Dari total funding $50 juta yang digelontorkan oleh Softbank dan Indosat (SB-ISAT Fund), baru sekitar 10 persen dana yang terserap oleh startup di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Chief of Strategy and Planning Officer Indosat Prashant Gokarn dalam sebuah wawancara singkat bersama DailySocial. Tidak ada proses pendaftaran atau pengajuan yang dibuka untuk pendanaan tersebut, karena proses yang ada telah dikelola oleh Softbank, dengan Teddy Himler selaku tim representatif untuk Indonesia.
Yang jadi menarik justru kriteria startup seperti apa yang ingin disasar oleh pendanaan tersebut. Menanggapi pernyataan tersebut Prashant berujar:
“Mari kita terapkan kerangka berdasarkan letak geografi, skala dan cakupan. Secara geografis, pendanaan sudah pasti difokuskan untuk bisnis yang berdomisili di Indonesia. Tesis yang menarik justru di balik pendanaan tersebut SB-ISAT Fund benar-benar berusaha memahami ‘keistimewaan’ kebutuhan bisnis yang berkembang di Indonesia. Menjaga fokus kami di satu negara menjadikan kami memahami startup mana yang akan berkembang dan mengapa.”
Dijelaskan secara detil, ‘keistimewaan’ tersebut termasuk di dalamnya terkait dengan unsur budaya, politik, hukum, semangat sosial media, hingga hal-hal lain yang masih perlu pembenahan untuk mendukung laju bisnis seperti infrastruktur pembayaran dan logistik.
Prashant melanjutkan, “Mengenai skala atau besaran startup tentu kami ingin mencari bisnis yang memiliki pendapatan besar. Namun matriks pertumbuhan yang kuat juga akan menjadi pertimbangan strategis kami. Dan terkait dengan cakupan bisnis, kami ingin merangkul startup yang mampu menyuguhkan solusi untuk pasar dan permasalahan yang besar.”
Regional Defensibility adalah sebutan untuk strategi penemuan startup yang digagas Indosat, untuk berusaha mengkorelasikan bisnis yang digarap dengan nilai ‘keistimewaan’ yang ada di Indonesia tadi. Prashant mencontohkan, “Raksasa kelahiran Silicon Valley ala Google, Facebook dan Apple telah menciptakan teknologi untuk memecahkan masalah global, kami ingin mencari teknologi lokal yang membahas banyak masalah-masalah lokal yang belum terpecahkan. Seperti terkait dengan e-commerce, unsur lokal begitu kental di dalamnya, terkait pengiriman yang harus dilakukan vendor di lokal, hingga proses pembayaran yang harus bekerja sama dengan bank lokal.”
Bagi Indosat, startup di Indonesia masih tergolong sangat muda, namun potensinya sangat menjanjikan. Terbukti dengan tren bertumbuhnya inkubator, akselerator dan kepentingan yang lebih besar dari korporasi untuk menggarap sektor ini. Startup juga dinilai telah banyak memulai memecahkan berbagai isu lokal, seperti dicontohkan terkait dengan logistik dan transportasi yang kini mulai disentuh oleh Go-Jek dan GrabTaxi.
“Ada perkembangan menarik yang telah kita lihat secara global. Di Indonesia dan khususnya Jakarta sedang gencar pemupukan pengusaha muda, banyak yang berubah, sekarang kita lihat banyak lulusan luar negeri dari Indonesia kini lebih cerah melihat masa depan karier di rumahnya sendiri. Dari sisi pemerintah juga terlihat begitu bersemangat mempelajari lebih lanjut tentang kekuatan online (termasuk e-commerce) dan bagaimana hal tersebut mendorong perekonomian. Proses pendidikan ini adalah bagian paling penting dari pengembangan ekosistem di sini,” ujar Prashant berkomentar tentang pertumbuhan potensi startup di Indonesia.
Indosat sendiri memiliki Ideabox, sebuah inkubator bisnis yang didukung oleh Indosat bekerja sama dengan Mountain Partners AG (di Indonesai dipegang oleh Mountain Kejora Ventures) dan Ooredoo Group. Berbeda dengan misi SB-ISAT Fund, Ideabox fokus pada investasi untuk startup di tahap awal yang berkaitan dengan telekomunikasi, media dan sektor teknologi. Namun upaya SB-ISAT Fund ini dikatakan telah mengkalibrasi pengalaman Softbank di Tiongkok, Amerika Serikat, dan India terkait dengan potensi startup yang akan didanai.
“Kami berharap pendanaan tersebut bisa lebih bersabar dan selektif untuk digelontorkan di sebuah bisnis. Membangun sebuah bisnis membutuhkan banyak komponen penting yang memakan proses. Kami belajar bagaimana industri telekomunikasi direkonstruksi dalam menghadapi teknologi baru yang bermunculan,” pungkas Prashant.