 Design di Indonesia. Smartphone ini dirancang dengan menghadirkan estetika dan teknologi,

Don't Miss

Pentingnya Industri Telekomunikasi untuk Kembangkan Industri Game dan Esports

Nilai dari industri game meroket selama pandemi COVID-19. Bahkan setelah
Xbox mobile game store

Xbox Game Store untuk Mobile Diperkirakan Rilis Tahun 2024

Microsoft memang sudah cukup lama berencana untuk memiliki sebuah aplikasi